Alasan paling masuk akal penolakan itu adalah kekawatiran Redbull apabila Porsche ikut masuk sebagai pemegang saham, nantinya secara teknikal akan banyak ikut campur.Â
Bisa dimaklumi sih, sebab Redbull saat ini sudah dalam kondisi optimal dengan mesin Honda. Tak bisa diragukan lagi, bahwa Honda adalah power unit yang pas buat sasis Redbull rancangan maestro Adrian Newey.
Masalahnya kemungkinan besar pada musim 2026 nanti Honda akan hengkang. Redbull sudah merencanakan membangun pabrik mesin sendiri. Sebagai tim kaya, tentu sangat mungkin itu terjadi. Duit ada. Staff jenius tersedia. Fasilitas melimpah, kurang apalagi?
Masalahnya untuk membangun mesin F1 kan tidak sesederhana itu. Makanya ketika Porsche menyodorkan proposal kerja sama, mereka welcome saja.
Hal ini menambah percaya diri Porsche. Kerja sama dengan Redbull adalah hal ideal. Sangat ideal. Karena kompetitor Redbull adalah Mercedes, pabrikan Jerman yang akan menjadi 'target' Porsche dilintasan nanti.Â
Tentu akan menarik. Karena Porsche tidak mau hanya Mercy yang menjadi pabrikan Jerman satu-satunya dilintasan setelah BMW hengkang. Tak main-main, group VW menurunkan dua merk sekaligus untuk menggempur Mercy, yaitu Porsche dan AUDI.
Tapi apa daya, keinginan untuk ikut menguasai saham Redbull mentok.
Kalau dilihat Skemanya, Porsche mungkin meniru langkah Mercy pada tahun 1995 ketika Mercy menyatakan kerja sama dengan McLaren serta membeli 40 % sahamnya.Â
Mercy pun lebih longgar melakukan intervensi teknis ke dalam tim yang bermarkas di Woking tersebut.Â
Termasuk menunjuk ILMOR untuk mendesain mesin buat sasis McLaren. Kelak, mercy berhasil membawa McLaren juara dunia 3x. 1998 dan 1999 melalui Mika Hakkinen, 2008 melalui Lewis Hamilton.
Seperti itulah yang diinginkan Porsche terhadap Redbull.