Sabtu sore (19/9) ketika jalan-jalan di seputar Banda Aceh terasa agak gelap. Tetapi saya tidak begitu peduli karena dalam pikiran saya suasana seperti itu biasa-biasa saja. Sebab, beberapa hari ini saat sore tiba mendung datang dan tidak lama kemudian (biasanya habis maghrib) turun hujan atau terkadang hanya rintik-rintik saja.Â
Namun, malam Minggu itu ternyata sehabis maghrib tidak turun hujan tidak seperti malam kemarin (malam sabtu/18/9) habis maghrib hujan lumayan deras membasahi kota Banda Aceh. Bahkan facebookers banyak yang menulis status tentang turun hujan pada malam itu.
Karena tidak turun hujan, lalu malamnya saya keluar karena ada yang harus saya beli. Saya ajak anak saya untuk keluar sebentar. Saat keluar ke jalan, saya merasa ada sedikit berbeda dari biasanya. Apalagi saat melihat ke langit, kelihatan berkabut yang kelihatan tidak seperti biasa. Saya tanya pada anak saya, ada apa dengan langit malam ini?. Anak saya jawab, "Ya, yah. Ada Kabut". Â
Terus terang, baru saya tahu Banda Aceh diselimuti asap setelah membaca beberapa status di Facebook.Â
Kenapa saya tidak berpikir bahwa itu Asap. Karena selama ini di Banda Aceh khususnya belum pernah diselimuti asap. Asap yang sering kita dengar hanya ada di Riau, Jambi dan sekitarnya. Lalu kemudian kita dengar juga ada di Malaysia dan Singapura. Selama ini Banda Aceh (khusus) masih aman-aman saja dengan asap. Tidak begitu merisaukan.
Tetapi asap kali ini agak kentara. Anak saya yang memang matanya alergi dengan asap, sampai ke rumah, langsung masuk kamar sambil mengatakan matanya perih. Tahu seperti itu, langsung matanya ditetesi obat mata.
Saat saya menulis ini, mata anak saya masih memerah meskipun tidak terasa perih lagi. Karenanya, malam itu membuat saya semakin yakin bahwa apa yang kita lihat tadi benar adanya itu adalah asap. Pasti asap kiriman dari Jambi dan sekitarnya. Saat ini di daerah itu dalam keadaan darurat asap.
Timbul pertanyaan saya, kenapa bangsa ini setiap tahunnya selalu bermasalah dengan asap?. Harus diakui, entah saat itu belum populernya sawit, yang jelas pada masa orde baru jarang kita dengar ada daerah yang berasap hingga menyelimuti negara-negara jiran kita. Baru akhir-akhir ini masalah asap menjadi masalah yang sangat menakutkan.
Banyak orang berpikir bahwa kabut asap tidak akan terjadi pada masa pemerintahan Pak Jokowi-JK. Apalagi, masalah ini sudah ada upaya-upaya tertentu yang dilakukan pada masa pemerintahan Pak SBY. Tetapi ternyata, tiba-tiba masalah asap muncul juga.Â
Penyebab langit Indonesia terutama daerah Sumatera bagian Riau dan Jambi selalu diserang Asap tidak lain dan tidak bukan karena hutan-hutan didaerah itu dibakar. Bahkan bila dilihat dari asap yang ada, hutan di daerah itu kelihatan dibakar habis-habisan. Tujuannya adalah untuk mengantikan hutan alami dengan lahan-lahan sawit.Â
Tentu bagi mereka yang memanfaatkan lahan untuk ditanam sawit membakar hutan adalah cara efektif efisien terutama berkaitan dengan pengeluaran secara finansial. Bila hutan itu tidak dibakar, betapa banyak biaya yang dikeluarkan (oleh perusahaan-perusahaan) pengelola sawit untuk membersihkan lahan. Bila dengan membakar semua mudah selesai seperti menggunakan mantera simsilabin. Sebelumnya hutan dalam sekejab saja sudah berubah menjadi daerah yang tandus kering kerontang dan siap ditanam sawit.
Pertanyaan awam kita, kenapa berani-beraninya mereka dengan serta merta membakar hutan dengan cara membabibuta? Kenapa tidak sedikitpun takut, bukankah sebelumnya pemerintah telah mengancam mereka-mereka yang membakar hutan akan dikenakan hukuman? Tetapi kenapa itu terjadi berulang-ulang terjadi setiap tahunnya. Bahkan dalam satu tahun bisa terulang sampai dua kali.
Lalu tidak salah bila banyak orang yang spekulasi bahwa mereka tidak takut karena mereka memiliki beking yang kuat. Bukankah saat ini, karena ada beking, anak kemarin sore berani menampar polisi lalu lintas yang berseragam.
Bila spekulasi itu bukan, lantas kenapa bisa terjadi berulang-ulang. Akhirnya kita khwatir, jangan-jangan memang mereka berani karena mereka tahu bahwa dalam hutan tidak hadir negara. Karena dalam hutan tidak hadir negara, lantas kepada siapa mereka takut.
Paling kurang, mereka tahu meskipun negara hadir dalam hutan tetapi negara masih sangat lemah dihadapan mereka. Bisa jadi negara lemah karena: Pertama, personil penjaga hutan masih sangat minim.
Kedua, meskipun (mungkin) personil penjaga hutan banyak. Namun (maaf) mental-mental mereka belum begitu mantap (masih cepat goyah), sedikit gertakan apalagi digertak pakai duit mereka takut atau diam-diam saja pura-pura tidak tahu menahu.Â
Ketiga, berkaitan dengan sanksi atau hukuman yang diberikan tidak membuat mereka pembakar hutan tidak merasa jera atau takut. Mungkin mereka menganggap, membayar denda atau masuk bui masih masih untung dibandingkan rugi. Karena itu mereka tidak takut dengan hukuman atau sanksi yang diberikan. Bahkan (mungkin) mereka yang memiliki banyak uang punya cara untuk menghindari dari jeratan hukuman.
Karena itu, untuk menghentikan asap tidak mengempul lagi di atas wilayah dimana yang korban adalah anak-anak bangsa negara harus hadir dengan sebenar-benarnya dalam hutan. Personil-personil yang diturunkan juga diberi bekal yanglebih. Bukan hanya mental tetapi juga kesejahteraan. Jangan sampai gaji yang diterima personil penjaga hutan, untuk membeli obat nyamuk saja tidak cukup. Apalagi untuk mencegah munculnya penyakit malaria.
Negara juga harus berani menghadapi perusahaan-perusahaan nakal yang beroperasi apalagi perusahaan-perusahaan itu bukan milik anak bangsa. Bila pemiliknya anak bangsa, kalau hanya untuk mencari untung sendiri harus dihilangkan sampai tidak ada jejak lagi. Apalagi milik asing, hapus, kalau bisa injak-injak hingga tidak membekas lagi dan lenyap dimuka ibu pertiwi. Jangan sampai, mereka kemudian datang lagi dengan warna berbeda.....
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI