"Siapa sangka, proyek gizi berujung pada pertarungan tak terduga antara ayam masak habang dan ayam goreng tepung!"
Baru saja berlalu minggu ke-3 dari Projek Profil Pelajar Pancasila di kelas 6, dan aku masih saja senyum-senyum sendiri kalau mengingat hasil akhirnya. Temanya sangat keren: nilai gizi pada makanan tradisional khas Banjar, yaitu nasi kuning. Dua minggu sebelumnya, anak-anak diajarkan bagaimana membuat infografis tentang makanan sehat dan bergizi---tentang karbohidrat, protein, vitamin, mineral, semua informasi nutrisi penting itu. Minggu berikutnya, mereka kedatangan ahli gizi dari Puskesmas Guntung Manggis, yang berbagi pengetahuan tentang gizi dalam nasi kuning lengkap dengan lauk khasnya: ayam masak habang, sayur, dan kerupuk. Lalu, pada minggu ketiga, mereka diminta membuat nasi kuning mereka sendiri dan---surprise!---makan bersama dengan harapan mereka bisa menikmati hidangan yang mereka tahu kandungan gizinya.
Dan di sinilah kejutan dimulai.
Ketika aku melihat hasil nasi kuning buatan mereka, aku terpana, lalu aku mau tertawa. Di atas piring itu, nasi kuning yang cantik terhidang, lengkap dengan sayur dan kerupuk. Tapi lauknya... bukan ayam masak habang yang diharapkan. Apa yang ada di sana? Ayam goreng tepung yang renyah!
Aku sempat menghela napas sejenak sambil berpikir, "Nah, apa yang ada di pikiran mereka, ya?" Sudah dijelaskan detail tentang gizi dan pentingnya tradisi, tapi tetap saja ayam goreng tepung yang mereka pilih. Tapi kemudian, aku menyadari bahwa mungkin ini adalah bukti betapa kreatifnya anak-anak ini.
Pertama-tama, mari kita bicara soal preferensi rasa. Ayam goreng tepung adalah sesuatu yang akrab dan digemari anak-anak. Dengan kulitnya yang renyah dan rasa gurih yang khas, ayam goreng tepung memang sulit untuk dikalahkan. Sepertinya, dalam benak mereka, "Kenapa repot-repot dengan ayam masak habang yang lebih sulit dibuat, kalau ada ayam goreng tepung yang lebih lezat dan gampang didapat?" Dan jujur saja, aku bisa mengerti logika ini. Anak-anak akan selalu memilih yang menurut mereka paling enak, bukan? Mereka mungkin berpikir, "Yang penting ada proteinnya, kan?"
Alasan lainnya mungkin adalah tantangan waktu dan proses. Membuat ayam masak habang butuh lebih banyak bumbu dan waktu. Mereka harus mengulek bumbu merahnya, merendam ayam, dan memasaknya dengan penuh perhatian agar rasa bumbunya meresap sempurna. Sementara itu, ayam goreng tepung? Tinggal cemplung-cemplung, goreng sampai matang, jadi! Kemudahan ini jelas jadi alasan kuat bagi anak-anak yang sudah tak sabar ingin segera menikmati nasi kuning buatan mereka.
Aku juga tak bisa menahan senyum ketika menyadari betapa beraninya mereka bereksperimen. Dalam benak mereka, nasi kuning adalah elemen tradisional yang cukup kuat, sementara lauknya bisa dikreasikan. Ini mungkin cara mereka untuk memadukan tradisi dan modernitas---atau mungkin sekadar menciptakan versi nasi kuning yang lebih sesuai dengan selera anak-anak saat ini. Ini adalah bukti dari pemikiran kreatif mereka, meskipun sedikit melenceng dari konsep yang diharapkan.
Saat aku menanyakan kepada mereka kenapa memilih ayam goreng tepung, salah satu siswa menjawab dengan polos, "Soalnya ayam goreng tepung lebih enak dan gampang dibuat, Bu." Mendengar itu, aku tertawa. Jawaban yang jujur dan penuh logika ala anak-anak. Dari sudut pandang mereka, kenapa harus mempersulit diri kalau ada pilihan yang lebih mudah dan tetap enak?
Namun, ini juga menjadi momen penting untuk memberikan pemahaman lebih dalam tentang konsep "nutrisi versus preferensi." Aku jelaskan kembali kepada mereka, bahwa ayam masak habang bukan hanya soal rasa, tapi juga soal tradisi, tentang bagaimana makanan khas kita membawa cerita dan kearifan lokal. Aku coba menggali lebih dalam, membahas mengapa bumbu dan cara memasak tradisional memiliki nilai lebih yang tak hanya soal rasa tapi juga soal makna.
Tentu saja, aku juga menghargai keputusan mereka. Kreativitas harus diapresiasi, dan pilihan mereka menunjukkan bahwa mereka berpikir di luar kebiasaan. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk berdiskusi dan mengajari mereka bahwa dalam hidup, kita memang sering dihadapkan pada pilihan antara sesuatu yang lebih mudah dan sesuatu yang lebih berharga karena prosesnya. Dan, yang paling penting, belajar menghargai warisan kuliner kita adalah bagian dari pelajaran hidup yang tak kalah penting.
Jadi, meskipun ayam goreng tepung "mengalahkan" ayam masak habang kali ini, aku tetap bangga dengan mereka. Mereka telah berusaha memahami konsep nutrisi, mencoba memasak sendiri, dan berani bereksperimen. Pada akhirnya, belajar bukan tentang selalu mendapatkan hasil yang sempurna, tapi tentang proses, pengalaman, dan pembelajaran yang didapat dari setiap langkahnya---bahkan jika itu berarti memilih ayam goreng tepung yang lebih enak dan renyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H