Mohon tunggu...
Djamaluddin Husita
Djamaluddin Husita Mohon Tunggu... Lainnya - Memahami

Blogger, Ayah 3 Putra dan 1 Putri. Ingin menyekolahkan anak-anak setinggi yang mereka mau. Mendorong mereka suka membaca dan menulis (Generasi muda harus diarahkan untuk jadi diri sendiri yang berkarakter).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Kecil 10 Tahun Perdamaian Aceh

15 Agustus 2015   17:39 Diperbarui: 15 Agustus 2015   17:39 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tepat tanggal 15 Agustus 2005 sepuluh tahun yang lalu di Kota Helsinki Finlandia terjadi peristiwa penting dalam kehidupan orang Aceh bernegara.  Pada saat itu terjadi penandatanganan MoU (Moratorium of Understanding) antara pihak Aceh Merdeka (AM) dengan pemerintahan Indonesia.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, selama lebih 30 tahun Aceh (baca: GAM) berkonflik dengan pemerintahan Indonesia. Selama itu,  masyarakat Aceh terutama di daerah kantong-kantong konflik  seperti hidup tidak menentu.  Serba salah karena terjepit diantara dua kubu yang sangat berseberangan.  Tak jarang, tanpa diduga-duga, tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan lalu mereka harus menyelamatkan diri.

Oleh karena itu ketika peristiwa penandatangan MoU yang dimotori oleh sebuah organisasi di bawah pimpinan Martti Ahtisaari Crisis Management Initiative (CMI) disambut gembira oleh seluruh masyarakat Aceh. Meskipun pada saat itu, banyak yang menanggapi dingin Sebab sebelumnya pada masa permerintahan Megawati Soekarno Putri pernah diadakan perundingan serupa. Tetapi pada saat itu gagal total. Bahkan konflik bersenjata semakin tajam antara GAM dan Pemerintahan RI.

Tanpa terasa tanggal 15 Agustus 2015 ini, peristiwa penting itu sudah berlalu selama 10 tahun.  Pertanyaan sekarang apa yang terjadi selama sepuluh tahun ini?

Ada beberapa hal penting yang perlu dicermati berkaitan dengan 10 tahun sudah berlangsungnya perdamaian di Aceh yaitu masalah keamanan, ekonomi, sosial politik dan pendidikan.  

Setelah MoU Helsinki  kondisi keamanan di Aceh sudah sangat kondusif meskipun akhir-akhir ini ada kelompok bersenjata yaitu kelompok Din Minimi yang sedang diburu pihak keamanan. Meskipun demikian, masyarakat Aceh atau masyarakat diluar Aceh yang ingin berkunjung ke Aceh tidak perlu risau dan takut.

Kalau dulu mau bepergian baik siang apalagi malam hari harus berpikir sepuluh kali lipat dan harus memantau situasi dan kondisi terlebih dahulu. Bahkan, saat itu terutama di daerah konflik mau kencing saja tidak berani takut terdengar suara yang mungkin bisa berakibat fatal.

Efek dari kondusifnya situasi dan kondisi keamanan di Aceh aktivitas masyarakat semakin terlihat. Denyut kehidupan semakin normal. Aktivitas ibadah di mesjid-mesjid dan meunasah-meunasah kelihatan semakin mantap dibandingkan pada masa lalu. Begitupun warung-warung kopi tempat kebanyakan masyarakat berinteraksi sesamanya sambil minum kopi sudah buka sampai larut malam bahkan ada yang sampai pagi.  Hal yang jarang ditemukan pada masa konflik terutama di daerah yang rawan.

Namun begitu ada satu hal yang menganjal dan ini dapat menimbulkan efek yang kurang baik bagi keamanan yaitu mengenai proses reintegrasi para mantan kombatan GAM. Menurut mantan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), Pieter Feith, proses reintegrasi para mantan kombatan GAM masih belum maksimal.

Lalu bagaimana dengan sector-sektor lain? Agaknya sektor lain masih membutuhkan multivitamin plus untuk membuat bergairah. Termasuk sector ekonomi.

Pembangunan ekonomi Aceh, meskipun bukan pengamat ekonomi, dengan mudah dapat kita lihat bahwa pembangunan ekonomi masih sangat lemah. Padahal dana untuk Aceh berlimpah setiap tahunnya. Total dana otsus sekitar Rp 41, 23 triliun yang diterima Aceh sejak 2008 hingga 2015 dan terus meningkat 8,8% setiap tahunnya.

Sebenarnya dengan dana yang cukup banyak setiap tahunnya selama kurun waktu 10 tahun terakhir Aceh sudah lebih maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain.  Nampaknya masyarakat Aceh kebanyakan menjadi penonton dengan mengalirnya dana trilyunan rupiah ke Aceh. Harus diingat ketidakadilan ekonomi akan berdampak tidak baik.  Apa yang ditutut oleh kelompok Din Minimi yang saat ini berkaitan dengan ketidakadilan itu.

Kita bisa memaklumi itu, sebab data BPS pada September 2014 penduduk  miskin Aceh mencapai 16,98% atau 837.000 orang. Hal ini membuat Aceh menjadi provinsi tiga besar dengan tingkat kemiskinan paling di Indonesia. Menurut BPS ekonomi Aceh triwulan pertama 2015 hanya mampu tumbuh 1,65% menurun -2,38% dibandingkan akhir tahun 2014.  Menurut para pakar ekonomi tingkat pertumbuhan ekonomi seperti ini akan meningkatkan angka pengangguran.

Penyebabnya  merosotnya ekonomi Aceh padahal dana mengalir ke Aceh cukup banyak bisa disebabkan karena pemanfaatan yang tidak sesuai sasaran. Tidak tahu harus berbuat apa. Kurang ada perencanaan yang matang dan juga (kemungkinan) terjadi korupsi yang merajalela dalam berbagai sektor. Sehingga dana yang cukup besar hanya dinikmati oleh segelintir orang saja.

Padahal biaya untuk membangun infrastruktur tidak begitu besar lagi. Karena infrastruktur di Aceh sudah diperbaiki dengan dana bantuan tsunami. Sehingga dana yang ada itu semestinya lebih difokuskan untuk membina masyarakat dalam membangun perekonomian keluarga. Bukan memberi bantuan tanpa kolkulasi yang benar.

Bidang sosial politik kelihatan juga tidak lebih baik selama 10 tahun perdamaian Aceh. Meskipun situasi ini terlihat pada para elit yang berimbas pada perpecahan dalam masyarakat. Saat ini, disenyalir antara gubernur dan wakil gubernur digambarkan seperti tidak akur.

Bila kita membaca media local baik online  maupun cetak terlihat ada kurangnya harmonisasi anatar para elit. Bahkan antara kombatan GAM saja, saat ini sudah memperlihatkan persaingan untuk menjadi orang nomor 1 di pemerintahan Aceh.  Kasat kusut hal ini di Aceh sudah menjadi rahasia umum. Apakah semua itu hanya permainan politik?  Bagi orang awam atau orang kecil tidak tahu menahu tentang ini. Tetapi yang jelas antara kombatan GAM ada friksi-friksi sendiri yang berbeda. Sehingga memunculkan amatan bahwa GAM dengan PA nya retak. Meskipun hal ini kemudian dibantah oleh Wali Nanggroe Aceh sendiri.

Akibatnya, meskipun pilkada masih lama yaitu 2017, namun antara satu dengan yang lainnya sudah membuat jurus-jurus tertentu. Tentu semua ini sangat mempengaruhi sosial politik masyarakat Aceh.

Meskipun demikian, perlu diberi apresiasi yang luar biasa berkaitan dengan ini. Meskipun masih ada kekurangan sedikit di sana sini, proses pemilihan umum termasuk pemilihan Gubernur dan Cawagub berjalan lancar. Artinya, dari konflik bersenjata berubah ke arah demokrasi. Transisi itu bisa berjalan dengan lancar.

Kemudian masalah pendidikan. Masalah ini merupakan masalah yang sangat krusial dalam membentuk generasi-generasi tangguh Aceh di masa yang akan datang. Membicarakan pendidikan berarti membicarakan kualitas.  

Secara kualitas pendidikan di Aceh selama ini juga sangat tidak mengembirakan.  Masih di bawah rata-rata provinsi lain. Namun,  dana yang diplotkan untuk pendidikan Aceh juga  begitu wah.  Tahun 2014 saja dana pendidikan di Aceh untuk meningkatkan mutu mencapai 300 miliar. Tetapi hasil yang diperoleh tidak maksimal. Dilihat dari segi kelulusan UN Aceh masih berada pada tingkatan bawah. Lalu kemana uang sebanyak itu?

Okelah, dulu pada masa konflik rendahnya kualitas  pendidikan Aceh bisa beralasan karena dalam situasi konflik. Selama 10 tahun perdamaian Aceh tidak mungkin lagi beralasan seperti itu. Apalagi dana untuk itu ada.

Saya melihat persoalan meningkatkan mutu pendidikan bukanlah perkara yang rumit bila pihak-pihak yang terlibat punya cara dan pemikiran untuk itu. Apalagi yang kita ajarkan adalah manusia-manusia yang masih bisa diatur. Hanya saja, semuanya harus jujur. Jangan sampai perencanaan peningkatan mutu pendidikan dilakukan warung-warung kopi. Atau habis dana dalam melakukan survey-survei yang hasilnya tidak begitu jelas.

Sekarang bagaimana perencanaan peningkatan mutu pendidikan di Aceh sudah dipikir dengan serius? Pelatihan-pelatihan yang dilakukan itu masih cocok dengan kondisi sekarang? Sebab jauh-jauh hari pelatiihan terus-terusan dilakukan. Kita tidak ingin pelatihan guru dipandang sebagai sebuah proyek belaka. Tidak dilakukan secara serius.  

Begitu pula dengan guru sebagai unjung tombak pendidikan. Perlu ada perubahan-perubahan baik cara pandang maupun pola pikir.  Sehingga pendidikan di Aceh benar-benar dapat diperhitungkan.

Bila kemudian dana itu bukan hanya untuk pelatihan guru atau yang lainnya. Tetapi juga digunakan untuk membangun sekolah. Ini juga patut dipertanyakan. Berapa buah sekolah yang dibuat setiap tahunnya. Padahal bukankah pada saat pasca tsunami hampir semua sekolah sudah dilengkapi dengan berbagai sarana dan prasarana.

Memalukan memang, 10 tahun perdamaian Aceh dan dengan dana yang begitu banyak mutu pendidikan di Aceh masih belum mengembirakan.

Tanggal 15 Agustus 2015 ini, MoU Helsinki sudah genap 10 tahun. Berarti MoU itu sudah umur satu dekade. Moment ini menjadi moment perenungan bagi semua orang Aceh dan orang-orang yang peduli dengan Aceh untuk bertekad membangun Aceh yang lebih bermartabat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun