Sebaliknya kubu 02, yang memiliki banyak titik serang, -- tentu saja -- sebab kubu 01 sebagai presiden, penguasa dan dikelilingi sederet partai besar lainnya, membuat banyak sekali kebijakan, program kerja dan kinerja untuk di kritisi.
Begitu banyaknya ruang dan titik serang maka diperlukan kejelian dan akurasi dalam menancapkan anak panah di titik terbaik agar berdampak signifikan bagi penurunan elektabilitas 01.
AKURASI & PRESISI
Melihat fenomena politik dalam Pilpres 2019 ini, tidak ada gagasan ideal dan perubahan paradigma menuju ke-ideal-an pemilih. Namun, terlepas dari kabar hoax, kampanye hitam, dan kampanye negatif, ada perubahan pola pikir pemilih yang mengarah pada politik identitas. Kecenderungan arah demokrasi yang kurang baik. Namun, menjadi realitas yang harus dilewati bangsa ini.
Politik identitas ini terbukti berhasil dilakukan saat Pilkada DKI Jakarta dengan memenangkan Anies. Politik identitas muncul karena kesamaan suku, agama, rasa, dan gender. Khusus Pilkada DKI Jakarta terkait identitas agama Islam.
Banyak kontestasi politik daerah dimenangkan karena permainan politik identitas, kesamaan identitas yang menjelma menjadi kelompok mayoritas, terlepas dari money politic yang masih menjadi "bencana" politik di Indonesia (Baca: sumber).
Politik identitas yang terjadi di Pilkada Jakarta, telah terkristalisasi dan digiring oleh kubu 02 untuk menggerus suara 01, strategi akurat agar kesuksesan Anies dapat menular ke Prabowo.
"Akurasi" serangan yang sangat tepat, terlepas politisasi agama adalah hal yang saya tidak sukai, karena sangat sensitif sehingga berbahaya bagi keutuhan kehidupan berbangsa, namun agama adalah politik identitas yang mengemuka dalam Pilpres saat ini.
Turunan dari politik identitas agama ber-reinkarnasi menjadi Islam dan anti Islam, didukung ulama dan mengkriminalisasi ulama, Islam (thesis/ber-Tuhan) dan komunis (atheis/tidak percaya Tuhan), anti Cina dan pro Cina, budaya Arab dan budaya nusantara, Islam Arab dan Islam Nusantara, legalisasi zina, larangan suara adzan, faham wahabi (tiada tahlil/tiada ziarah/tiada maulid), negara Islam dan negara Pancasila. Jargon yang ditampilkan untuk meraup suara sekaligus berusaha menjauhkan suara umat Islam yang memang mayoritas.
Stigmatisasi negatif akibat politik identitas telah terakumulasi menjadi gelombang besar yang dapat menenggelamkan Jokowi, di antisesis-kan dengan meminang Ma`ruf Amin, seorang Kiyai, Ketua Umum MUI, dan Rais Aam PB NU. Ini salah satu contoh "presisi" yang digunakan Jokowi untuk mengimbangi akurasi serangan kubu 01.
Bagi masyarakat umum, akurasi dan presisi adalah sama, padahal dua hal ini menyampaikan arti yang berbeda. Akurasi adalah "keadaan benar/tepat", presisi adalah "keadaan pasti", kebanyakan orang sulit membedakan kedua hal ini.