Mohon tunggu...
Husni Fahruddin
Husni Fahruddin Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, politisi dan jurnalis

Koordinator Youth Institute, BORNEO (Barisan Oposisi Rakyat Nasional dan Elaborasi Organisasi), FORMAS (Forum Organisasi Masyarakat), Laskar Kebangkitan Kutai (LKK), Advokat & legal Auditor

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Akankah Presisi 01 Membuat Lembaga Survei Tidak Porak Poranda?

22 Maret 2019   13:35 Diperbarui: 22 Maret 2019   14:20 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Di seluruh dunia saat ini, satu-satunya metode yang paling "mendekati" kebenaran dalam menduga keterpilihan dalam kontestasi politik adalah survei.

Survei merupakan kegiatan mengumpulkan data dan informasi dengan cara mengamati sebagian elemen dari populasi. Sebagian elemen dari populasi tersebut disebut juga dengan sampel.

Lembaga Survei Kredibel Bisa Dipercaya.

Metode Survei ini diadopsi oleh lembaga-lembaga survei yang kredibel sehingga memiliki tingkat keakuratan hasil yang mendekati kenyataan. Dalam tulisan ini, saya tidak menjelaskan apa itu survei dengan segala variabel yang mengitarinya.

Hasil delapan lembaga survei mainstream yang menyatakan kemenangan paslon 01, sebesar kira-kira 20% dan terakhir survei Litbang Kompas menyebutkan jarak elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dengan Prabowo-Sandi semakin menyempit menjadi 11,8 persen, yang ketika di survei enam bulan yang lalu masih sebesar 19,9%.

Saya tidak membahas penyebab pautan hasil survei antara delapan lembaga survei berbeda signifikan dengan survei Litbang Kompas, namun yang pasti kesimpulan dari hasil semua penelitian lembaga survei itu menjelaskan bahwa 02 masih tertinggal cukup signifikan dari 01.

Hasil penelitian lembaga survei ini menjadi dasar saya dalam menulis artikel ini. Strategi apa yang harus dilakukan oleh kubu 01 menyikap trend kenaikan elektabilitas 02 dan sebaliknya strategi 02 untuk membuat trend penurunan elektabilitas 01 menjadi tajam, dalam masa waktu yang sekitar dua puluh hari lagi menuju 17 April 2019.

Bila trend kenaikan dan penurunan elektabilitas ini cenderung kecil sesuai dengan hasil penelitian lembaga survei maka dipastikan hasil akhir sudah terlihat sesuai gambaran yang ada.

Bagaimana cara kubu 01 untuk mempertahankan kemenangan elektabilitas dan bagaimana cara kubu 02 menaikkan elektabilitasnya agar signifikan, keluar dari kecenderungan perubahan trend elektabilitas yang kecil.

Berbagai macam strategi ditempuh kedua belah pihak salah satunya adalah begitu gencarnya kubu 01 mengklarifikasi tentang segala hal yang berefek menurunkan elektabilitasnya dibarengi dengan pemaparan "prestasi" selama menjadi presiden disertai menampilkan bukti dan fakta tangkisan terhadap serangan tersebut.

Kubu 01 kesulitan dalam mencari titik serang, -- wajar saja -- sebab, 02 bukan penguasa. Isu HAM menyangkut penculikan dan pembunuhan mahasiswa di masa reformasi, kebijakan sebagai seorang pengusaha dan ketua umum partai saja yang bisa dijadikan sasaran serang, selebihnya sulit mencari kelemahan kubu 02.

Sebaliknya kubu 02, yang memiliki banyak titik serang, -- tentu saja -- sebab kubu 01 sebagai presiden, penguasa dan dikelilingi sederet partai besar lainnya, membuat banyak sekali kebijakan, program kerja dan kinerja untuk di kritisi.

Begitu banyaknya ruang dan titik serang maka diperlukan kejelian dan akurasi dalam menancapkan anak panah di titik terbaik agar berdampak signifikan bagi penurunan elektabilitas 01.

AKURASI & PRESISI

Melihat fenomena politik dalam Pilpres 2019 ini, tidak ada gagasan ideal dan perubahan paradigma menuju ke-ideal-an pemilih. Namun, terlepas dari kabar hoax, kampanye hitam, dan kampanye negatif, ada perubahan pola pikir pemilih yang mengarah pada politik identitas. Kecenderungan arah demokrasi yang kurang baik. Namun, menjadi realitas yang harus dilewati bangsa ini.

Politik identitas ini terbukti berhasil dilakukan saat Pilkada DKI Jakarta dengan memenangkan Anies. Politik identitas muncul karena kesamaan suku, agama, rasa, dan gender. Khusus Pilkada DKI Jakarta terkait identitas agama Islam.

Banyak kontestasi politik daerah dimenangkan karena permainan politik identitas, kesamaan identitas yang menjelma menjadi kelompok mayoritas, terlepas dari money politic yang masih menjadi "bencana" politik di Indonesia (Baca: sumber).

Politik identitas yang terjadi di Pilkada Jakarta, telah terkristalisasi dan digiring oleh kubu 02 untuk menggerus suara 01, strategi akurat agar kesuksesan Anies dapat menular ke Prabowo.

"Akurasi" serangan yang sangat tepat, terlepas politisasi agama adalah hal yang saya tidak sukai, karena sangat sensitif sehingga berbahaya bagi keutuhan kehidupan berbangsa, namun agama adalah politik identitas yang mengemuka dalam Pilpres saat ini.

Turunan dari politik identitas agama ber-reinkarnasi menjadi Islam dan anti Islam, didukung ulama dan mengkriminalisasi ulama, Islam (thesis/ber-Tuhan) dan komunis (atheis/tidak percaya Tuhan), anti Cina dan pro Cina, budaya Arab dan budaya nusantara, Islam Arab dan Islam Nusantara, legalisasi zina, larangan suara adzan, faham wahabi (tiada tahlil/tiada ziarah/tiada maulid), negara Islam dan negara Pancasila. Jargon yang ditampilkan untuk meraup suara sekaligus berusaha menjauhkan suara umat Islam yang memang mayoritas.

Stigmatisasi negatif akibat politik identitas telah terakumulasi menjadi gelombang besar yang dapat menenggelamkan Jokowi, di antisesis-kan dengan meminang Ma`ruf Amin, seorang Kiyai, Ketua Umum MUI, dan Rais Aam PB NU. Ini salah satu contoh "presisi" yang digunakan Jokowi untuk mengimbangi akurasi serangan kubu 01.

Bagi masyarakat umum, akurasi dan presisi adalah sama, padahal dua hal ini menyampaikan arti yang berbeda. Akurasi adalah "keadaan benar/tepat", presisi adalah "keadaan pasti", kebanyakan orang sulit membedakan kedua hal ini.

Pada saat mengambil keputusan, dua hal ini harus selalu diperhitungkan, karena begitu pentingnya akurasi dan presisi dalam sebuah strategi pemenangan dalam kontestasi politik.

Patut di ingat, Jokowi telah berkampanye sejak 2014, sebaliknya Prabowo "baru kembali" melakukan kampanye saat tahapan Pilpres 2019 dimulai, artinya sudah hampir 5 tahun, Jokowi secara masive berkampanye. Walaupun, di WAG-WAG pendukung Prabowo (saya juga heran kenapa di invite karena saat itu saya belum ikut politik praktis) sejak 2014 sampai sekarang masih selalu membicarakan sentimen Jokowi.

Adakah yang baru pada rivalitas Jokowi dan Prabowo? Tidak, ini hanya sebuah pengulangan pertarungan mereka berdua di 2014 yang lalu. Lantas, mengapa kubu oposisi tetap memilih Prabowo menjadi capres, harapan apa yang membuat pengulangan sejarah pencapresan ini terjadi?

Tepat sekali, harapan kemenangan bagi oposisi. Prabowo merupakan satu-satunya tokoh yang dapat mempresisi elektabilitas Jokowi, namun agar kekalahan 2014 tidak terulang kembali maka diperlukan strategi extraordinary mengacu kepada Pilkada DKI Jakarta.

Munculnya fenomena baru, setelah orde baru munculnya kaum reformis dan kini kekuatan ormas-ormas tampak mengharu-birukan perpolitikan di tanah air. Politik identitas dengan labelisasi Islam dengan sutradara tokoh-tokoh ormas ke-Islam-an, berafiliasi mendukung kubu 02. Inilah the real rival bagi Jokowi.

Menghadapi strategi politik identitas, dengan segala macam stigmatisasi negatif kepada Jokowi, dan agar tidak bias dalam meng-antispasi-nya maka tidak ada cara lain yakni mem-presisi setiap strategi yang diterapkan kubu oposisi.

Akurasi dari setiap anak panah yang dilesakkan oleh kubu 02 menuju target dari titik pusat lingkaran terlemah 01, disisi lain, bagi petahana, tidak membutuhkan lagi titik sasar untuk di tancapkan sebuah anak panah seperti yang dilakukan penantangnya, namun lebih mementingkan kemana anak panah oposisi diarahkan agar dijadikan target bagi anak panah 01. Presisi tidak perlu ketepatan tujuan tapi kepastian keadaan.

Berdasarkan hasil lembaga survei yang masih saya yakini kebenarannya, maka saat ini kubu petahan seharusnya cukup hanya dengan mempertahankan kemenangan tersebut dengan cara mempresisi setiap strategi pemenangan kubu 02.

Presisi yang sudah dilakukan kubu TKN sudah sangat tampak dan berhasil dibeberapa kasus, inilah yang membuat turun naiknya angka persentase elektabilitas kedua kubu begitu kecil. Ketatnya angka ini menguntungkan bagi 01 sebab elektabilitasnya telah melampaui 02.

Edisi teranyar, ketika Romahurmuziy terkena OTT KPK, di presisi oleh TKN dengan fakta, KPK juga telah menangkap Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, Wakil Ketua DPR RI dari PAN Taufik Kurniawan dan politikus Gerindra Mohammad Taufik yang saat menjadi ketua KPU DKI Jakarta terjerat kasus korupsi, termasuk kasus Ramyadjie Priambodo sebagai tersangka pembobolan mesin ATM. Banyak sekali contoh kasus untuk membuktikan bahwa posisi 01 saat ini bertahan dari gempuran kubu 02 dengan menggunakan strategi presisi dari setiap akurasi serangan.

TKN 01 melakukan akurasi program kartu "sakti" agar dapat langsung menyentuh hati masyarakat, Ma'ruf Amin dalam debat mengeluarkan tiga kartu, yang sedikit membius penonton, namun dengan perencanaan yang matang untuk mengantisipasinya, Sandiaga melakukan presisi dengan mengeluarkan sebuah kartu yakni e-KTP.

Isu e-KTP sebagai sebuah kartu yang smart, dapat digunakan untuk semua kemanfaatan, di blowup kubu 02 karena sangat efektif menumpang ke-populer-an kartu sakti yang selama ini menjadi kampanye andalan Jokowi. Represisi terhadap isu ini oleh kubu 01 segera dilakukan, sebuah pernyataan membuat berbagai kartu, dengan tujuan agar memudahkan rakyat dalam penggunaanya. Namun kedepan, sambil menunggu proses kemapanan sumberdaya manusia dan pembangunan teknologi industri 4.0, direncanakan semua kartu tersebut akan terintegrasi kedalam sebuah software di smartphone.

Di penghujung kampanye pilpres ini, kubu 02 akan menunjukkan semua strategi dan gerakan yang akurat, agar berdampak signifikan bagi penurunan elektabilitas 01, satu-satunya cara yang paling akurat bagi kubu 01 agar berkesesuaian dengan hasil lembaga survei adalah mengambil posisi defensive namun presisif agar kredibelitas lembaga-lembaga survei tidak porak-poranda.

Penulis: Husni Ayub MHF

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun