Penulis: Fatkhul Manan
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi
Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta
Pemilu sebagai institusi demokrasi idealnya mencerminkan transparansi dan keadilan dalam memilih pemimpin. Namun, realitas politik kerap kali mempertanyakan kepercayaan publik terhadap proses tersebut, terutama ketika indikasi kecurangan pemilu mencuat. Dalam konteks Indonesia, Pemilu 2024 menjadi contoh yang memperlihatkan kompleksitas masalah ini. Dengan pendekatan kritis Albert Wellmer, kita dapat mengeksplorasi bagaimana fenomena kecurangan pemilu memengaruhi diskursus publik dan legitimasi demokrasi.
Krisis Kepercayaan terhadap Demokrasi
Kecurangan pemilu bukanlah isu baru dalam demokrasi modern. Dalam Pemilu 2024, Indonesia menghadapi berbagai laporan pelanggaran yang merusak kepercayaan publik. Dugaan manipulasi data pemilih, politik uang, dan netralitas aparatur negara menjadi perhatian utama. Sebagai contoh, praktik politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara kerap dilaporkan selama masa kampanye dan masa tenang (Kompas, 2024; ICW, 2024). Kondisi ini menciptakan paradoks dalam demokrasi, di mana idealisme transparansi dan keterbukaan berlawanan dengan kenyataan yang koruptif. Albrecht Wellmer, seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt, menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang bebas dari distorsi untuk menjaga legitimasi demokrasi. Dalam hal ini, kecurangan pemilu bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menghambat diskursus publik yang sehat. Publik kehilangan ruang untuk mendiskusikan pilihan politik mereka secara rasional ketika informasi didistorsi melalui praktik kecurangan (Wellmer, 1991).
Manifestasi Kecurangan Pemilu
Dalam Pemilu 2024, berbagai temuan menunjukkan bahwa kecurangan terjadi di setiap tahap, mulai dari penunjukan pejabat daerah hingga kampanye. Misalnya, netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi masalah utama, dengan laporan bahwa sejumlah ASN secara terang-terangan mendukung kandidat tertentu. Video viral anggota Satpol PP yang mendukung salah satu pasangan calon dalam Pilkada 2024 menjadi salah satu contoh nyata yang memancing kritik publik (Kompas, 2024; ICW, 2024). Selain itu, koalisi masyarakat sipil menemukan 53 dugaan kecurangan di 10 provinsi yang mencakup manipulasi hasil suara, penyalahgunaan media sosial resmi pemerintah untuk kampanye, dan pelanggaran prosedur penghitungan suara. Praktik-praktik ini mempertegas keberadaan "politics of deception" yang melemahkan integritas demokrasi (ICW, 2024).
Perspektif Kritis Albrecht Wellmer: Demokrasi dan Diskursus Publik
Dalam kerangka pemikiran Albrecht Wellmer, kecurangan pemilu merusak kepercayaan publik melalui "distorsi komunikasi." Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi publik yang didasarkan pada informasi yang valid dan rasional. Ketika informasi dipalsukan atau manipulasi dilakukan, ruang diskursus publik berubah menjadi arena konflik kepentingan yang tidak adil. Wellmer menegaskan bahwa dalam demokrasi, komunikasi publik harus membangun konsensus melalui rasionalitas, bukan intimidasi atau manipulasi (Wellmer, 1991). Fenomena kecurangan pemilu juga menunjukkan kegagalan institusi negara dalam menjaga independensi dan transparansi. Ketika penyelenggara pemilu, seperti Bawaslu atau KPU, dianggap tidak efektif dalam menangani aduan kecurangan, maka legitimasi institusi demokrasi secara keseluruhan dipertanyakan. Hal ini menciptakan "krisis kepercayaan," yang menurut Wellmer dapat merusak hubungan antara negara dan warga negara.
Implikasi pada Diskursus Publik
Diskursus publik dalam konteks Pemilu 2024 menunjukkan dinamika yang unik. Meskipun kecurangan mengurangi kepercayaan terhadap demokrasi, masyarakat tetap memanfaatkan platform digital untuk mengkritisi penyimpangan. Media sosial menjadi ruang alternatif bagi publik untuk mengawasi dan melaporkan dugaan pelanggaran, seperti yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemantau Pemilihan Umum (ICW, 2024). Namun, kenyataannya ruang diskursus digital juga rentan terhadap manipulasi yang saling berlawanan. Hoaks dan disinformasi yang menyebar melalui media sosial dapat memengaruhi opini publik dan memperburuk polarisasi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa platform digital digunakan secara bertanggung jawab untuk mendukung diskursus yang sehat dan transparan.
Reformasi untuk Demokrasi yang Lebih Inklusif
Menyikapi tantangan ini, reformasi institusional diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Albrecht Wellmer mengusulkan pentingnya "praktik komunikatif yang reflektif" untuk memperbaiki demokrasi. Dalam konteks pemilu, ini berarti memperkuat mekanisme pengawasan independen, meningkatkan transparansi dalam proses pemilu, dan memastikan akuntabilitas bagi pelaku kecurangan. Selain itu, pendidikan politik harus ditingkatkan untuk membangun kesadaran publik terhadap pentingnya integritas demokrasi. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi lebih kritis dan aktif dalam menjaga proses demokrasi dari penyimpangan. Fenomena kecurangan pemilu menunjukkan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia. Dalam perspektif Albrecht Wellmer, krisis kepercayaan dan distorsi diskursus publik menjadi ancaman serius yang harus diatasi melalui reformasi struktural dan pendidikan politik. Dengan memulihkan ruang diskursus yang sehat, demokrasi dapat kembali menjadi alat yang efektif untuk mencapai keadilan sosial dan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H