Dari sekian negara di Eropa, mungkin Belanda-lah yang dinilai membuat kebijakan Lockdown paling nyeleneh. Disaat negara-negara lainnya menerapkan status lockdown, malahan negeri para Meneer itu menerapkan intelligent lockdown.
Intinya, warga masih di perbolehkan keluar rumah untuk keperluan tertentu, belanja kebutuhan misalnya, bahkan di kawasan Maasport, Denbosch, warga juga diperbolehkan keluar rumah untuk jalan-jalan atau melewatkan waktu luang di playground, misalnya.
Kalau Perancis sudah mengakhiri masa Lockdown, maka sampai sekarang pun Belanda tetap pada status semula. Intellegent lockdown.
Kurang lebihnya sama dengan negeri bekas jajahannya disini,tapi disini namanya Pembatasan Sosial Berskala Besar. Pasar tetap buka. Tempat-tempat penjualan kebutuhan pokok tetap buka seperti biasa.Meskipun begitu para warga juga menetapkan protokol kesehatan sebagai standar sosial. Social distancing, masker, dan rajin mencuci tangan adalah kata yang paling sering di sosialisasikan.
Wargapun proaktif menaati protokol kesehatan yang di gaungkan pemerintah.
Suasana jalanan tak seramai biasanya. Setidaknya jalanan dari Denbosch, ibukota propinsi Belanda Selatan, kearah Lisse, sebuah kota wisata yang mengandalkan kebun bunga Tulip sebagai andalan komoditi pariwisata.
Ada yang menarik pemandangan di Lisse. Yaitu kebun-kebun bunga yang di gunduli, ditebang habis. Hal ini untuk mencegah wisatawan datang dan bergerombol di kebun bunga tulip.
Tujuan kedua adalah untuk regenerasi pada tanaman bunga. Jadi bunga-bunga yang lama dipangkas, dan bunga baru pun di tanam. Kecuali bunga deposito. Eh, salah....
Sikap pemerintah Belanda ini tentu mengundang pandangan 'aneh' dari negara-negara lain di Eropa. Disaat negara-negara sekitar getol memberlakukan status lockdown, Belanda malah terkesan 'longgar' dan suam-suam kuku atau hangat-hangat tahi ayam dalam mengatasi pandemi Covid19 ini.
Bahkan ada satu artikel di The Jakarta Post yang berjudul " Dutch gamble on 'intellegent lock down' Â to beat the Corona virus". Belanda terlalu berspekulasi dalam mengambil keputusan soal Intellegent lockdown dalam mengatasi pandemi Covid19.
Masih dari The Djakarta Post, salah satu warga  Belanda menceritakan pengalamannya, bahwa temannya yang di Belgia hanya keluar untuk mengajak jalan anjingnya atau untuk keperluan beli bahan makanan, selebihnya ya harus stay at home. Sumber tersebut mengatakan, " Ayolah, kita serius mengatasi hal ini!" bahkan kebijakan ini turut mendapat kritik dari warganya sendiri.
Kekhawatiran yang wajar kok. Mengingat Belanda termasuk negara dengan jumlah penderita yang tinggi, yaitu bertenger pada angka 45.578 serta di konfirmasi meninggal ada di angka 5.856 per tanggal 25 Mei 2020.
Sebuah angka yang fantastis, mengingat jumlah penduduk Belanda keseluruhan Cuma sekitar 17,28 juta jiwa, menurut sensus 2019.
Pandangan sinis tentang kebijakan pemerintah Belanda itu tak di gubris pengambil keputusan di pemerintahan kerajaan Belanda. Pemerintah perlu mengkaji ulang akibat dari Lockdown, yaitu faktor ekonomi.
Tak bisa di pungkiri, selain dampak kesehatan masyarakat, faktor ekonomi adalah salah satu sektor yang pertama kali kena 'pukulan telak' yang akan butuh waktu lama buat recovery.
Satu hal lagi, kalau memberlakukan lockdown pemerintah mesti mengeluarkan dana lebih untuk berbagai tunjangan kepada warganya. Terutama kepada warga yang terdampak secara langsung, yang kena PHK perusahaan akibat pemberlakuan lockdown misalnya.
Kesimpulannya pemerintah Belanda ambil jalan tengah. Mengamankan negerinya dari bahaya Covid19, dan mengamankan perekonomian negara.
Langkah yang sama, dengan istilah beda, juga diambil pemerintahan Republik ini. Kalau di Belanda disebut Intellegent Lockdown, maka disini disebut Pembatasan Sosial berskala besar. Sekali lagi, Â pertimbangannya adalah faktor ekonomi. Lockdown terlalu membebani pemerintah.
Maka berapa langkah di ambil pemerintah dalam mengatasi bahaya Pandemi mengerikan ini. Mulai dari pemberlakuan karantina wilayah dan PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar), sebagaimana telah diatur dalam UU 6/2018 tentang karantina kesehatan, pada pasal 9 ayat 1yang berbunyi Setiap orang wajib mematuhi  penyelenggaraan karantina kesehatan, serta ayat 2 yang berbunyi setiap orang berkewaiban ikut serta dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan.
Sedangkan ancaman bagi para pelanggar karantaina ada dalam pasal 93, bahwa setiap orang yang tidak mematuhi kekarantinaan kesehatan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 9 ayat ( 1) dan/atau menyebabkan kedaruratan kesehatan bagi masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama satu (1) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- ( seratus juta rupiah).
Untuk pembatasan sosial berskala besar, sebagaimana tercantum pada pasal 49
Dalam rangka melakukan tindakan mitigasi faktor resiko wilayah pada situasi kedaruratan Kesehatan masyarakat dilakukan karantaina rumah, karantina wilayah, karantaina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar.
Pertimbangan ekonomi dicantumkan pada ayat 2, masih pada pasal 49, yang berbunyi " Karantina rumah, karantina wilayah, karantina rumah sakit atau pembatasan sosial berskala besar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus didasarkan pada epidemilogis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan.
Pembatasan sosial berskala besar adalah upaya maksimal yang dilakukan pemerintah. Harapannya, warga sadar diri, akan bahaya pandemi covid19 ini bagi dirinya secara pribadi, dan lingkungan sekitar.
Tapi apa yang terjadi?
Kalau di Belanda warga protes karena pemerintah terlalu longgar dalam menerapkan status lockdown, maka disini banyak yang protes dengan tindakannya, dengan tetap keluyuran untuk satu hal yang tak perlu, dan menganggap bahwa peraturan pemerintah ini sangat mengekang mereka.
Faktor lain yang membuat pemerintah tak berkutik menghadapi warga yang tetap keluar rumah adalah, karena mereka harus tetap bekerja. Karena mereka pekerja harian lepas, yang kalau tidak bekerja hari itu maka tidak dapat upah (nafkah), mereka yang memaksa diri keluar itu adalah pedagang-pedagang asongan keliling, tukang ojek online, sopir taksi online, pengamen, pengemis, dan saudara-saudaranya.
Kalau mereka tidak keluar mau makan apa? Kalau mereka tidak keluar siapa yang mau menganggung biaya hidup? Sedangkan konon bantuan pemerintah juga tidak merata dan sering tidak tepat sasaran.
"Kami mau taat pak! Kami mau patuh. Kami juga suka kalau kami diharuskan berdiam diri dirumah. Masalahnya kalau kami tidak bekerja mau makan apa? Bisa ambyarrrr kami sekeluarga karena kelaparan. Sedangkan bantuan pemerintah tidak pernah sampai kepada kami!!!" Teriakan itu sering kali terdengar dari pembelaan kaum marjinal yang akan membuat ambyarrr tentang segala aturan.
Buat orang-orang seperti ini, menantang bahaya tiap hari adalah soal biasa. Maut mengintai disetiap perjalanan abang Ojek pada saat mereka mengantarkan penumpang ketika satu ketika sepeda motor yang mereka kendarai bersenggolan dengan mobil dijalanan. Itu bahaya yang nyata!
Apalah arti bahaya Covid19 buat mereka ini? Apalah arti segala aturan dan ancaman pidana buat para pelanggar peraturan kekarantinaan kesehatan buat mereka-mereka ini. Yang jelas mereka berjuang, bahkan bila perlu sampai titik bensin penghabisan!
Ambyarrrr!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H