Ada seorang bule asal Australia yang tinggal di Surabaya sejak kecil, nge-vlog, laris manis. Jumlah pengunjung serta like selalu diatas 10 ribu. subscribernya mungkin sudah ratusan ribu. Pada satu videonya malah jumlah penonton sampai 2juta lebih.
Padahal konten Vlognya sederhana. Tentang kesehariannya, tentang liburannya, tak lupa kadang juga berisi  prank, sebagai pemecah kebosanan. Tapi Prank bule bernama David atau yang akrab disapa Dave ini tergolong Prank yang pintar, dimana tidak membuat 'korbannya' sebagai obyek slapstick.
Lantas apa yang istimewa dengan Vlogger ini? Kemampuannya berbahasa jawa.
Yap! Walau tampang bule, dia bisa berbahasa jawa Suroboyoan secara fasih. Itulah yang disukai penikmat vlog.
Kenapa?
Karena Vlog-nya berisi tentang kesehariannya hidup di Amerika. Dalam beberapa vlog Andri juga mengajak salah satu atau beberapa temannya sesama dari Jawa untuk ikut membuat video.
Ada pula satu Vlog-nya yang berisi tentang tahapan-tahapan bekerja di Amerika. Tentang jenis-jenis Visa di Amerika. Tak lupa juga tentang biaya hidup, gaji, serta gaya hidup Amerika yang money oriented.
Dalam video tersebut Andri menyampaikan, bahwa tiap tahun ada jutaan orang apply Visa Amerika. Terutama Visa kerja. Bukan dari satu dua negara orang pengin meraih American Dream, tapi dari ratusan negara.
Cara penyampaian Andri mirip-mirip dengan Dave. Sederhana dan apa adanya. Mungkin inilah yang menjadi strong point. Titik kekuatan dari satu vlog untuk ditonton
Satu yang patut dicermati adalah, orang kita suka banget yang berbau luar negeri. Bule, orang luar negeri. Bisa bahasa jawa, adalah yang disukai masyarakat sini ( Indonesia).
Mungkin ini bagi orang jawa adalah kebanggan tersendiri. Bahwa bahasanya begitu terkenal, sehingga bule macam Dave pun bangga menggunakan bahasa Jawa. Karena mungkin banyak orang Jawa jaman now, malah sok british. Bahasanya seringkali diselipi istilah-istilah asing. Bukannya apa, nurut kita-kita orang Indo ini, segala sesuatu yang berbau luar negeri(asing), punya nilai lebih. Termasuk soal berbahasa.
Tatkala satu bahasa daerah (Jawa) dituturkan seorang yang bukan dari tanah Jawa ( Dave berasal dari Melbourne, Australia), maka kita punya semacam anggapan bahwa bahasa Jawa ini bukan main-main. Bahwa bahasa Jawa ini punya gengsi tersendiri. Sehingga seorang Bule pun bangga menuturkannya.
Apalagi kalau dilihat kesehariannya, Dave ini Jawa banget. Orang Jawa bilang, 'nJawani'. Maka tak salah kalau Dave dengan cepat meraih tenar lewat media berbagi video Youtube.
Hal yang kurang lebihnya sama dilakukan seorang Andrianto. Sebagai orang Jawa, dia bangga banget bisa meraih American Dream. Mimpi-mimpi Amerika seperti kebanyakan penduduk dunia lainnya. Andri yang pada tiap videonya menyampaikan kesehariannya dengan rendah hati yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat pedesaan Jawa pada umumnya, seolah mewakili impian masyarakat pedesaan Jawa pada umumnya.
Walau penghasilan sudah Rp 50juta lebih ( penghasilan Andri USD 4ribu), tetap berpembawaan sederhana. Tinggal di rumah tinggal yang disediakan oleh bos-nya, ke restoran tempatnya bekerja 'Cuma' mengendarai Chevrolet Sonic( Di Indonesia Chevrolet Aveo), serta gaya berbusananya yang kasual, cara bicaranya yang lugas, membuat orang selalu ingin mengikuti kesehariannya lewat situs berbagai Video Youtube.
Dari kedua contoh diatas, ada satu garis besar yang bisa ditarik untuk menyimpulkan kenapa video kedua orang itu banyak di tonton.
Pertama, kedua orang itu mewakili satu keinginan orang Indonesia pada umumnya, yaitu kebanggaan terhadap satu etnis tertentu, dalam hal ini Jawa. Dave walau bule, karena dari kecil dididik di lingkungan Jawa, maka jadilah Dave yang 'nJawani'.
Kedua, walau Andrianto sudah tinggal dan bekerja di Amerika, tetap tidak lupa asal-usulnya sebagai pemuda desa, tidak pongah, tidak berubah jadi sok Hip Hop misalnya. Tetap saja Andri hadir sebagai pemuda Jawa yang bekerja keras demi impiannya. Demi lembaran-lembaran Dolar yang kelak dipakai modal usaha ditanah air
Hal-hal itulah yang disukai masyarakat. Mereka berdua berhasil menterjemahkan keinginan masyarakat dengan cara mereka.
Mereka berdua mengerti, apa yang disukai masyarakat. Yaitu keluguan, apa adanya. Dan mereka berhasil membidik segmen penonton yang tepat.
Secara marketing, mereka 'sukses'. Mereka berhasil mengajak penonton untuk 'ikut masuk' dalam kehidupan pribadi.
Apalagi ciri khas sapaan Dave, " Dulur!" Disetiap pembukaan Vlog-nya yang ramah. Membuat seolah penonton merasa 'diorangkan', bukan dijadikan obyek demi bagian dari duit Adsense semata.
Begitulah seharusnya Vlog. Karena Vlog bukan program TV komersial yang demi mengejar rating, kadang-kadang harus melakukan provokasi berbau politis yang bikin panas hati dan panas kuping melalui program debat politik tak berkesudahan. Ada juga stasiun TV yang seolah membuat siarannya kayak Videotron. Film 3 menit, iklan 5 menit. Iklan 5 menit, film 3 menit.
Seharusnya stasiun-stasiun TV swasta di Indonesia belajar pada para Vlogger macam dua contoh yang saya sebutkan diatas.
Kalau tayangan Stasiun Televisi Swasta masih gitu-gitu aja, saya gak yakin mereka akan bertahan menghadapi berbagai gempuran dari para Vlogger yang makin hari makin berkualitas.
Dua Vlogger itu hanya dua dari sekian ratus Vloger yang sanggup menyajikan konten video berkualitas. Bayangkan betapa besar ancaman Vloger terhadap keberadaan Stasiun Televisi Swasta.
Satu hal yang perlu dilakukan Stasiun televisi Swasta, meningkatkan kualitas tayangan. Masyarakat jaman sekarang yang jadi target untuk menonton makin cerdas.
Duit iklan?
Ah, sudahlah, para 'pedagang' sekarang lebih suka membelanjakan anggaran iklan di kanal Video berkualitas daripada di Stasiun Televisi Swasta. Selain lebih murah, juga lebih efektif menjangkau target market pembeli.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H