Aku nggak pernah menyangka bahwa di Hari Bahasa Isyarat Internasional 2024 ini, aku akan mendapatkan pelajaran hidup yang begitu berharga. Rasanya sangat berbeda ketika kamu berbicara tentang kebahagiaan dan keberagaman dalam teori, dibandingkan saat benar-benar merasakannya dalam kehidupan nyata. Hari itu, aku dan teman-teman Guru Pembimbing Khusus (GPK) menghabiskan waktu bersama teman-teman tuli. Awalnya, aku kira suasana bakal canggung, mungkin sedikit kikuk, karena perbedaan cara berkomunikasi. Tapi ternyata, pertemuan ini jauh lebih luar biasa dari yang aku bayangkan.
Ketika pertama kali tiba, aku masih merasa ragu. Bagaimana kami bisa bercengkerama tanpa kata-kata?
Tapi, keraguan itu langsung sirna begitu mereka menyambut kami dengan senyum hangat dan gestur yang begitu ramah.
Kami tidak perlu saling mengucapkan "Halo" dengan suara, cukup dengan senyuman tulus dan sapaan dalam bahasa isyarat. Saat itu, aku benar-benar merasakan bahwa bahasa bukan hanya soal kata-kata, tapi lebih pada seberapa terbuka hati kita dalam menerima orang lain.
Salah satu momen yang paling mengesankan adalah ketika teman-teman tuli mulai mengajarkan kami bahasa isyarat.
Bayangkan, kami—para guru yang biasanya berada di posisi mengajar—kini berganti peran menjadi murid. Aku ingat ketika mereka menunjukkan bagaimana menyapa, memperkenalkan nama, atau menanyakan kabar. Tanganku sempat kaku dan gerakannya canggung, tapi mereka tetap sabar membimbingku.Â
Mereka bahkan tertawa kecil ketika aku salah, dan aku juga tertawa bersama mereka. Bukan karena mengejek, tapi karena mereka begitu menghargai usaha yang kulakukan, dan itu adalah tawa penuh kehangatan. Rasanya seperti, "Hei, nggak apa-apa salah. Yang penting kita belajar bersama."
Aku sadar bahwa komunikasi tak selalu butuh suara. Bahkan, tanpa suara sekalipun, percakapan kami terasa sangat hidup. Saat kami belajar bahasa isyarat, aku benar-benar merasa bahwa setiap gerakan tangan memiliki arti yang dalam.
Saat menanyakan "Apa kabar?", aku melihat mata mereka berbinar, menunjukkan bahwa mereka sungguh ingin tahu kabarku. Itulah yang membuatku merasa bahwa komunikasi bukan hanya soal kata, tapi juga soal rasa. Rasa untuk peduli, rasa untuk mengerti, dan rasa untuk menerima.
Yang lebih menarik, pertemuan ini juga membuka mataku tentang pentingnya inklusivitas dalam pendidikan.