Jika digabungkan dengan Tapera, total potongannya bisa mencapai hampir 10% dari gaji Anda. Bayangkan gaji seorang pekerja di Surakarta hanya berkisar Rp 2,265 miliar dan setelah dipotong 10% akan mendapat kurang dari Rp 2 juta. “Ini ironis dan demi kesejahteraan pekerja,” ujarnya. Wahyu juga mengkritisi ketentuan Dana Tapera yang hanya bisa ditarik pada usia 58 tahun, seperti halnya JHT dan jaminan pensiun. Ia mengatakan, tidak ada jaminan pekerja akan langsung mendapatkan rumah setelah menabung selama 12 tahun karena harus mendapat izin dari BP Tapela. “Kemampuan pekerja untuk mencicil perumahannya dengan memotong gaji dari berbagai iuran sudah tidak layak lagi,” ujarnya. Peraturan ini tidak hanya membebani pekerja, tapi juga pengusaha. Wahyu mengatakan, dalam kasus Tapera, pengusaha harus menambah biaya sebesar 0,5% dari gaji pekerja, di luar berbagai kewajiban seperti menyiapkan dana pensiun bagi pekerja. “Jumlahnya bisa mencapai 20% dari total biaya yang harus ditanggung pemberi kerja di luar upah minimum.“Tidak mengherankan jika APINDO menentang keras kebijakan tersebut,” ujarnya.[6]
Berdasarkan pro dan kontra tersebut terdapat beberapa pertanyaan yang menjadi bahasan utama dalam tulisan ini yaitu Bagaimana Sejarah Tapera tersebut, Bagaimana pro dan kontra di kalangan masyarakat, dan Bagaimana solusi Tapera tersebut. Dan pembahasan kali ini sangatlah menarik dikarenakan banyak dikalangan masyarakat yang masih bertanya apa itu Tapera dan kenapa UU tersebut disahkan dan diberlakukan.
B. Pembahasan
1. Sejarah Tapera
Berawal dari Kongres Perumahan Rakyat Sehat, pada 1950 di Bandung, Perencanaan Tabungan Perumahan Rakyat bukan pertama kali dilaksanakan oleh Pemerintah. Program perumahan murah untuk rakyat di Indonesia.[7]Kongres tersebut Perumahan Nasional (Perumnas) sebagai perintis rumah murah di Indonesia. Terkait dengan kongres tersebut, maka dibentuk Djawatan Perumahan Rakyat di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga dengan SK Presiden Nomor 05 Tahun 1952, pada 25 April 1952.
Sebelumnya, pada 20 Maret 1951 dibentuklah Badan Pembantu Perumahan Rakyat yang berhasil menyusun Peraturan Pembiayaan Pembangunan Perumahan Rakyat. Kemudian dibentuklah Yayasan Kas Pembangunan (YKP). Hingga 1961, yayasan ini mampu membangun 12.460 unit rumah. Namun karena kesulitan keuangan akhirnya lahirlah Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan (LPMB) di Bandung, yang sekaligus berfungsi sebagai Pusat Perumahan Regional PBB (RHC). Kebutuhan rumah semakin besar membuat disepakati adanya pembentukan badan lain yang bertugas memberi pengarahan secara menyeluruh, agar program perumahan segera tercapai.