"Jangan terlalu boros pakai air, kamu tau tidak bayaran air dan listrik saya jadi naik sejak ada kamu di sini, jangan samakan di kampung yang apa-apa serba murah," sahut ayah gadis itu saat aku keluar dari kamar mandi sehabis membersihkan diri sepulang kuliah. "Kamu juga harus bantu-bantu namanya menumpang harus begitu, jangan samakan di kampung yang kamu bisa raih prestasi karena gak ngapa-ngapain," serunya lagi, aku tetap diam.
"Makan apa adanya jangan samakan di kampung banyak pilihan makanan," lanjutnya lagi yang sukses membuat nafsu makanku hilang seketika, padahal aku bukan anak yang pilih-pilih makanan, makanan apapun yang dihidangkan pasti kuhabiskan dengan lahap. Meski kutahan air mataku akhirnya keluar juga, namun buru-buru kuhapus dan kukuatkan hatiku.
Kupahami kondisi keluarga beliau sebagai satu-satunya pencari nafkah dengan jumlah anak yang banyak dan juga sedang menempuh kuliah semakin berat dengan kehadiranku, akhirnya aku pindah ke keluarga lain yang perlakuan mereka sedikit lebih baik, namun yang namanya menumpang tentu saja tidak sama dengan tinggal bersama keluarga sendiri. Di keluarga baru aku bangun lebih awal untuk bebenah sebelum berangkat kuliah dan tidur lebih akhir karena harus merapikan rumah lagi dan mengerjakan tugas kuliah yang tidak kalah berat dan banyaknya.
Semua itu kutahan demi mimpi yang ingin kuraih, tak sekalipun semua masalah kuadukan pada orang tuaku, tak ingin kutambah beban mereka dengan masalahku, karena ini keinginanku sendiri. Pada akhirnya kuputuskan untuk belajar hidup mandiri dengan ngekos tak jauh dari kampus. Kehidupan di kos sedikit lebih baik, namun bukan hidup namanya jika tak ada aral melintang, seperti penggalan sebuah istilah Life is Never Plat.
Dengan sedikit uang beasiswa yang kuperoleh saat menempuh studi, kugunakan untuk membayar kosan. Ibarat kata pepatah keluar dari mulut harimau masuk ke kanadang macan, begitulah kondisiku saat itu, aku dipertemukan lagi dengan ibu kos yang galak.
"Hamnah, kenapa kamu pakai air itu?" teriaknya garang dari luar kamar mandi, aku baru sadar jika airnya menjadi jernih padahal selama ini kami anak kosan mandi dengan air kuning lagi bau. Aku baru tau ternyata uang air PDAM yang kami bayar selama ini yang menikmati ibu kos sekeluarga.
Aku juga harus tidur di lantai sedang teman sekamarku tidur di ranjang hanya beralaskan kain selimut tipis, untung saja lantainya terbuat dari papan kayu sehingga cukup aman meski tanpa kasur. Makan pun hanya sekali sehari cukup di malam hari dengan menu yang itu-itu saja nasi telor rebus, telur yang dimasak bersama nasi atau jika sudah di akhir bulan cukup puas dengan nasi plus kecap bahkan terkadang hanya nasi berkuahkan air.Â
Beruntung aku punya sahabat yang baik yang terkadang mengajakku ke rumahnya perbaikan gizi, istilah populer di kalangan mahasiswa masa itu, ibunya punya usaha catering yang sering mengundangku ke rumahnya untuk menginap. Sahabat tak kan kulupakan jasamu dan orang tuamu semoga Allah membalas kebaikan kalian.
Tak terasa waktu bergulir hingga aku di penghujung masa studi alias mahasiswa tingkat akhir yang harus menanggung konsekuensi menyusun skripsi ditambah lagi dibimbing oleh dosen yang terkenal killer seantero prodi. "Blash...Kamu memang tidak mau dibimbing ya," teriaknya sambil melempar proposal skripsiku ke arah pintu, saat kujelaskan bahwa aku mengganti redaksi pembahasannya juga karena saran beliau.
Kupungut lembaran kertas yang berserakan di lantai karena masih dijepit dengan klip penjepit kertas, kemudian bergegas keluar sambil menghapus kasar air mataku, tak kupedulikan beberapa pasang mata menatapku syok yang juga menunggu untuk bimbingan dengan bapak tersebut.Â
Jatuh luruh kubersimpuh di lantai kamar kosku mengadukan pedihnya hatiku, kurang rajin apa aku konsul dengan beliau, kurang sabar apa aku menunggu beliau yang suka mengulur waktu bahkan membatalkan waktu janjian bimbingan seenaknya. Untung saja hari itu kosanku sedang sepi karena semua sedang di kampus tak kupedulikan suaraku yang meraung kencang meluapkan seluruh sesak di dada.