Rasa keadilan masyarakat kiranya bukan semata gejolak perasaan yang kesannya sepihak. Tidak sertamerta pula suara (dominasi) mayoritas. Namun, usai istiqamah dalam kepatuhan hukum berikut terhindarkan dari syahwat melanggar konsensus sosial, lalu harus menghadapi perlakuan tidak adil. Rasa keadilan masyarakat seharusnya dijelmakan bandul nurani yang tidak terbelenggu, dengan apapun ikatan pribadi maupun kelompok terlebih kepentingan artifisial sesaat.
Seiring kasus Ahok kali ini pun terkesan sedang terjadi pergumulan (desakan) ”rasa keadilan masyarakat” dan ”Turn Back Crime” di pentas publik. Aspirasi maupun partisipasi menuntut sang petahana diproses hukum, menyangkut dugaan penodaan agama jelas bukan kejahatan, sejalan praktik berdemokrasi dan negara hukum dalam konteks ini.
Hanya saja, mengapa susah dipungkiri sinyalemen pemanfaatan momentumnya untuk domplengan kepentingan lain tertentu, sebagaimana disinyalir berbagai kalangan sebagai indikasi tidak baik? Paling apes, pemaksaan kehendak yang tidak elok untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang majemuk serta berlandaskan hukum.
Lapisan wong cilik seperti saya di bawah, amat merasakan betapa segenap pemilik otoritas dan power yang dijamin konstitusi seolah dibikin ”tak berdaya”, sekurangnya dengan rangkaian pressure dihadapkan pada pilihan simalakama. Presiden selaku atasan seluruh unsur penegak hukum yang sejatinya memiliki kewenangan, dilempari bermacam tudingan dan "rantai" agar tidak melakukan intervensi. DPR terdiam seribu bahasa. Bahkan, rekan-rekan wartawan belum ”siuman” total, bahwa profesi mulia kuli tinta ikut tercatut sejak awal.
Yang keterlaluan, penghadangan kampanye hanya demi mengibarkan pesan, Ahok sekaligus Djarot tidak dikehendaki (sebagai kontestan Pilgub DKI Jakarta) karena dicap telah melakukan penodaan agama. Ulah itu tentu menyumpal kran demokrasi serta amat tidak mendidik.
Turn Back Crime yang dikenalkan pihak berwajib sekitar Juni 2014 silam, sebagai aktualisasi kesadaran guna melawan balik segala bentuk (potensi) kejahatan –awalnya terorisme dan ekstremisme– pun serasa gelora yang sedang tiarap kehilangan agresifitasnya. Saat masyarakat termasuk sebagian besar warga Jakarta menjelmakannya dengan sikap diam sebab memang berpendirian lain, ketimbang meladeni tekanan atas kasus ini.
Maybe, diam adalah mekanisme ”perlawanan” yang paling tepat dalam kondisi (politik) sekarang. Tidak mudah tergopoh-gopoh mengamini agitasi yang hanya akan menghambarkan nikmatnya kebersamaan di bawah rimbun kebhinnekaan. Diam dengan kerelaan mericek segala informasi, bukan hanya untuk mendapat kesahihannya, melainkan lebih mempertimbangkan maslahat atau mudaratnya.
Berdiam diri dengan selalu mewaspadai jingkat-jingkat kawanan oknum kriminal yang mencari kesempatan dalam kesempitan di lingkungan sekitar, dan ketika memang nyata hendak merebakkan kejahatan, lawan balik bersama sesuai kaidah hukum. Serta bergeming dari gejolak hasrat menjadi bintang iklan gratis aksi yang destruktif.
Sudahlah, cukup mengawal proses hukum Ahok dengan senantiasa mengedepankan azas praduga tak bersalah ke depan. Azas praduga tak bersalah sendiri baju baja pengendalian diri, agar tidak gampang menyipratkan stigma. Bagaimanapun stigma bisa jauh lebih memberatkan dan mengguratkan bekas teramat mendalam, ketimbang sanksi hukum terberat. Dan saya percaya masih banyak hakim seperti almarhum Bismar Siregar di ruang-ruang pengadilan kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H