Saya copas dari status seorang kawan, yang meng-copas status kawannya, yang menurut saya sangat peting. Judul murni dari saya. Menurut saya cerita di bawah ini menunjukkan akal sehat lah yang akan memilih Jokowi - JK. Mangga..
=========
TESTIMONI dari kawan saya, Zikra L. Anwar. Dia seorang profesional, sejak dulu ia menjauh dari ingar-bingar politik, dan baru saja meneguhkan sikapnya setelah sebuah renungan nan dalam. Inilah hasilnya:
MEMILIH YANG TIDAK LEBIH BURUK
Hingga saat kampanye terbuka Pileg 2014, saya belum memiliki preferensi terhadap kedua Capres sekarang, saya masih berharap akan muncul tokoh lain yang setidaknya menurut saya lebih “ideal”. Ketika kedua nama ini kian mengerucut, saya masih berharap akan terjadi “ledakan” di saat – saat terakhir dari Partai Demokrat (PD). Tetapi apa lacur yang terjadi jauh panggang dari api, pada akhirnya sistem politik kita ternyata hanya mampu menyodorkan kedua Capres ini. Sebagai konsekuensi saya harus memilih satu diantaranya karena sejak Pilpres 2004 golput tidak lagi menjadi pilihan. Selemah – lemahnya pilihan saya selama Pilpres adalah memilih seorang kandidat agar kandidat yang dimata saya lebih buruk tidak menjadi Presiden.
Ketika hanya dua kandidat yang bertarung head to head, saya langsung berkeyakinan bahwa suasana akan cepat memanas. Udara di tanah air akan dipenuhi caci maki dan fitnah terhadap keduanya. Saya menghindari terjebak dalam isu tersebut karena setelah sekian banyak orang menyampaikan dalam berbagai versi masing – masing, semua seperti resonansi yang tidak enak di telinga, antara kebenaran dan kebohongan akhirnya hanya dipisahkan garis pembatas yang tipis. Saya berusaha keluar dari situasi ini, menajamkan penglihatan, memperkuat pendengaran dan mengingat – ingat sesuatu atau peristiwa yang melekat kepada kedua kandidat setidaknya selama satu dasawarsa terakhir. Setelah 80 hari sejak kampanye terbuka Pileg dan kampanye Pilpres, saya akhirnya memutuskan pilihan saya. Sekali lagi bukan pilihan yang sempurna, tetapi menurut subyektifitas saya lebih tidak buruk dari yang lain
**********
Investasi Kebaruan Politik
Diantara banyak hal yang menarik perhatian saya satu diantaranya perjalanan Pak JKW hingga sampai pada posisi Capres. Setelah dianggap sukses di Solo (banyak perdebatan, tetapi ukuran saya adalah ketika sekitar 90% warga Solo memilih kembali untuk jabatan walikota periode kedua), oleh beberapa tokoh dia dibujuk untuk membenahi Jakarta. Melalui proses berliku dan dramatis akhirnya diajukan partainya untuk menjadi Cagub DKI Jakarta. Selama kampanye saya melihat hal – hal menarik. Beliau tidak ingin memasang spanduk yang mengotori kota, tidak mengandalkan kampanye terbuka tetapi lebih memilih berdialog langsung dengan konstituen. Beliau tidak banyak beriklan, tidak ngotot meminta dukungan Parpol melalui politik transaksional, dan yang paling signifikan adalah menginspirasi banyak orang (terutama dari kalangan muda) untuk sadar politik. Bagi sebagian orang itu dianggap pencitraan, tetapi menurut saya itu adalah pencitraan positif.
Untuk kerjanya di Jakarta beliau menuai simpati. Survey menunjukan tingkat elektabilitasnya sehingga menjelang kampanye terbuka Pileg, partainya memberikan mandat sebagai Capres. Saya kira mandat ini diberikan kepada “Petugas Partai” melalui tarik menarik internal yang kuat (TEMPO Edisi Maret 2014), sehingga saya bisa memahami jika beliau menjawab dengan kata – kata “Nggak Mikir… Nggak Mikir” ketika ditanya peluang nyapres. Pada akhirnya, beliau mendapatkan tiket Capres melalui citra kerja keras yang ditunjukan bukan melalui pencitraan lewat iklan berbiaya mahal.
Pada titik ini saya melihat sebuah fenomena, ternyata tiket Capres bukan lagi didapatkan hanya dengan berinvestasi mendirikan partai seperti yang dilakukan Pak SBY dengan PD, Pak Wiranto dengan Hanura, Pak PS dengan Gerindra, dan terakhir Pak SP dengan Nasdem. Pak JKW mendapatkan dengan investasi lebih murah, hanya dengan membangun etos bekerja. Beliau adalah Capres yang lahir di era reformasi, tidak memiliki beban masa lalu, bukan petinggi partai (pada saat banyak parpol mencalonkan Ketum sebagai Capres), memiliki pendekatan tidak normatif, pekerja keras, dan membawa angin segar dengan tidak ingin berbagi kursi (meski belum terbukti). Saya mendapatkan pesan yang jelas bahwa untuk menjadi Capres tidak perlu harus memiliki dana berlimpah sehingga harus “membeli” posisi sebagai Ketua Umum Partai, cukup menunjukan prestasi kerja maka tiket Capres akan datang dengan sendirinya! Hal ini terasa lebih bermakna ketika kita melihat kasus Pak AU, mantan Ketum PD, yang demi ambisi meraih tiket Capres terpaksa berurusan dengan KPK.
Bagi saya Pak JKW adalah (yang meminjam istilah Pak Anis Baswedan) sosok yang membawa kebaruan politik. Dan memilih Pak JKW adalah investasi saya untuk masa depan politik Indonesia yang lebih baik!