Mohon tunggu...
Jurnalis Cendekia
Jurnalis Cendekia Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis-Ekonom-Penulis

Cogito Ergo Sum ; Aku berpikir maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tantangan Gig Economy di Indonesia

27 Januari 2025   04:31 Diperbarui: 27 Januari 2025   04:31 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gig Economy (Ilustrasi) Sumber: contenttimesjobs.com

Oleh:  Ahmad Syaifullah

Gig economy, yang merujuk pada hubungan kerja kontraktual antara pekerja dan perusahaan, serta meningkatnya jumlah pekerja lepas, telah memicu banyak perbincangan akademis. Istilah "gig" awalnya digunakan dalam dunia musik untuk menggambarkan pertunjukan singkat, namun kini merujuk pada berbagai jenis pekerjaan lainnya. Pekerja gig kini tersebar di berbagai sektor, seperti kedai kopi, ruang kuliah, peternakan, pabrik, dan pekerjaan kebersihan. Mereka bekerja dengan kontrak jangka pendek sebagai "kontraktor independen" atau "konsultan" dengan waktu dan tugas yang terbatas, tanpa hubungan jangka panjang dengan pemberi kerja (Graham et al., 2017).Konsep gig economy berakar dalam sejarah internet dan bisnis internasional. Konsep offshore outsourcing, yang muncul pada tahun 1980-an, menjadikan pekerja untuk berpartisipasi dalam ekonomi global lewat internet dan alih daya. Praktik ini pertama kali berkembang di India, dengan faktor-faktor seperti sejarah kolonial, kebijakan pemerintah, tenaga kerja terampil, dan inovasi perusahaan. Platform-platform gig yang berbasis online memungkinkan usaha kecil hingga menengah memanfaatkan tenaga kerja dari lokasi-lokasi baru dan sebelumnya kurang dimanfaatkan, memberikan cara baru dalam menyelaraskan kontraktor dengan klien (Graham et al., 2017: 3-4). Seorang pekerja gig di Indonesia misalnya yang bekerja sebagai pengemudi ojek online merasakan dinamika kehidupan yang penuh ketidakpastian. Setiap hari, ia mengandalkan aplikasi untuk mencari penumpang dan memperoleh penghasilan yang bervariasi tergantung pada jumlah permintaan layanan dan kondisi cuaca. Meskipun fleksibilitas waktu menjadi salah satu keuntungan, ia sering kali merasa cemas karena pendapatannya tidak tetap. Tanpa jaminan kesehatan atau tunjangan lainnya, pekerja gig ini harus mengatur pengeluaran dan menanggung biaya perawatan kesehatan secara mandiri. Sebagai pekerja gig, ia juga terikat dengan aturan yang ditetapkan oleh platform aplikasi, yang terkadang mengubah kebijakan tanpa pemberitahuan, semakin menambah rasa ketidakpastian dalam pekerjaannya. Meskipun demikian, ia tetap melanjutkan pekerjaan ini karena kurangnya pilihan pekerjaan tetap yang dapat memberikan kestabilan finansial. 

Para pendukung gig economy berargumen bahwa model ini memberikan pekerja kebebasan untuk memilih waktu dan tempat kerja, serta memberi kesempatan untuk meningkatkan keterampilan atau mengeksplorasi minat mereka (Greenwald, 2012; Greenwald & Katz, 2012). Pekerja juga dapat menjalankan berbagai pekerjaan sekaligus, seperti menjadi pengacara paruh waktu dan fotografer amatir (Horowitz, 2011). Pekerja gig sering kali digambarkan bukan berdasarkan jenis pekerjaan atau keterampilan yang dimiliki, tetapi berdasarkan hubungan sosial atau bentuk kontrak yang ada. Dalam pekerjaan jangka panjang, posisi dan penghasilan pekerja bergantung pada masa kerja mereka. Sementara itu, pekerjaan gig tidak mempertimbangkan akumulasi masa kerja sebelumnya, dan pekerja dipekerjakan tanpa adanya janji mengenai promosi atau manfaat pensiun. Hal ini memberi fleksibilitas bagi perusahaan dalam menyesuaikan pekerjaan dan upah sesuai dengan kebutuhan ekonomi (Friedman, 2014). Akibatnya, upah pekerja gig bisa sangat bervariasi, dari yang rendah untuk pekerjaan seperti tukang ojek online hingga yang tinggi untuk pekerjaan profesional seperti pengacara atau konsultan.

Namun, keuntungan ini datang dengan konsekuensi yang sering kali memberatkan pekerja. Graham et al. (2017) menunjukkan bahwa pekerja gig menghadapi tantangan seperti kelebihan pasokan tenaga kerja, ketidakamanan pekerjaan, diskriminasi, serta isolasi sosial. Mereka juga rentan terhadap masalah terkait tanggung jawab pemberi kerja, kebijakan perpajakan, dan masalah yang berkaitan dengan perantara.

Gig economy berfungsi sebagai bagian dari pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel, di mana hubungan antara pemodal dan pekerja ditentukan oleh dinamika pasar. Dalam pasar ini, pekerja bebas dipandang sebagai respons terhadap fluktuasi upah, dan perusahaan dapat menyesuaikan pekerjaan dengan kondisi pasar yang berubah (Tjandraningsih & Nugroho, 2009). Fleksibilitas ini memungkinkan penyesuaian dengan kondisi ekonomi yang terus berubah.

Meskipun teknologi digital memfasilitasi perkembangan gig economy, ini bukanlah fenomena yang sepenuhnya baru. Dalam banyak industri, pekerjaan berbasis permintaan dan kontrak lepas sudah lama ada sebagai strategi yang memungkinkan pemberi kerja membayar hanya untuk pekerjaan yang dibutuhkan (Grantham, 2002). Sementara itu, pekerja lepas, musiman, dan kontrak sudah ada sejak kapitalisme muncul dan berkembang (Deakin, 2000; Wood, 2002). Gig economy menggunakan struktur kontraktor untuk efisiensi dan alasan hukum, memungkinkan perusahaan menghindari kewajiban seperti pembayaran tunjangan dan risiko fluktuasi permintaan (Stanford, 2017).

Kehadiran surplus tenaga kerja, yakni jumlah pekerja yang berlebihan dalam pasar, adalah salah satu faktor utama yang mendorong gig economy (Neilson & Stubbs, 2011). Surplus ini muncul sebagai akibat dari perkembangan kapitalisme yang memerlukan cadangan pekerja yang dapat dipanggil sesuai kebutuhan. Surplus tenaga kerja ini juga mencerminkan ketegangan dalam penentuan upah, yang dipengaruhi oleh lembaga pengatur seperti hukum upah minimum dan serikat pekerja (Dore, 2003; Campbell & Price, 2016).

Sementara itu, kemunculan platform digital mencerminkan strategi organisasi kerja yang lebih besar, di mana teknologi hanya memfasilitasi penerapan kontrol terhadap pekerja. Teknologi memungkinkan pemberi kerja untuk memaksimalkan produktivitas pekerja sambil mengurangi biaya dan risiko mereka (Burawoy, 1979; Stanford, 2017).

Tantangan gig economy di Indonesia mencakup beberapa aspek yang perlu diperhatikan baik oleh pemerintah, perusahaan, maupun pekerja. Beberapa tantangan utama gig economy di Indonesia antara lain:

1. Ketidakpastian Perlindungan Hukum dan Sosial 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun