”Ayolah Dul, jangan bicara konyol seperti itu? Kasusnya beda, hubunganku dengan Utari juga ndak serumit masalahmu”.
”Kau yang bersikap konyol, Yat. Sudahlah, aku ndak meminta bantuanmu, jadi kau juga ndak perlu membantuku. Please, cukup mengertilah keadaanku sekarang. Kau sendiri tahu, aku paling ndak bisa jika harus berhadapan dengan ibuku. Memikirkan hal itu saja sudah membuatku sedih, jangan kau tambah dengan sikapmu yang membuatku semakin pusing pala barbie”.
* * * * *
Udara pagi terasa amat sejuk. Butiran embun masih bergelayut manja di pucuk rerumputan. Enggan terpisah ketika matahari perlahan meninggi di ufuk timur. Murid-murid terlihat riang, bermain kejar-kejaran di antara tiang gede papan nama, bertuliskan ”Pondok Pesantren Raudhah Isabily Al-Mahbubiyah”, di depan gedung megah berlantai tiga, dengan halaman luas dan taman yang asri.
Isabella memerhatikan keriangan anak-anak yang masih polos itu dari balik jendela, lalu beralih menatap lekat-lekat plakat, tempat namanya tertulis dalam ejaan bahasa Arab di sana. Rambut keemasannya berderai dihembus angin yang seakan juga ingin mengajaknya bermain. Ia jadi teringat sepenggal puisi Dul bertahun-tahun silam yang isinya, ”Bagiku, kau dengan segala kelebihan dan kekuranganmu adalah taman aneka rupa bunga// bahkan dengan barisan duri yang melekat di antaranya// Percayalah, matahari pun ndak kuasa berpaling untuk ikut menghangatkan keindahanmu”.
”Honey...” tiba-tiba suara lirih berikut sentuhan lembut di pundaknya membuyarkan lamunannya. Ketika ia menoleh, tampak senyum mantan kekasih, pujaan hati dan suaminya terkasih, Dul.
”Ada apa, sayangku, nafas hidupku? Aku mencarimu ke mana-mana, rupanya kau mematung di sini. Sylvie, bidadari kecil kita bangun, tampaknya ia sedang mencari ibunya. Bukankah kau juga punya jadwal mengajar bahasa Perancis di kelas XA pagi ini, honey” sapa lelaki yang telah membuatnya jatuh cinta, untuk kemudian menyerahkan hidupnya.
Lelaki itu pula yang semakin membikin dirinya klepek-klepek belakangan. Terlebih dengan menamai anak pertama yang dilahirkannya Sylvie, nama ibu tercintanya yang meninggal dunia saat kunjungan terakhir ke Perancis, sehari usai acara tingkeban beberapa bulan kemarin. Hari-harinya pun selalu hangat, sehangat matahari pagi, dengan senyum ibu mertuanya. Nenek yang begitu menyayangi cucunya sepenuh kasih. Buah hati Isabelle dan Dul.
Inspirasi kisah Jeune & Jolie (Young and Beautiful)
* karya ini orisinil dan belum pernah dipublikasikan