Aku bermohon ampun kepada Allah seraya merasa malu kepada Allah. Alhamdulillah yang telah menjadikan kita sebagai umat dari kekasih-Nya dan manusia pilihan-Nya. Alhamdulillah yang telah menjadikan kita sebagai umat dari manusia terpilih yang Allah telah menentukan hal itu dan mensucikannya. Alhamdulillah yang telah menjadikan keberuntungan kita dengan sayyidina Muhammad diantara para Nabi dan menjadikan kita sebagai keberuntungannya diantara para umat. Shallallahu alaihi wa alihi wasallam.
Dan aku bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan kecuali Allah, Tuhan satu-satunya yang tiada sekutu bagi-Nya, suatu kesaksian yang cahayanya terpahat dalam kalbu-kalbu dari pintu kesungguhan ittiba' (mengikuti) kepada Al-Habib yang tercinta. Dan aku bersaksi bahwasannya junjungan kita, kekasih kita, penyejuk mata-mata kita, baginda kita, cahaya kalbu-kalbu kita, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Kekasih yang terpilih, pemimpin orang-orang yang tulus, penghulu para penyuluh, yang dengan rasa cinta, ittiba' dan ta'dhim (pengagungan) kepadanya, Allah akan memuliakan siapa saja yang memuliakan (beliau SAW), memberikan karunia kepada siapa saja yang memberikan sesuatu (kepada beliau SAW), mendekatkan siapa saja yang mendekat (kepada beliau SAW). Shallallahu wasallam wa baraka alaihi wa ala alihi. Shalawat dan salam yang tiada terhenti banyaknya dan tiada habis karunianya, semoga dengan keduanya (sholawat dan salam tadi) kita tercatat sebagai golongan yang dicintaiNya daripada kelompok yang didahulukan dengan kebahagiaan yang paling besar di dunia dan di akherat.
Berbicara mengenai junjungan para makhluk shallalahu alaihi wa alihi wasallam adalah suatu perbincangan yang dapat mengikat perhatian, tiada pernah berhenti dan tiada pernah habis. Akan tetapi, ketika berbicara di majlis-majlis seperti ini, sesungguhnya jalan menuju Allah Azza wa Jalla daripada keterhubungan makhluk dengan penciptanya, adalah kita harus mengetahui jalan menuju Allah itu melalui siapa? Perhatian kita kepada Allah Azza wa Jalla itu melalui siapa harus kita kerahkan?. Ketika suatu kaum mengaku cinta kepada Allah Jalla Jalaaluhu wa Ta'alat 'Adhomatuhu, Allah berkata kepada junjungan kita Muhammad,
"Katakanlah, jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku, maka Dia akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian."
Maka keterhubungan kita dengan beliau shallalahu alaihi wa alihi wasallam, adalah pintu keterhubungan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah berkata kepada Sayyidina Muhammad,
"Katakanlah, jika kalian mencintai Allah..."
(Seakan-akan Rasulullah disuruh berkata),
"Jika tampak dalam diri kalian kesungguhan rasa cinta kepada Allah Azza wa Jalla, maka pintu cinta kepada Allah Azza wa Jalla, adalah saya inilah representasinya, maka ikutilah aku."
Renungkanlah "ikutilah aku", maka (disana) tidak dikatakan "ikuti petunjuknya", tidak cukup seperti itu, atau (tidak dikatakan) cukup hanya sunnahnya, atau (tidak dikatakan) cukup hanya manhajnya, ataupun (tidak dikatakan) cukup hanya kitab yang diturunkan kepadanya, akan tetapi Allah memberikan petunjukNya agar mengarahkan kalbu-kalbu umat kepada sosok beliau shallalahu alaihi wa alihi wasallam, dalam dzatnya, sifatnya, akhlaknya, petunjuknya, manhajnya, syariahnya, muamalahnya, agama (yang dibawa)nya, dan kitab yang diturunkan kepada beliau. Dan Allah menuntun kita kepada beliau shallalahu alaihi wa alihi wasallam.
Allah menjadikan irtiqo' (naiknya derajat) seorang hamba untuk mencari cinta kepada Allah Azza wa Jalla, jika datang dari arah beliau (SAW). Allah tidak menjadikan bahwa buah hasilnya itu adalah engkau mencintai Allah, akan tetapi buah hasilnya adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala akan mencintaimu. Jika engkau mencari cinta kepada Allah, dan engkau memahami arti isyarat dan berbeloknya (rasa cinta) kepada kekasih-Nya dan manusia pilihan-Nya, maka buah hasilnya dengan perantaraan ini adalah naiknya derajatmu daripada orang yang cinta kepada Allah sampai derajat mahbubiyyah, sehingga engkau akan menjadi dicintai oleh Allah Azza wa Jalla.
Maka jadikanlah sebagai nikmat, muliakanlah, kepada seorang hamba yang dicintai di sisi Tuhannya, manusia yang dekat (di sisiNya), yang dapat dipercaya dalam menyampaikan sesuatu dan amanah. Keterhubungan dengannya dapat merubah seorang hamba dari derajat khotib (yang mencari dan meminta) menjadi makhtub (yang dicari dan diminta), dari derajat roghib (yang menginginkan) menjadi marghub (yang diinginkan), dari derajat mutaqorrib (yang mendekatkan diri kepadaNya) menjadi mutaqorrab ilaihi (yang didekatkan diri kepadaNya)
Makna inilah yang menjadikan para sahabat radhiyallahu anhum wa ardhahum sebagai orang-orang yang paling meningkat derajatnya dalam mengambil sesuatu dari Al-Habib shallalahu alaihi wa alihi wasallam diantara para umat beliau. Mereka (para sahabat) adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah. Allah telah memilih mereka (para sahabat) untuk menjadi orang-orang penerima dari Nabi shallalahu alaihi wa alihi wasallam, untuk menjadi khazanah (tempat untuk menyimpan) apa-apa yang disampaikan oleh Al-Habib sehingga dapat dipakai sebagai bekal bagi para umat sesudahnya generasi demi generasi. Mereka (para sahabat) mengerti makna ini. Mereka tidak hanya melihat kepada Sayyidina Muhammad dikarenakan beliau membawa risalah. Sungguh beliau telah menyampaikan risalah dan mereka menerima risalah yang dibawa tersebut dan menjalaninya. Akan tetapi mereka melihat kepada beliau karena sesungguhnya beliau inilah yang sebenar-benarnya risalah.
Perbedaan orang yang berhubungan dengan Al-Habib shallalahu alaihi wa alihi wasallam karena mengingat bahwa sesungguhnya beliau membawa al-muhimmah (sesuatu yang penting) yang telah dilaksanakannya, kemudian menunaikannya dan ia sibuk dengan al-muhimmah tadi, dengan orang yang menganggap Rasulullah shallalahu alaihi wa alihi wasallam itu sendiri yang sebagai al-muhimmah, adalah bahwa orang yang kedua ini memahami ayat "ikutilah aku" dengan segenap yang ada pada diri beliau (SAW). Para sahabat menjalani atas makna ini, maka mereka mencintai beliau (SAW) dengan seluruh yang ada pada diri beliau. Dan arti mereka (para sahabat) mengikuti Rasulullah dengan seluruh yang ada pada diri beliau adalah mereka sampai pada batas ketinggian ittiba'.
DIAMBIL DARI CERAMAH HABIBÂ ALI BIN ABDURRAHMAN AL DJUFRI
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H