Mohon tunggu...
Husni Fahruddin
Husni Fahruddin Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, politisi dan jurnalis

Koordinator Youth Institute, BORNEO (Barisan Oposisi Rakyat Nasional dan Elaborasi Organisasi), FORMAS (Forum Organisasi Masyarakat), Laskar Kebangkitan Kutai (LKK), Advokat & legal Auditor

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Golkar Jokowi dan Golkar Prabowo, Siapa Menang?

2 Juli 2019   08:03 Diperbarui: 2 Juli 2019   08:26 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sedangkan Golkar rasa Jokowi sendiri cenderung pasif menunggu "arahan" dari Jokowi. Sesuai dengan karakter AH yang soft dalam berpolitik. Khawatir jatah kursi kekuasaan akan habis tanpa sama sekali melirik kubunya, Golkar Prabowo melakukan strategi ofensif, serangan dialihkan ke Airlangga karena akan menjadi blunder bila selalu menyerang rezim penguasa yang akan kembali berkuasa.

AH dianggap menciptakan Golkar yang tidak demokratis, selalu tunduk dengan penguasa, kapasitas ketum bukanlah sekelas menteri sehingga pimpinan partai tidak selayaknya menduduki posisi menteri yang merupakan pembantu Presiden, Golkar butuh pemimpin muda yang mewakili generasi millenial, yang akan mampu berkompetisi di tahun 2024 sehingga kepemimpinan seorang ketum haruslah membumi, terlihat elegan, flamboyan dan kharismatik  agar mampu mengupgrade suara golkar.

AH dikategorikan gagal dalam menahkodai partai karena hasil pileg membuktikan turunnya suara pemilih, kalaupun dinyatakan tetap sukses maka "kesuksesan" Golkar dalam pileg untuk tidak terjun bebas, lebih besar disebabkan karena kemampuan personal kader yang mengikuti pileg, bukan karena kekuatan ketum dan pengurus teras saat ini, kebiasaan ditubuh Golkar untuk tidak menjadi ketum selama dua periode dimunculkan walaupun isu itu tertolak oleh faktor Soeharto dan Akbar Tanjung, perancangan argumen dan diksi negatif lainnya kepada AH di media tulis dan elektronik bertujuan agar kader Golkar tersesat pikir untuk mendukung berlangsungnya munaslub.

Seantero politikus tanah air mafhum bahwa Golkar adalah partai yang selalu dekat dengan penguasa dan kekuasaan, sangat musykil untuk memunaslubkan Airlangga ketika saat ini sedang memiliki hubungan intim  dengan Jokowi. Lima tahun yang lalu, Golkar salah satu partai pengusung Prabowo, namun Jokowi tetap saja menjaga dan mengamankan partai kuning ini melalui tokoh-tokoh utama Golkar seperti BJ Habibie, Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan, apalagi sekarang ini, peran Golkar sebagai partai pengusung yang sejak jauh hari memproklamirkan Jokowi sebagai Presiden kembali.

Gerakan Golkar Prabowo ini adalah strategi naikan nilai tawar untuk mendapatkan keuntungan. Fakta ini didukung dari tokoh-tokoh yang masuk dalam kelompok suksesor munaslub, rerata di isi oleh tokoh dan organ yang gerakannya berafiliasi dalam pemenangan Prabowo. Penting bagi tokoh-tokoh Golkar agar tidak masuk perangkap pemberian dukungan menjadi calon pengganti AH. Saat ini mulai terlihat bagaimana jebakan itu telah mulai memakan korban.

Keadaan AH menjadi terjepit, ibarat buah simalakama dimakan mati ibu dan bila tak dimakan mati bapak, ketika Jokowi menjadi pemenang pilpres, posisi ketum partai menjadi seksi untuk dimiliki dan kursi-kursi pembagian kekuasaan menjadi target untuk diperebutkan, apalagi jika Jokowi kalah, sudah menjadi keniscayaan AH di munaslub kan, kelompok loyalisnya akan tersingkir dari kepengurusan, kursi-kursi menteri dan sederet jatah pembagian kerja keras politik akan dinikmati ketum baru hasil munaslub Golkar Prabowo.

Gerakan Golkar Prabowo sebenarnya bertujuan untuk membuka "jalan" agar AH sebagai ketum dapat memberikan kesempatan kepada blok kartanegara untuk menduduki kursi menteri dan posisi strategis lainnya, sulit bagi mereka bermain di wilayah rezim penguasa saat ini karena daftar hitam politikus Golkar yang membela Prabowo sudah ada di genggaman Jokowi. Satu-satunya solusi adalah meminta jatah melalui Golkar itu sendiri.

Secara objektif, penilaian terhadap kinerja AH sebagai ketua umum dalam tingkat kesuksesan dan kegagalan pileg dapat dilihat dari beberapa indikator. 

Indikator moralitas, Golkar di bumi-hanguskan dengan permasalahan sosial dan hukum, diawali dengan bola liar "Lumpur Lapindo" yang selalu di benang merahkan ke Abu Rizal Bakrie yang saat itu memiliki masa keemasan, isu ini begitu kuat di dengungkan dengan tema "menolak lupa" terutama oleh "pecahan" Golkar yang menjelma menjadi partai lain melalui media massa yang dimilikinya. Isu ini semakin menggerus kepercayaan publik kepada Golkar.

Begitu banyaknya pemain utama Golkar tersangkut masalah tindak pidana korupsi, melodrama Setya Novanto begitu menjadi tranding topic, ikon partai Idrus marham sebagai pemersatu kebuntuan kembali terhempas ketika Mensos ini dikaitkan dengan Eni Saragih, diperparah dengan penangkapan beberapa pentolan di daerah baik kepala daerah dan ketua DPD yang menjadi basis utama suara Golkar.

Indikator ketokohan, Golkar tidak memiliki godfather, setelah Soeharto, tidak ada lagi sosok yang bisa menyelaraskan perbedaan, disisi lain Golkar merupakan partai modern yang berkarakter dinamis dan kompetitif, segudang tokoh nasional dan daerah yang dimilikinya, membuat setiap orang mempunyai probabilitas yang sama untuk menduduki posisi pimpinan tertinggi di struktur organisasi dan kebebasan setiap kader  dalam menyalurkan pendapat dan aspirasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun