Mohon tunggu...
M Aan Mansyur
M Aan Mansyur Mohon Tunggu... -

Penyuka tomat. Sehari-hari bekerja sebagai relawan di Komunitas Ininnawa, di Makassar. Tulisan-tulisannya yang lain bisa dibaca di blog pribadinya: www.hurufkecil.net

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bertualang Menggunakan Sepatu Orwell

24 Januari 2014   12:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:31 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KITA belum beranjak dari abad introspeksi, masa ketika egoisme merupakan rute favorit menuju hidup bahagia. Kita menghabiskan banyak waktu demi memuaskan keinginan batin, harapan, dan mengejar status-status pribadi.

Dengan mudah, saat ini, kita bisa bertemu cara cepat menjadi kaya raya di rak-rak buku terbaru dan terlaris di toko buku. Cara mudah mewujudkan mimpi semacam itu bahkan menyamar sebagai karya fiksi yang dicetak berulang-ulang dalam tempo singkat dan melahirkan banyak penulis kaya dan angkuh. Buku-buku semacam itu sering kali menjebak kita dalam pusaran hidup mementingkan diri sendiri.

Era introspeksi adalah kesalahan, kata seorang pemikir bernama Roman Krznaric. Abad ke-21 mestinya sudah berubah menjadi era outrospeksi. Tampaknya, kata “outrospeksi” belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru. Introspeksi sering digambarkan sebagai tindakan bercermin, melihat ke dalam diri sendiri. Sementara itu, outrospeksi adalah tindakan keluar dari diri sendiri dan belajar dari kehidupan orang lain. “Empati adalah seni hidup yang menjadi ciri utama abad outrospeksi,” kata Krznaric dalam bukunya The Wonderbox: Curious Histories of How to Live.

Mestinya outrospeksi bukan hal yang asing bagi masyarakat Bugis dan Makassar di mana saya lahir dan tumbuh besar, masyarakat pemeluk budaya Siri’ na paccé/pessé. Paccé (Makassar) atau pessé (Bugis) berarti merasakan luka-derita orang lain, berempati. Saya kira, filosofi hidup semacam itu, meskipun dengan penyebutan berbeda, sudah hidup lama di negeri ini. Tapi, ajaran-ajaran hidup itu barangkali juga sudah hilang ditelan masa introspeksi.



LIBURAN adalah fenomena menarik untuk melihat dan menjelaskan kegagalan abad instrospeksi. Kita melakukan perjalanan wisata untuk bersenang-senang dan melarikan diri dari himpitan rutinitas, juga kejamnya hidup yang dipenuhi para pengejar mimpi. Kita rela bekerja dan tenggelam dalam kepadatan dan kesibukan Senin hingga Jumat semata untuk menunggu waktu rehat dan menghabiskan uang pada akhir pekan yang selalu terasa singkat.

Ketiklah kata ‘wisata’ di mesin pencari Google dan temukanlah tempat-tempat indah, berbagai paket liburan, juga agen-agen perjalanan yang siap mengaman-nyamankan suasana hati Anda. Para penggemar kesenangan bertualang dengan riang juga telah memajang kisah-kisah liburan di blog-blog mereka lengkap dengan foto-foto indah jepretan mereka. Bagi yang tak memiliki jaringan Internet, ada banyak pilihan majalah wisata yang bisa dibeli. Atau, cukup duduklah di depan televisi.

Jauh sebelum hari ini, Thomas Cook, pendiri agen wisata yang tersohor sejak abad ke-19 memiliki ide ganjil ihwal perjalanan wisata. Pada 1841, dia mengajak 500 orang mengikuti perjalanan kereta api sejauh 22 mil dari Leicester ke Loughborough. Tujuan perjalanan itu adalah bertemu orang-orang saleh yang akan menceramahi para peserta tur agar bisa terlepas dari pengaruh buruk minuman keras. Ide Cook itu tampaknya merupakan lelucon bagi para pencari kenyamanan wisata saat ini.

Pelajaran dari Cook adalah bahwa liburan bukan ruang untuk bersenang-senang, melainkan kesempatan untuk mempertanyakan nilai-nilai dan seni kehidupan. To travel is to dispel the mists of fable and clear the mind of prejudice taught from babyhood, and facilitate perfectness of seeing eye to eye,” kata Cook.

Terinspirasi dari visi Cook, Krznaric mengusulkan liburan yang revolusioner. Dia menyebutnya wisata empati. Petualangan menggunakan sepatu orang lain dan belajar melihat dunia dari perspektif mereka.

GEORGE ORWELL sering kali diingat karena dua novelnya yang terkenal, Animal Farm dan 1984. Tidak banyak orang yang tahu, kira-kira 100 tahun setelah Cook memperkenalkan tur anehnya, Orwell melakukan wisata empatinya sendiri.

Sepulang bertugas di Burma sebagai polisi kolonial Inggris, Orwell bertekad mencari arti kehidupan bagi mereka yang tertindas di tepi-tepi pergaulan sosial.

“I wanted to submerge myself, to get right down among the oppressed,” kata Orwell.

Orwell mengenakan mantel dan sepatu lusuh seperti gelandangan dan hidup di jalan-jalan sebagai tuna wisma. Kadang dia mengenakan samarannya selama berhari-hari. Pada saat lain, dia menghilang selama berminggu-minggu. Dia sering tidur beralaskan kardus dan membiarkan dirinya tertangkap polisi sehingga bisa merasakan hidup di penjara.

Dua belas tahun sebelum Animal Farm terbit, Orwell menuliskan pengalaman yang dia sebut sebagai perjalanan terbesar dalam hidupnya itu dalam sebuah buku yang ditolak beberapa penerbit sebelum akhirnya terbit dengan judul Down and Out in Paris and London pada 1933.

Jangan membayangkan buku Orwell ini berisi kisah-kisah perjalanan yang lebay sebagaimana yang mungkin Anda sering baca di blog teman Anda. Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Melarat. Saya kira, tidak banyak penulis catatan perjalanan di Indonesia yang pernah membaca buku ini.

Wisata empati tersebut membuat Orwell sadar bahwa para gelandangan bukan pemabuk atau bajingan yang meresahkan. Dia menjalin persahabatan dengan mereka dan mengubah pandangannya perihal ketidakadilan. Keluar dari kehidupan normal mengembangkan pikirannya. Selain itu, dia memiliki banyak bahan dan energi untuk menulis karya sastra.

KITA, sebagaimana Orwell, juga bisa melakukan wisata empati dan memulainya hari ini. Untuk sementara, lupakanlah tempat-tempat indah di brosur dan majalah wisata, juga foto-foto liburan yang disebarkan oleh orang-orang berduit banyak sebagai hiburan melalui Facebook dan Twitter. Singkirkanlah kerisauan Anda akibat mahalnya harga tiket pesawat dan kamar hotel.

Dalam bentuknya yang paling sederhana, kita bisa menciptakan percakapan, bukan sekadar basa-basi soal nama dan pekerjaan, dengan orang yang duduk di dekat kita di angkutan umum. Kita bisa menyisihkan beberapa menit waktu untuk berbincang mengenai kehidupan keluarga, politik, dan seni dengan tukang becak langganan kita. Jika merasa sebagai mahluk religius, tidak salah bagi kita untuk hadir di layanan agama yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda.

Penting untuk diingat bahwa kita harus bersiap membagi pikiran demi terciptanya pertukaran empati—dan tak meremehkan pengetahuan orang lain mengenai sesuatu hanya karena kita punya gelar akademik dan karir yang lebih baik. Bukankah kita sering melakukannya?

Setelah itu, mungkin kita akan pulang bukan membawa foto-foto indah dan gantungan kunci, tapi hal yang lebih berharga. Sensasi memotret punggung gadis-gadis berbikini atau merasakan suasana di kafe tertentu sekadar hal kecil untuk memuaskan remaja tanggung dalam diri kita. Melalui wisata empati, kita mungkin akan merasakan pengalaman yang lebih hebat dibanding menaklukkan puncak gunung bersalju.

Akhirnya, pertanyaan kita bukan lagi “Ke negara atau ke pantai mana saya akan pergi selanjutnya?” namun “Sepatu siapa yang akan saya kenakan selanjutnya?”

*

Catatan: Tulisan di atas pernah dimuat di rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun