Mohon tunggu...
Anshor Kombor
Anshor Kombor Mohon Tunggu... Freelancer - Orang biasa yang terus belajar

Menulis menulis dan menulis hehehe...

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Pergumulan Rasa Keadilan Masyarakat dan Turn Back Crime Seiring Kasus Ahok

20 November 2016   22:15 Diperbarui: 23 November 2016   01:36 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.facebook.com/turnback.crime

Dua hal merembesi pikiran, kala memekuri proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok, sambil nyeruput wedang kopi hot malam ini. Pertama, kesediaan selaku masyarakat hukum menerima penetapan status tersangka baginya, yang kian meresap ke relung sanubari terdalam. Itu pasti dan prinsip, toh dia sendiri menyampaikan himbauan senada, sekaligus berterima kasih pada kepolisian. Sikap yang kece badai!

Sepatutnya pula koalisi parpol pengusung tetap berkomitmen mendukungnya sebagai paslon. Mengingat, Gubernur Jakarta nonaktif itu cenderung terlihat ”single fighter” menghadapi bermacam serbuan politis silih berganti, tak jarang keroyokan sejak menggantikan Jokowi sampai dinamika terakhir.

Entah syahdan memang gara-gara karakter (bawaan) pribadinya, gaya bicaranya dan sebagainya. Dan ini bukan maksud memosisikannya sebagai korban. Tidak. Sebab, rasanya tak perlu berpikir siapa yang mengorbankan ataupun dikorbankan.

Kedua, ada bagian ketetapan status tersangka petahana Gubernur DKI Jakarta itu yang berkecipak di kepala lantaran masih terselip potensi beda pendapat. Berkenaan juncto pasal UU ITE yang dijeratkan padanya memunculkan pertanyaan. Hari-hari ini saja telah mencuat pandangan sebagian kalangan yang menilai jeratan pasal itu aneh dan tidak logis (Kompas).

Saya sendiri bertanya-tanya kala menyimak tampilan list pasal untuk Ahok itu di acara Kompas TV malam tempo hari. Dari sini, terasa dua alur penetapan dirinya sebagai tersangka, dengan objek musabab tampaknya sama berupa unggahan video berkonten terkait. Yaitu, terkesan bermula dari video di situs atau medsos Pemprov DKI Jakarta.

Cuplikannya mulai sering disertakan stasiun televisi swasta di sela-sela tayangan yang mengulas kasus ini. Rekaman yang mulanya sekadar dokumentasi kegiatan untuk memenuhi hak publik mendapat informasi, layaknya rilis situs atau medsos institusi pemerintah maupun Pemda umumnya. Dan sepertinya kemudian unggahannya dijadikan bahan pihak-pihak yang memperkarakannya.

Yang satu lagi, unggahan tautan video sejenis berdurasi lebih singkat dan berbubuh kalimat lantas viral di medsos. Kontennya mengusik ”rasa” sebagian atau sebutlah banyak pihak yang merasainya lewat dunia maya. Beberapa waktu kemudian tergelar aksi demonstrasi akbar yang damai.

Nah, kepolisian hendaknya lebih peka meruntut kembali untuk mengontruksi perkara ini. Apakah plot awal atau kedua, yang koheren dan inheren semula memantik psikologi massa, lantas membikin banyak orang termakan sebagai titik tolak? Ketika tak sedikit pihak yang mempersoalkan unggahan video kedua, lalu serasa di-sliyut-kan pihak lain seakan unggahan video pertamalah biang muasalnya.

Rasa Keadilan Masyarakat dan Turn Back Crime
Ahok berstatus tersangka kini. Bahkan, dirinya tak ubahnya terdakwa saat timnya berencana mendatangkan Ahli Tafsir dari Mesir, disebutkan untuk ”meringankan” dirinya di berita online (Kompas). Sekali lagi, tentunya kita menerima seraya menjaga tensi sosial tetap woles, serta pantang terpancing apapun pancingan sepanjang memantau proses hukumnya. 

Proses hukum berikut status tersangka yang kadung dialami Ahok sekarang, demi memenuhi ”rasa keadilan masyarakat” sebagaimana telah dimafhumi bersama. Sejumlah tokoh dan ahli hukum yang menjadi rujukan publik guna pembelajaran mengurai sengkarut masalah hukum dengan bijak selama ini, juga meneriakkan arahan secara hukum serupa.

Walau konsekuensinya hati jadi cenut-cenut mencari jawab, demi rasa keadilan masyarakat? Sebagai warga kebanyakan, saya juga tidak pada kapasitas sungguh paham maknanya, tetapi sekadar mengunyah-resapi sendiri sambil berupaya memandang tidak sebelah mata. Bagaimana dengan rasa keadilan para sedulur warga Jakarta lainnya, yang memilih diam memendam pemikiran maupun kehendak berbeda, di tengah kecamuk arus mainstream belakangan?

Rasa keadilan masyarakat kiranya bukan semata gejolak perasaan yang kesannya sepihak. Tidak sertamerta pula suara (dominasi) mayoritas. Namun, usai istiqamah dalam kepatuhan hukum berikut terhindarkan dari syahwat melanggar konsensus sosial, lalu harus menghadapi perlakuan tidak adil. Rasa keadilan masyarakat seharusnya dijelmakan bandul nurani yang tidak terbelenggu, dengan apapun ikatan pribadi maupun kelompok terlebih kepentingan artifisial sesaat.

Seiring kasus Ahok kali ini pun terkesan sedang terjadi pergumulan (desakan) ”rasa keadilan masyarakat” dan ”Turn Back Crime” di pentas publik. Aspirasi maupun partisipasi menuntut sang petahana diproses hukum, menyangkut dugaan penodaan agama jelas bukan kejahatan, sejalan praktik berdemokrasi dan negara hukum dalam konteks ini.

Hanya saja, mengapa susah dipungkiri sinyalemen pemanfaatan momentumnya untuk domplengan kepentingan lain tertentu, sebagaimana disinyalir berbagai kalangan sebagai indikasi tidak baik? Paling apes, pemaksaan kehendak yang tidak elok untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk serta berlandaskan hukum.

Lapisan wong cilik seperti saya di bawah, amat merasakan betapa segenap pemilik otoritas dan power yang dijamin konstitusi seolah dibikin ”tak berdaya”, sekurangnya dengan rangkaian pressure dihadapkan pada pilihan simalakama. Presiden selaku atasan seluruh unsur penegak hukum yang sejatinya memiliki kewenangan, dilempari bermacam tudingan dan "rantai" agar tidak melakukan intervensi. DPR terdiam seribu bahasa. Bahkan, rekan-rekan wartawan belum ”siuman” total, bahwa profesi mulia kuli tinta ikut tercatut sejak awal.

Yang keterlaluan, penghadangan kampanye hanya demi mengibarkan pesan, Ahok sekaligus Djarot tidak dikehendaki (sebagai kontestan Pilgub DKI Jakarta) karena dicap telah melakukan penodaan agama. Ulah itu tentu menyumpal kran demokrasi serta amat tidak mendidik. 

Turn Back Crime yang dikenalkan pihak berwajib sekitar Juni 2014 silam, sebagai aktualisasi kesadaran guna melawan balik segala bentuk (potensi) kejahatan –awalnya terorisme dan ekstremisme– pun serasa gelora yang sedang tiarap kehilangan agresifitasnya. Saat masyarakat termasuk sebagian besar warga Jakarta menjelmakannya dengan sikap diam sebab memang berpendirian lain, ketimbang meladeni tekanan atas kasus ini.

Maybe, diam adalah mekanisme ”perlawanan” yang paling tepat dalam kondisi (politik) sekarang. Tidak mudah tergopoh-gopoh mengamini agitasi yang hanya akan menghambarkan nikmatnya kebersamaan di bawah rimbun kebhinnekaan. Diam dengan kerelaan mericek segala informasi, bukan hanya untuk mendapat kesahihannya, melainkan lebih mempertimbangkan maslahat atau mudaratnya.

Berdiam diri dengan selalu mewaspadai jingkat-jingkat kawanan oknum kriminal yang mencari kesempatan dalam kesempitan di lingkungan sekitar, dan ketika memang nyata hendak merebakkan kejahatan, lawan balik bersama sesuai kaidah hukum. Serta bergeming dari gejolak hasrat menjadi bintang iklan gratis aksi yang destruktif.

Sudahlah, cukup mengawal proses hukum Ahok dengan senantiasa mengedepankan azas praduga tak bersalah ke depan. Azas praduga tak bersalah sendiri baju baja pengendalian diri, agar tidak gampang menyipratkan stigma. Bagaimanapun stigma bisa jauh lebih memberatkan dan mengguratkan bekas teramat mendalam, ketimbang sanksi hukum terberat. Dan saya percaya masih banyak hakim seperti almarhum Bismar Siregar di ruang-ruang pengadilan kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun