Implikasi pada Diskursus Publik
Diskursus publik dalam konteks Pemilu 2024 menunjukkan dinamika yang unik. Meskipun kecurangan mengurangi kepercayaan terhadap demokrasi, masyarakat tetap memanfaatkan platform digital untuk mengkritisi penyimpangan. Media sosial menjadi ruang alternatif bagi publik untuk mengawasi dan melaporkan dugaan pelanggaran, seperti yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemantau Pemilihan Umum (ICW, 2024). Namun, kenyataannya ruang diskursus digital juga rentan terhadap manipulasi yang saling berlawanan. Hoaks dan disinformasi yang menyebar melalui media sosial dapat memengaruhi opini publik dan memperburuk polarisasi. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa platform digital digunakan secara bertanggung jawab untuk mendukung diskursus yang sehat dan transparan.
Reformasi untuk Demokrasi yang Lebih Inklusif
Menyikapi tantangan ini, reformasi institusional diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Albrecht Wellmer mengusulkan pentingnya "praktik komunikatif yang reflektif" untuk memperbaiki demokrasi. Dalam konteks pemilu, ini berarti memperkuat mekanisme pengawasan independen, meningkatkan transparansi dalam proses pemilu, dan memastikan akuntabilitas bagi pelaku kecurangan. Selain itu, pendidikan politik harus ditingkatkan untuk membangun kesadaran publik terhadap pentingnya integritas demokrasi. Dengan demikian, masyarakat dapat menjadi lebih kritis dan aktif dalam menjaga proses demokrasi dari penyimpangan. Fenomena kecurangan pemilu menunjukkan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia. Dalam perspektif Albrecht Wellmer, krisis kepercayaan dan distorsi diskursus publik menjadi ancaman serius yang harus diatasi melalui reformasi struktural dan pendidikan politik. Dengan memulihkan ruang diskursus yang sehat, demokrasi dapat kembali menjadi alat yang efektif untuk mencapai keadilan sosial dan politik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H