Mohon tunggu...
Husen mulachela
Husen mulachela Mohon Tunggu... Penulis - Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Pernah jadi wartawan untuk beberapa media. Aktif menyibukkan diri dalam penulisan skenario. Beberapa tulisan saya bisa ditemui di Play Stop Rewatch, Mojok, Tagar, Katadata, dan Hops.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Sosiodrama, Refleksi, dan Budi Pekerti: Korban Perundungan Daring dalam Pusaran Budaya Pengenyahan dan Ketidakberadaban Masyarakat Maya

30 Agustus 2024   18:20 Diperbarui: 30 Agustus 2024   18:24 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu adegan dalam Budi Pekerti (Sumber: IMDb)  

Penggunaan judul Andragogy menjadi indikasi sekaligus afirmasi sosiodrama dalam ruang mediasi kamera Budi Pekerti. Dalam menanggulangi cyber bullying -- masalah sehari-hari yang coba dimitigasi -- Wregas menyodorkan suatu teknik sederhana yang dapat dipraktikkan secara langsung oleh penonton dewasa, yakni refleksi.

Refleksi, secara singkat, dapat dijelaskan sebagai tindakan mengarahkan kembali. Akar kata refleksi dalam Bahasa Latin menegaskan bahwa kegiatan ini pada prinsipnya adalah untuk mengajak seseorang melihat kembali apa yang telah mereka perbuat, katakan, pikirkan, rasakan, dan apa saja yang terjadi dalam diri mereka.

Sugesti refleksi dapat ditemui pada unsur narasi dan sinematik Budi Pekerti. Bu Prani (Sha Ine Febriyanti), karakter utama film yang berprofesi sebagai guru, menggaungkan metode refleksi agar para siswanya dapat berkaca atas kesalahan yang telah mereka perbuat. Kata Bu Prani, refleksi bukanlah hukuman, melainkan suatu teknik 'introspeksi'.

Maka, selagi kita melakukan tindakan amoral dengan 'menonton' keruntuhan hidup Bu Prani sebagai korban cyber bullying, kita dipaksa untuk introspeksi (refleksi); tepatkah sanksi sosial yang diberikan? Adilkah perundungan massal yang dialami Bu Prani? Atau lebih jauh; mungkinkah kita pernah/sedang menjadi pelaku cyber bullying?

Ketidakberadaban Masyarakat Maya

Relevansi konflik narasi film dengan 'kenyataan' jadi salah satu ramuan sebuah film untuk dapat menyentuh emosi penontonnya. Dengan demikian juga, film sebagai media komunikasi massa, secara kreatif memenuhi fungsi pengawasan instrumental dan sosialisasinya terhadap isu-isu sosial terkini. Faktor ini menjadikan Budi Pekerti lekat dengan "cerita yang kita ceritakan tentang diri kita" (The Interpretation of Cultures, 1973).

Sebab -- pada kenyataannya -- Indonesia masuk dalam jajaran negara paling kecanduan internet yang sudah sampai tahap mengancam kesehatan mental (We Are Social, 2022). Di tengah candu itu, sebagian pengguna internet memperlakukan dunia maya sebagai wadah perjuangan (cyber activism) yang ampuh memobilisasi massa.

Namun, dengan visi "cerita yang kita ceritakan tentang diri kita", Budi Pekerti menelusuri lebih jauh sisi gelap netizen Indonesia sebagai negara yang menempati jajaran atas untuk kategori netizen paling tidak sopan di dunia (Digital Civility Index, 2020). Adapun tindakan tidak sopan yang paling sering dilakukan masyarakat maya Indonesia, yakni berupa penyebaran berita bohong dan penipuan sejumlah 47%, ujaran kebencian 27%, serta perlakuan diskriminasi sebanyak 13%. Sebesar 48% perilaku ini dilakukan oleh orang asing dan terjadi sebanyak 24% dalam kurun waktu satu minggu.

Relevansi itu juga tercermin melalui hasil riset Center for Digital Society (2021). Dari 3.077 siswa SMP dan SMA, ada 45% siswa pernah menjadi korban dan 38% siswa menjadi pelaku cyber bullying. Senada dengan itu, UNICEF merilis data pada tahun 2022, sebanyak 45% dari 2.777 responden anak Indonesia mengaku telah menjadi korban cyber bullying.

Masifnya angka pengguna dan interaksi di dunia maya nyatanya belum dibarengi literasi digital yang mumpuni. Tingkat literasi digital Indonesia adalah yang paling rendah di antara negara-negara ASEAN. Lantas, apa jadinya ketika aktivisme online dan kebebasan bersuara itu diserahkan begitu saja ke tangan netizen? Alih-alih, yang terjadi malah cyber bullying, lebih jauh budaya pengenyahan (cancel culture). Inilah yang coba direfleksi oleh Wregas dalam Budi Pekerti melalui metode sosiodramanya.

Dalam Budi Pekerti, cyber bullying menyasar Bu Prani, seorang guru BK yang hidupnya terjungkir 180 derajat usai video yang menunjukkan dirinya menegur penyerebot antrean di pasar tersebar luas di media sosial. Lewat asas kebebasan bersuara, Bu Prani dicap bersalah oleh netizen dan mengalami ragam bentuk cyber bullying -- hingga terkesan mengalami cancel culture atau budaya pengenyahan.

Framing dan Tindakan Impulsif

Berbagai simbolisme 'refleksi' terungkap melalui elemen narasi dan sinematik pada tahap opening image. Budi Pekerti dibuka dengan adegan Bu Prani duduk di gazebo pinggir pantai sembari melakukan kewajibannya sebagai guru di tengah situasi pandemi (KBM online). Dalam KBM privat itu, Bu Prani tengah menugaskan salah seorang muridnya teknik refleksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun