Mohon tunggu...
Husni Mubarak
Husni Mubarak Mohon Tunggu... -

Jangan remehkan hal-hal kecil. Sebab seringkali bisa menyelamatkan kita semua.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akal Sehat Pilih Jokowi-JK

6 Juni 2014   18:38 Diperbarui: 20 Juni 2015   05:01 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya copas dari status seorang kawan, yang meng-copas status kawannya, yang menurut saya sangat peting. Judul murni dari saya. Menurut saya cerita di bawah ini menunjukkan akal sehat lah yang akan memilih Jokowi - JK. Mangga..

=========

TESTIMONI dari kawan saya, Zikra L. Anwar. Dia seorang profesional, sejak dulu ia menjauh dari ingar-bingar politik, dan baru saja meneguhkan sikapnya setelah sebuah renungan nan dalam. Inilah hasilnya:

MEMILIH YANG TIDAK LEBIH BURUK

Hingga saat kampanye terbuka Pileg 2014, saya belum memiliki preferensi terhadap kedua Capres sekarang, saya masih berharap akan muncul tokoh lain yang setidaknya menurut saya lebih “ideal”. Ketika kedua nama ini kian mengerucut, saya masih berharap akan terjadi “ledakan” di saat – saat terakhir dari Partai Demokrat (PD). Tetapi apa lacur yang terjadi jauh panggang dari api, pada akhirnya sistem politik kita ternyata hanya mampu menyodorkan kedua Capres ini. Sebagai konsekuensi saya harus memilih satu diantaranya karena sejak Pilpres 2004 golput tidak lagi menjadi pilihan. Selemah – lemahnya pilihan saya selama Pilpres adalah memilih seorang kandidat agar kandidat yang dimata saya lebih buruk tidak menjadi Presiden.

Ketika hanya dua kandidat yang bertarung head to head, saya langsung berkeyakinan bahwa suasana akan cepat memanas. Udara di tanah air akan dipenuhi caci maki dan fitnah terhadap keduanya. Saya menghindari terjebak dalam isu tersebut karena setelah sekian banyak orang menyampaikan dalam berbagai versi masing – masing, semua seperti resonansi yang tidak enak di telinga, antara kebenaran dan kebohongan akhirnya hanya dipisahkan garis pembatas yang tipis. Saya berusaha keluar dari situasi ini, menajamkan penglihatan, memperkuat pendengaran dan mengingat – ingat sesuatu atau peristiwa yang melekat kepada kedua kandidat setidaknya selama satu dasawarsa terakhir. Setelah 80 hari sejak kampanye terbuka Pileg dan kampanye Pilpres, saya akhirnya memutuskan pilihan saya. Sekali lagi bukan pilihan yang sempurna, tetapi menurut subyektifitas saya lebih tidak buruk dari yang lain

**********
Investasi Kebaruan Politik

Diantara banyak hal yang menarik perhatian saya satu diantaranya perjalanan Pak JKW hingga sampai pada posisi Capres. Setelah dianggap sukses di Solo (banyak perdebatan, tetapi ukuran saya adalah ketika sekitar 90% warga Solo memilih kembali untuk jabatan walikota periode kedua), oleh beberapa tokoh dia dibujuk untuk membenahi Jakarta. Melalui proses berliku dan dramatis akhirnya diajukan partainya untuk menjadi Cagub DKI Jakarta. Selama kampanye saya melihat hal – hal menarik. Beliau tidak ingin memasang spanduk yang mengotori kota, tidak mengandalkan kampanye terbuka tetapi lebih memilih berdialog langsung dengan konstituen. Beliau tidak banyak beriklan, tidak ngotot meminta dukungan Parpol melalui politik transaksional, dan yang paling signifikan adalah menginspirasi banyak orang (terutama dari kalangan muda) untuk sadar politik. Bagi sebagian orang itu dianggap pencitraan, tetapi menurut saya itu adalah pencitraan positif.

Untuk kerjanya di Jakarta beliau menuai simpati. Survey menunjukan tingkat elektabilitasnya sehingga menjelang kampanye terbuka Pileg, partainya memberikan mandat sebagai Capres. Saya kira mandat ini diberikan kepada “Petugas Partai” melalui tarik menarik internal yang kuat (TEMPO Edisi Maret 2014), sehingga saya bisa memahami jika beliau menjawab dengan kata – kata “Nggak Mikir… Nggak Mikir” ketika ditanya peluang nyapres. Pada akhirnya, beliau mendapatkan tiket Capres melalui citra kerja keras yang ditunjukan bukan melalui pencitraan lewat iklan berbiaya mahal.

Pada titik ini saya melihat sebuah fenomena, ternyata tiket Capres bukan lagi didapatkan hanya dengan berinvestasi mendirikan partai seperti yang dilakukan Pak SBY dengan PD, Pak Wiranto dengan Hanura, Pak PS dengan Gerindra, dan terakhir Pak SP dengan Nasdem. Pak JKW mendapatkan dengan investasi lebih murah, hanya dengan membangun etos bekerja. Beliau adalah Capres yang lahir di era reformasi, tidak memiliki beban masa lalu, bukan petinggi partai (pada saat banyak parpol mencalonkan Ketum sebagai Capres), memiliki pendekatan tidak normatif, pekerja keras, dan membawa angin segar dengan tidak ingin berbagi kursi (meski belum terbukti). Saya mendapatkan pesan yang jelas bahwa untuk menjadi Capres tidak perlu harus memiliki dana berlimpah sehingga harus “membeli” posisi sebagai Ketua Umum Partai, cukup menunjukan prestasi kerja maka tiket Capres akan datang dengan sendirinya! Hal ini terasa lebih bermakna ketika kita melihat kasus Pak AU, mantan Ketum PD, yang demi ambisi meraih tiket Capres terpaksa berurusan dengan KPK.

Bagi saya Pak JKW adalah (yang meminjam istilah Pak Anis Baswedan) sosok yang membawa kebaruan politik. Dan memilih Pak JKW adalah investasi saya untuk masa depan politik Indonesia yang lebih baik!

**********
Terlalu banyak Orang Bermasalah dalam Satu Perahu

Ini bukan soal Pak PS semata, meski (mohon maaf) saya tidak suka dengan cara beliau berorasi yang terkesan sangat agresif tetapi itu tidak serta merta membuat saya tidak ingin memilihnya. Saya mencoba berpikir positif bahwa itu adalah strategi sesaat untuk membangun citra pemimpin yang kuat. saya tidak mengapresiasinya tetapi saya bisa memahaminya.

Pilihan saya pada Pak PS mulai bergeser sedikit ketika proses berkoalisi dimulai. Pak JKW dengan penuh percaya diri membangun citra tidak ingin berbagi kekuasaan (sekali lagi mesti belum tentu), sementara Pak PS malah mempertontonkan politik transaksional (Majalah Detik Edisi “Jodoh Prabowo”). Partai yang sempat merapat ke kubu Pak JKW dan terksesan ditolak, malah bergabung dengan kubu koalisi Pak PS dengan kesan kuat terjadi transaksi. Saya tidak yakin Pak JKW juga kelak tidak melakukan hal yang sama tetapi pendekatannya terhadap isu ini membuat saya merasa lebih nyaman. Yang membuat pendulum kian bergeser adalah hasil akhir dari proses berkoalisi, dimana pada kubu Pak PS berkumpul terlalu banyak orang – orang yang bermasalah dengan hukum, dengan finansial, dengan moral dan dengan SARA.

Saya sedikit berharap ketika Pak SDA ditetapkan sebagai tersangka, Pak PS akan menggunakan kasus ini untuk memperkuat citra anti korupsi. Saya ingin melihat citranya yang tegas terhadap isu korupsi tetapi saya harus kecewa ketika beliau menampilkan kesan mendukung koleganya dengan menyerang KPK . Saya tidak bisa membayangkan bagaimana pemerintahan Pak PS bisa efektif dalam menangani berbagai isu tentang korupsi, HAM dan SARA ketika banyak orang yang bermasalah dengan isu tersebut berada dalam barisan pendukung. Saya tidak yakin beliau bisa melepaskan diri dari sandera orang – orang bermasalah dalam mengambil kebijakannya. Saya tidak bilang tidak bisa tetapi pasti berbiaya sangat mahal. Tidak memilih Pak PS bagi saya adalah wujud keinginan untuk mencegah sebanyak mungkin orang – orang bermasalah berada dalam pemerintahan

**********
Seharusnya Pak PS bisa lebih baik

Tidak lupa saya mencermati apa yang dilakukan para Capres selama setidaknya 5-10 tahun terakhir. Pak PS menghabiskan waktu untuk mengurusi para petani sebagai Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), pedagang pasar sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), dan pencak silat sebagai Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI). Ada juga yang menambahkan prestasi Pak PS dalam bidang tertentuhttp://www.kaskus.co.id/thread/535b78d9cb07e7210a8b464b/prestasi-seorang-prabowo-subianto-silahkan-bandingkan-dengan-jokowi/

Dalam perspektif saya dengan latar belakang karir militer cemerlang (terlepas beliau diberhentikan dari TNI dengan segala isu kontroversialnya), pengalaman bisnis dengan skala lebih besar, dan dengan kemampuan finansial melimpah, Pak PS bisa berbuat jauh lebih banyak. Saya tidak menafikan keberhasilan Pak PS membangun dan membesarkan Gerindra. Menurut saya itu adalah maha karya terbesar beliau selama satu dasa warsa terakhir ini. Pencapaian Gerindra jauh melampaui partai lain yang dibesut koleganya sesama militer, sebut saja Hanura dan PKPI, meski masih kalah dibandingkan dengan PD dalam kurun waktu yang sama. Sayang sukses ini hanya dirasakan sekitar 12% pemilih Gerindra. Saya termasuk yang tidak cukup bisa merasakan bahkan untuk sekedar menabur rasa optimis.

Dengan kapasitas jauh lebih kecil, Pak JKW menelurkan karya yang bisa lebih dirasakan. Kartu Jakarta Pintar, Kartu Jakarta Sehat, Penataan waduk, Reformasi Birokrasi, untuk menyebut beberapa diantaranya. Banjir dan macet memang jauh dari tuntas, tetapi saya bisa merasakan beliau sedang bekerja menanganinya. Saya termasuk orang yang berpendapat beliau belum membuktikan apapun, tetapi saya juga tidak sepakat bila dia dianggap tidak berprestasi. Sekali – sekali sebelum Pilpres datanglah ke Waduk Pluit, maka akan terasa suasana yang jauh berbeda. Bagi saya yang kerap berurusan dengan kelurahan untuk urusan bisnia bisa merasakan perbedaan pelayanan. Dulu untuk sebuah surat harus menunggu beberapa hari lantaran pejabatnya sering tidak ada di tempat, sekarang hanya dibutuhkan kurang dari satu jam untuk pelayanan yang sama dengan ruang tunggu yang lebih nyaman

Pada posisi ini saya lebih merasakan karya Pak JKW, sehingga (mohon maaf Pak PS) saya lebih memilih beliau!

**********
Melawan SARA dengan Cara Sederhana

Pada awalnya saya tidak ingin menjadikan isu ini sebagai alasan memilih, tetapi kejadian di Sleman, Yogyakarta akhirnya memperkuat pilihan saya. Dengan alasan apapun, sebuah perbedaan tidak boleh diakhiri dengan kekerasan. Masih banyak cara beradab yang bisa ditempuh, setidaknya itulah keyakinan saya yang dibangun dari nilai – nilai keislaman saya. Saya melihat salah satu kegagalan pemerintahan Pak SBY adalah mengelola konflik horizontal bernuansa SARA. Celakanya para pendukung SBY yang gemar mengelola isu ini untuk kepentingan politiknya kini berada dalam barisan pendukung Pak PS. Saya bisa membayangkan wajah pemerintahan mendatang dalam mengelola isu tentang SARA, sehingga pilihan untuk tidak memilih Pak PS adalah cara saya yang paling sederhana untuk melawan SARA

**********
Akhirnya, Pak JK!

Saya juga menaruh catatan ketika Pak PS akhirnya memilih Pak HR sebagai Cawapres. Jauh sebelum ditetapkan, saya sudah merasa skeptis! Banyak yang menyebut keberhasilan beliau membawa perekonomian Indonesia masuk ke dalam jajaran 10 besar dunia, tetapi saya melihat itu sebagai kerja kolegial bukan dominan Pak HR. Ketika menyoal renegosiasi tambang sebagai tema kampanye, saya malah melihat itu justru cermin kegagalannya karena semestinya sudah dilakukan ketika beliau berada dalam pemerintahan. Dan situasinya semakin jelas ketika penggantinya Pak CT justru bergerak cepat melakukan itu terhadap Chevron dan Freeport segera setelah dilantik. Menyebut nama Pak HR, ingatan saya justru pada sukses beliau bertahan dalam pemerintahan dengan tiga presiden berbeda dan proses kasus tabrakan putranya, Rasyid Rajasa. Mohon maaf, Pak HR tetapi itulah yang sejujurnya saya rasakan.

Berbeda ketika nama Pak JK digadang – gadang sebagai cawapres Pak JKW, saya merasa lebih antusias. Pak JK adalah pilihan saya pada Pipres 2009 mengingat catatan prestasinya selama mendampingi Pak SBY sebagai Cawapres. Mudah saja mengingat beberapa diantaranya, seperti Peran dominan dalam perdamaian di Palu dan Aceh, Konversi BBM ke BBG, Jalan Tol Bandara Soetta, dan Revitaliasasi PINDAD. Setelah tidak lagi dalam pemerintahan beliau tetap berkontribusi dalam merevitalisasi peran PMI dan menjadi motor penggerak bagi Pulau Komodo untuk menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat setempat, untuk menyebut beberapa diantaranya. Bagi saya Pak JK adalah risk taker dan problem solver yang dibutuhkan negara ini. Sejujurnya saya berharap beliau memberikan sentuhan terakhir dalam pengabdiannya kepada negara sebagai Presiden RI ke-7, jauh melampaui harapan saya kepada Pak JKW dan Pak PS, sayang partai tempatnya bernaung lebih mengedepankan ego dalam hitung – hitungan politiknya!

**********
Pada akhirnya. 80 hari setelah kampanye Pileg saya menetapkan pilihan saya terhadap Capres dan Cawapres berdasarkan lima alasan subyektif di atas. Saya akan merasa berbahagia bila ada yang terinspirasi memilih atau tidak memilih Pak JKW lantaran alasan yang sama daripada memilih atau tidak memilih salah satu capres berdasarkan isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Bagi teman yang sependapat silakan men-share tulisan pribadi ini tanpa perlu meminta izin, dan bagi yang tidak sependapat saya menantikan argumentasinya dalam bentuk sebuah tulisan bermartabat. Masih ada cukup waktu untuk berubah haluan bila ada yang dapat meyakinkan saya ada pilihan yang tidak lebih buruk!

************

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun