Unsur-unsur Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif serta Pelanggaran yang Serius dan Signifikan sebagai Alasan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Periode 2014-2019.
Proses atau tahapan penyelenggaraan Pilpres 2014 telah dimulai pada 18 Mei 2014 dengan tahap pendaftaran calon hingga penetapan Jokowi-Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wapres terpilih periode 2014-2019 melalui Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 535/Kpts/KPU/Tahun 2014 tertanggal 22 Juli 2014 dengan perolehan suara sebesar 62.576.444 (enam puluh dua juta lima ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus empat puluh empat) atau sebanyak 46.85 dari suara sah nasional untuk pasangan Nomor urut 1 atas nama H Prabowo Subianto dan Ir. H.M. Hatta Rajasa; sedangkan pasangan Nomor urut 2 yakni Ir. H. Joko Widodo dan Drs. H.M. Jusuf Kalla memperoleh suara sebesar 70.997.833 (tujuh puluh juta Sembilan ratus Sembilan puluh tujuh ribu delapan ratus tiga puluh tiga) atau 53.15% dari suara sah nasional.
Namun, penetapan pemenang Pilpres 2014 ini diwarnai aksi walk out kubu Prabowo-Hatta pada saat proses rekapitulasi yang telah berlangsung 20 hingga 22 JUli 2014 ini. Aksi WO ini dilakukan persis pada saat perhitungan Provinsi ke-32, yakni Papua, dimana pada saat itu Saksi dari Pasangan Pra-Ha, yakni Sdr. Rambe Kamaruzaman membacakan surat bernomor 07-001/CAPRES-1/2014 perihal penarikan diri dari proses rekapitulasi suara hasil Pemilu Presiden 2014, yang ditandatangi oleh capres nomor urut 1 (satu) H. Prabowo Subianto. Pernyataan ini bersamaan dengan pernyataan Prabowo yang disampaikannya dalam suatu kesempatan konprensi pers di Rumah Polonia, dengan bunyi lengkap sebagai berikut:
“Kalau sekedar mencari hidup enak, saya tidak perlu berjuang di bidang politik. Demokrasi artinya rakyat berkuasa. Wujud dari demokrasi adalah pemilihan, dan esensi pemilihan adalah pemilihan yang jujur, yang bersih dan yang adil. Kalau ada yang mencoblos puluhan, ratusan surat suara itu tidak demokratis. Dari Papua saja ada 14 kabupaten yang tidak pernah mencoblos tetapi ada hasil pemilu. Ada 5.000 lebih TPS di DKI yang direkomendasikan PSU tetapi tidak digubris oleh KPU. Oleh karena itu, kami Prabowo-Hatta mengambil sikap sebagai berikut:
- Proses penyelenggaraan pilpres yang diselenggarakan oleh KPU bermasalah. Sebagai pelaksana, KPU tidak adil dan tidak terbuka. Banyak peraturan main yang dibuat justru dilanggar sendiri oleh KPU.
- Rekomendasi Bawaslu banyak diabaikan oleh KPU.
- Ditemukannya banyak tindak pidana Pemilu yang dilakukan oleh penyelenggara dan pihak asing.
- KPU selalu mengalihkan masalah ke MK, seolah-olah setiap keberatan harus diselesaikan di MK padahal sumber masalahnya di KPU.
- Telah terjadi kecurangan masif dan sistematis untuk mempengaruhi hasil pemilu presiden.
Oleh karena itu, saya Prabowo-Hatta akan menggunakan hak konstitusional kami menolak pelaksanaan Pilpres 2014 yang cacat hukum. Oleh karena itu kami menarik diri dari proses yang sedang berlangsung. Kami tidak bersedia mengorbankan mandat yang telah diberikan oleh rakyat dipermainkan dan diselewengkan. Kami siap menang dan siap kalah dengan cara yang demokratis dan terhormat.Bagi setiap rakyat Indonesia yang telah memilih kami, kami minta untuk tetap tenang. Yakinlah kami tidak akan membiarkan hak demokrasi diciderai. Saya menginstruksikan kepada saksi-saksi yang sedang mengikuti proses rekapitulasi di KPU untuk tidak melanjutkan. H. Prabowo Subianto”
Dari aksi WO dan pernyataan lisan dan tulisan ini, bagi penulis sebenarnya memiliki banyak dimensi pertanyaan, seperti: Mengapa pada saat rekapitulasi sudah mau selesai dan menunjukan tanda kekalahan baru menyatakan sikap seperti ini? Mengapa memilih menarik diri dari proses yang sedang berlangsung dan menolak Pilpres 2014 justru pada saat tahapan puncak? Kalau memang memiliki bukti kuat adanya upaya pelanggaran sistematis dan massif, kenapa tidak menempuh upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus terakhir?
Pertanyaan-pertanyaan penulis ini tentu hanya bisa dijawab oleh Pak Prabowo sendiri dan/atau timsesnya. Namun, fokus penulis dalam arikel ini adalah menguraikan apa yang dimaksud Unsur-unsur Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif sebagaimana yang dituduhkan Prabowo pada proses Pilpres 2014 kali ini.
Hal-hal yang dimaksud kubu Prabowo sebenarnya dapat dikategorikan atau merupakan bahan untuk dijadikan atau mengajukan permohonan Perselisihan Pemilihan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 UU Nomor 24 Tahun 2003 yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 yang pada pasal 75-nya menyebutkan wajib menguraikan secara jelas tentang kesalahan penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon (dalam hal ini misalnya Prabowo S).
Dalam beberapa putusan MK, seperti Putusan Sela No. 166/PHPU.D-VIII/2010 dalam perkara PHPU Pilkot Tanjung Balai 2010, disebutkan bahwa pelanggaran sistematis, terstruktur dan massif itu antara lain adalah (bagian pertimbangan hukum/halaman 104):
- berupa praktik politik uang yang dilakukan oleh Pasangan Calon
- dilakukan secara terstruktur dan berjenjang mulai dari tingkat Kota hingga tingkat TPS
- melibatkan banyak orang secara masif yang dijadikan sebagai koordinator, saksi, dan/atau relawan,
- di mana sebagian di antaranya memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada aparatur pemerintahan,
- dilakukan dengan perencanaan yang sistematis dan matang.
Beberapa putusan MK yang lain yang menggunakan argumentasi atau pertimbangan hukum yang sama dengan perkara 166 adalah Putusan No. 190/PHPU.D-VIII/2010 mengenai Pilkada Kabupaten Pandeglang 2010; No. 144/PHPU.D-VIII/2010 mengenai Pilkot Manado 2010.
Alasan lain atau istilah lain sebagai dasar PHPU ini juga dituangkan dalam Putusan MK No.. 44/PHPU.D-VI/2008, yakni pelanggaran yang serius dan signifikan, sebagaimana dalam perkara PHPU Pemilu Kada Kabupaten Timor Tengah Selatan. Dimana disebutkan bahwa pelanggaran yang serius dan signifikan adalah mengubah, dengan menambah atau mengurangi angka-angka perolehan suara pasangan calon tertentu mempengaruhi hasil akhir perolehan suara pasangan calon yang lain. Putusan MK No. 49/PHPU.D-VI/2008 mengenai PHPU Kabupaten Tapanuli Utara juga memuat unsur pelanggaran yang serius dan signifikan dengan unsur meliputi:
- Membiarkan NIK ganda tanpa melakukan pemutakhiran data;
- Membiarkan pembagian undangan memilih tanpa hak;
- Money politics;
- Membiarkan pencoblosan yang dilakukan oleh beberapa orang yang tidak dikenal;
- Tidak melaksanakan kewajiban menetapkan pasangan calon terpilih sehari setelah rekapitulasi penghitungan suara, dan
- Tidak melakukan tindakan atas terjadinya pengerahan orang pemilih yang bukan berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Dengan pertimbangan hukum berbagai Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah dikemukakan, Jadi, jika kubu Prabowo-Hatta ingin mengajukan PHPU Pilpres dengan argumentasi adanya kecurangan yang massif dan sistematis, hemat penulis merupakan hak konstitusional dan silahkan berperkara di MK dengan mempertimbangkan dan memperhatikan serta menyiapkan bukti-bukti untuk memenuhi unsur-unsur:
- berupa praktik politik uang yang dilakukan oleh Pasangan Calon
- dilakukan secara terstruktur dan berjenjang mulai dari tingkat Kota hingga tingkat TPS
- melibatkan banyak orang secara masif yang dijadikan sebagai koordinator, saksi, dan/atau relawan,
- di mana sebagian di antaranya memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung kepada aparatur pemerintahan,
- dilakukan dengan perencanaan yang sistematis dan matang.
- mengubah, dengan menambah atau mengurangi angka-angka perolehan suara pasangan calon tertentu mempengaruhi hasil akhir perolehan suara pasangan calon yang lain
- Membiarkan NIK ganda tanpa melakukan pemutakhiran data;
- Membiarkan pembagian undangan memilih tanpa hak;
- Money politics;
- Membiarkan pencoblosan yang dilakukan oleh beberapa orang yang tidak dikenal;
- Tidak melaksanakan kewajiban menetapkan pasangan calon terpilih sehari setelah rekapitulasi penghitungan suara, dan
- Tidak melakukan tindakan atas terjadinya pengerahan orang pemilih yang bukan berasal dari daerah pemilihan yang bersangkutan.
Sedangkan jika permasalahannya hanya:
- bersifat personal dan sporadis;
- kesalahan teknis dan administrative; dan
- berbagai permasalahan yang bersifat kualitatif seperti kekacauan masalahan penyusunan dan penetapan DPT, regrouping dan/atau pengurangan jumlah TPS, adanya kerjasama atau bantuan lembaga asing, adanya spanduk tata cara pencontrengan (pencoblosan), beredarnya formulir illegal model C-1 PPWP dan adanya berbagai pelanggaran pemilu, baik administasi maupun pidana. (Janedjri M. Gaffar. Hukum Pemilu dalam Yurispudensi MK, Jakarta: Konstitusi Press, hal. 165)
maka belum dapat dinilai sebagai pelanggaran pemilu yang sistematis, terstruktur dan massif sehingga juga tidak menyebabkan pemilu cacat hukum atau tidak sah sebagaiman pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 148/PHPU.D-VIII/2009 mengenai Pilkada Kabupaten Tana Tidung dan No 108-109/PHPU.B-VII/2009 mengenai PHPU Pilpres 2009 yang dalam hal ini Prabowo Subianto juga berperan sebagai pemohon (pasangan nomor 1 bersama Megawati Soekarno Putri).
Kesimpulannya, jika ada pihak yang memang berkeberatan dengan hasil Pilpres 2014, gunakan cara konsitusional dengan mengajukan permohonan Mahkamah Konsitusi, bukan kemudian menuduh curang terhadap semua pihak penyelenggara Pilpres 2014 dan pihak atau orang yang terkait dengan Pilres 2014 ini.
Tabik,
Husendro
- Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia
- Pls see: www.husendro.com untuk artikel lainnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H