Siang begitu terik menyelimuti Angkinang, kampung Dugal tinggal. Ia pulang lebih awal dari tempat kerja. Siang usai shalat Dzuhur ada hajatan mahaul keluarganya. Ia sudah bersiap diri hadir pada aruh tersebut. Mandi, ganti pakaian.
Saat azan Dzuhur tiba Dugal bergegas pergi ke Langgar Al Kautsar, untuk menunaikan shalat fardhu Dzuhur berjamaah. Setelahnya menghadiri hajatan di tempat keluarganya, yang rumahnya berdampingan dengan Langgar Al Kautsar.
Dugal teringat kenangan saat ikut Aruh Sastra di Pagatan. Teman-teman tahu kejadian sebelumnya, saat menuju masjid, mau shalat Maghrib. Dimana Bapak Rendra membuka blog Dugal, lalu membaca postingan terakhir. Setelah itu diberitahukan ke rekan yang lain, saat sama-sama menuju masjid.
Dimana ada Aliman, Bapak Radi, dan Mudrik. Mereka tersenyum setelah mengetahuinya. Bahkan di masjid mereka bertemu dengan Dugal.Â
Membicarakan soal itu. Dugal tanpa beban. Semua ia jalani dengan sepenuh senang. Usai Maghrib dan Isya Dugal berpisah dengan rekan-rekannya.
Nanti bertemu di panggung utama Aruh Sastra. Ada pagelaran sastra pukul 21.00 WITA. Selama Dugal tidak ada, di penginapan rumah Hj Fatma, suasana cukup menegangkan. Hj Fatma seperti bertaring, ingin mencengkeram siapa saja yang ditemui.
Semua diam di tempat. Tak banyak ngomong. Istirahat siang dengan penuh kepura-puraan. Amarah dan emosi Hj Fatma dilampiaskan kepada siapa saja.Â
Pergi ke kamar mandi dan WC saja takutnya minta ampun, kalau-kalau kejadian yang dialami Dugal terulang lagi. Buang-buang air tak bermanfaat.
Dugal terus berjalan jauh. Setelah Pagatan, kini giliran Labung Anak yang ia sambangi. Di sana ia bisa bertenang diri. Tempat yang tepat untuk memulihkan kelelahan dan kejenuhan dari rutinitas harian.
Dugal bersama rekannya Rizal, menghadiri peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW di Labung Anak, di rumah sahabat mereka bernama Sari. Waktunya pada sore hari. Naik sepeda motor dari Angkinang.
Mereka berangkat usai shalat Ashar. Mereka lewat jalan Lingkar Walangsi Barabai. Sebelum ke rumah Sari, mereka singgah dulu di rumah sahabat mereka yang lain, pasangan suami isteri Hariadi dan Halimah.
Suguhan menu saat Maulid di tempat Sari ada aneka macam. Dugal pilih lauk haruan masak kastila. Ditemani air putih minumnya. Wadainya ada bingka barandam, agar-agar, dan sumapan. Sekitar setengah jam di rumah Sari, Dugal dan Rizal kembali ke rumah Hariadi.
Dugal merasa senang dan bahagia jalani keseharian. Walau hidupnya dalam keterbatasan, terutama soal ekonomi. Tak seperti orang-orang. akan tetapi Dugal terus bersyukur atas kenyataan hidup yang ada.
Hj Fatma balik menuju ke ruang belakang, ia membuatkan teh hangat dan membawa wadai beberapa potong untuk Dugal. Hj Fatma sangat perhatian dengan Dugal.Â
Dugal berterima kasih banyak atas perhatian Hj Fatma. Hj Fatma kembali ke ruang belakang urus rekan-rekan Dugal yang menikmati makanan.
Dugal sendirian di ruang depan. Gigi masih terasa nyeri, kepala berdenyut, walau sudah minum obat. Rekan yang lain berdatangan kembali setelah menikmati jamuan makan, dalam rangka mahaul ayah Hj Fatma, yang meninggal lima tahun silam.
Teh hangat buatan Hj Fatma tersisa setengah cangkir. Wadai lima pitong sisa tiga. Berarti Dugal masih ada selera makannya. Hanya saja muncul rasa khawatir setelah makan minum itu, sakit gigi dan kepala kambuh lagi.
Saat Rasuna, Ibu Eva, Nurul, Kiki, Jannah, serta yang lainnya, jalan-jalan mengitari kota Pagatan dan Pantai Pagatan, Dugal ingin ikut, tapi karena kondisi tidak fit, terpaksa ia dengan berat hati tinggal di penginapan saja.
Di penginapan Dugal ditemani anggota rombongan lainnya, ada Aliman, Pak Radi, dan anggota pagelaran sastra. Juga Hj Fatma, yang setiap waktu, lewat WA memantau keadaan Dugal.
Di ruang belakang ibunya Hj Fatma sudah menyiapkan teh manis hangat. Lalu menyuguhkan ke anggota rombongan sastrawan HSS, yang menginap di rumahnya. Di sana ada Aliman, Pak Radi, Mudrik, Pak Rendra, dan anggota perempuan.
Yang lain berada di ruang tengah tengah asyik rebahan. Tak lama datang. Saat itu Dugal tengah istirahat di teras rumah. Hj Fatma masuk ke dalam rumah. Ambil piring, lalu menyuguhkan wadai kepada anggota rombongan Aruh Sastra. Lalu mempersilahkan untuk menikmatinya.
Hal itu dilakukan Hj Fatma sebelum paket sarapan pagi dari panitia tiba ke penginapan. Hj Fatma beranjak ke depan ajak Dugal ke ruang belakang untuk minum bersama. Dugal mengikuti Hj Fatma dari belakang. Dugal duduk dekat Aliman dan Pak Radi.
Hj Fatma menyerahkan segelas teh manis hangat kepada Dugal. Lalu Dugal mengambil wadai untuk satu potong. Mereka terus berbincang ringan menunggu waktu pagi tiba, bersiap mengikuti agenda kegiatan Aruh Sastra.
Dugal ke Labung Anak. Di rumah miliknya, ganti pakaian, lalu menuju kebun karet. Jaraknya sekitar satu kilometer dari rumah. Di sana terhampar luas. Selain kebun karet, ada juga kandang unggas, yakni ayam kampung, bebek, dan itik japun.
Di bagian lain ada kebun pepaya, pisang, kelapa, ubi kayu, dsb. Dari hasil dunia perkebunan itulah Dugal bisa meraup untung jutaan rupiah. Rata-rata orang lain yang mengelola, yakni warga setempat yang jadi kepercayaannya sebagai penyadap karet dan penjaga kebun.
Mereka dapat hasil dari bagi hasil menyadap karet, dan lain-lain yang dijual orang. Tak mengira, Dugal yang penampilan sederhana kurang meyakinkan sebagai orang berduit, ternyata hasil kebun dengan luasan cukup besar. Malah Labung Anak dikuasainya.
Bila pulang ke Angkinang Selatan, duit untuk kebutuhan sehari-hari keluarga. Ditabung ke bank. Suasana sunyi dan tenang jadi pilihan Dugal kenapa Labung Anak dijadikan kampung keduanya, setelah Angkinang Selatan. Ia bisa hadirkan banyak tulisan bagus saat berada di sana.
Dugal terus pergi dari rumah. Bawa tas berisi pakaian seadanya. Rangkaian ziarah panjang, tengah ia jalani. Kali ini ke Makam Datu Suban di Tapin. Saat tiba setelah Ashar. Ia berencana bermalam di sana. Bagaimanapun nanti tanggapan warga di sana. Apakah diterima atau tidak.
Ternyata warga sekitar makam cukup hormat kepada Dugal. Menerima Dugal bermalam. Ia disediakan rumah. Dengan minta izin terlebih dahulu.Â
Dugal akan lebih leluasa dalam bergerak. Bisa shalat di Langgar tak jauh dari makam. Selain makam Datu Suban di sana juga ada makam Datu Karipis, serta makam warga lainnya.
Foto-foto area makam, lalu Dugal posting ke blog pribadi. Puas, senang, dan bahagia. Untuk beli makanan mudah saja. Karena ada uang, cukup pesan apa saja yang mau. Bisa dimakan di warung atau  dibawa ke rumah tempat menginap. Baca amalan. Lalu menulis catatan perjalanan, diary, puisi, dsb.
Setelah bermalam di sana, hari berikutnya Dugal menuju arah ke Banjarmasin. Tujuannya ke makam Guru Zuhdi. Ia bermalam di teras sebuah masjid di kota Banjarmasin. Setelah ziarah ke makam Guru Zuhdi, Dugal balik ke Marabahan. Hal yang sama ia lakukan, ziarah ke makam ulama setempat. Untuk menginap kembali teras masjid jadi pilihan.
Setelah dari Marabahan pulang ke Kandangan. Sempat mampir di makam Datu Qabul di Margasari, Datu Balimau, dan Datu Taniran. Dugal pulang ke rumahnya di Angkinang, untuk istirahat melepas lelah setelah melakukan perjalanan panjang ke beberapa daerah.***
Angkinang Selatan, Akhir September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H