SAYA jadi tersenyum tersendiri membaca kehebohan di media massa hari-hari terakhir ini. Pertama, kehebohan nama seorang Lelaki asal kecamatan Licin, Banyuwangi, kelahiran tahun 1973, yang  bernama tuhan.  Meskipun pada awalnya saya tidak tertarik, tetapi ketika banyak orang mendiskusikan nama Tuhan yang ditambatkan pada nama manusia akhirnya mau tidak mau harus mengikutinya.
Kedua, setelah nama Tuhan yang muncul secara mendadak lalu tanpa disangka-sangka muncul pula syaitan. Tentu bukan syaitan yang dilaknati Tuhan. Syaitan ini bukan syaitan yang dibayangkan oleh manusia selama ini yang suka menggoda anak adam. Syaitan atau nama yang tertera di SIMnya (sebagaimana diberitakan media massa) Saiton, M.Si seorang guru. Bahkan sebagaimana diberitakan, dia-nya Saiton itu lansung menuju mushalla untuk sholat ketika azan berkumandang.
Sebenarnya, bukanlah suatu hal yang luar biasa atau penting tiba-tiba kedua nama tersebut diangkat menjadi perbincangan hampir seantaro Indonesia terutama di dunia maya. Meskipun, sebenarnya dua nama tersebut kalau dianeh-anehkan memang aneh.
Tuhan, tentu semua kita tahu bahwa yang dimaksud dengan Tuhan itu bukan makhluk seperti dia yang bernama Tuhan sebagai seorang hamba Tuhan. Ketika, Tuhan ditambatkan pada manusia tentu kita yang memanggilnya Tuhan tidak pernah merasakan dalam hati kita dia itu memang Tuhan yang disembah oleh manusia.
Begitu pula dengan syaitan atau saiton, nama aneh yang pasti kedengaran serem itu juga suatu hal yang biasa-biasa saja. Pasti, ketika kita bertemu dengan yang namanya saiton itu, tidak akan ada yang lari. Konon, dia-nya yang bernama saiton adalah seorang guru. Masak, seorang guru itu serem atau menakutkan.
Saya punya keyakinan bahwa orang tua mereka tidak memiliki maksud itu ketika memberi nama anak-anak mereka yang pasti ganteng-ganteng.
Saya khawatir, kesalahan nama mereka bukan terletak pada orang tua mereka tetapi pada tukang administrator negara yang kurang teliti dan telaten. Pasalnya, saya punya pengalaman ketika membuat salah satu akte anak saya. Masak, nama saya yang sudah saya tulis dengan benar pada formulir, dan saya lampirkan KTP lagi, seharusnya tertulis Djamaluddin Husita ditulis Djamaluddin Husnita. Terpaksa akte salah satu anak saya dikasih bukan yang asli tetapi salinan akte.
(Mungkin juga) nama Tuhan awalnya Johan. Apalagi orang kampong Tuhan ada yang memanggilnya Pak To atau Pak Han. Ingat, huruf J dengan T hampir sama ddalam dunia tulisan bersambung. Begitu juga dengan saiton, mungkin bisa jadi pengaruh bahasa daerah (kalau tidak salah administrator Negara) memiliki makna tersendiri yang baik.
Isu Tak Penting
Sekali lagi saya katakan bahwa sebenarnya kehebohan kedua nama saudara kita sesungguhnya bukanlah yang penting saat ini. Meskipun, kita akui dengan kehebohan ini kedua mereka menjadi terkenal. Konon lagi ada stasiun TV yang ingin mempertemukan kedua mereka (antara Tuhan dan Syaitan) di Jakarta. Meskipun (mungkin) cara mereka mendapat berkah dengan nama-nama mereka.
Tetapi isu atau perhatian penting saat ini adalah mengenai semakin kokohnya dominasi Dollar terhadap Rupiah.  Bahkan Rupiah sampai menembus Rp. 14.000/ Dolar. Meskipun, dengan dolar telah menembus angka seperti itu pemerintah tidak kalangkabut itu urusan pemerintah. Atau mereka sengaja memperlihat wajah tidak panik meskipun sesungguhnya di dalam sudah sangat kalang kabut.
Lagi pula ada pengamat ekonomi yang menyebutkan, bila Rupiah mencapai 15.000/Dolar, akan menggoyangkan dunia perbankan. Artinya, ekonomi Indonesia semakin tidak stabil kalau tidak boleh dikatakan akan terjadi krisis ekonomi kesekian kalinya.
Pertanyaan kita adalah apakah isu nama Tuhan dan Syaitan hanya sebagai isu pengalihan diantara rupiah yang semakin terbenam? Bisa jadi, isu-isu itu hanya sebuah hiburan bagi rakyat agar tidak merisaukan atau panik terhadap situasi dan kondisi ekonomi yang sesungguhnya. (27-08-15)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H