Saat aku menanyakan kepada mereka kenapa memilih ayam goreng tepung, salah satu siswa menjawab dengan polos, "Soalnya ayam goreng tepung lebih enak dan gampang dibuat, Bu." Mendengar itu, aku tertawa. Jawaban yang jujur dan penuh logika ala anak-anak. Dari sudut pandang mereka, kenapa harus mempersulit diri kalau ada pilihan yang lebih mudah dan tetap enak?
Namun, ini juga menjadi momen penting untuk memberikan pemahaman lebih dalam tentang konsep "nutrisi versus preferensi." Aku jelaskan kembali kepada mereka, bahwa ayam masak habang bukan hanya soal rasa, tapi juga soal tradisi, tentang bagaimana makanan khas kita membawa cerita dan kearifan lokal. Aku coba menggali lebih dalam, membahas mengapa bumbu dan cara memasak tradisional memiliki nilai lebih yang tak hanya soal rasa tapi juga soal makna.
Tentu saja, aku juga menghargai keputusan mereka. Kreativitas harus diapresiasi, dan pilihan mereka menunjukkan bahwa mereka berpikir di luar kebiasaan. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk berdiskusi dan mengajari mereka bahwa dalam hidup, kita memang sering dihadapkan pada pilihan antara sesuatu yang lebih mudah dan sesuatu yang lebih berharga karena prosesnya. Dan, yang paling penting, belajar menghargai warisan kuliner kita adalah bagian dari pelajaran hidup yang tak kalah penting.
Jadi, meskipun ayam goreng tepung "mengalahkan" ayam masak habang kali ini, aku tetap bangga dengan mereka. Mereka telah berusaha memahami konsep nutrisi, mencoba memasak sendiri, dan berani bereksperimen. Pada akhirnya, belajar bukan tentang selalu mendapatkan hasil yang sempurna, tapi tentang proses, pengalaman, dan pembelajaran yang didapat dari setiap langkahnya---bahkan jika itu berarti memilih ayam goreng tepung yang lebih enak dan renyah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H