Kolak Pisang Dafi
"Mak, aku udah gak tahan banget ne!" rengek adikku pada Mamak.
"Sabar. Tidur aja dulu, nanti bangun, udah bisa buka puasa," balas Mamak menenangkan Dafi, yang baru pertama kali belajar puasa penuh itu.
"Tapi aku lapar, Mak. Aku gak bisa tidur kalau lapar!" Rajuk Dafi lagi.
Mamak kemudian merangkul Dafi, membawanya ke tempat tidur, dan mengajaknya tidur siang, agar tidak terlalu rewel menunggu waktu berbuka.
.
.
.
Jam menunjukkan pukul enam sore. Mamak sejak tadi telah sibuk di dapur.
"Mak, masih lama?" Terdengar suara Dafi, yang sedang bermain air di kolam renang balon, tak jauh dari dapur.
"Iya, sebentar lagi," jawab Mamak sambil mengaduk-aduk kolak pisang.
Dafi pun kembali melanjutkan mandinya.
"Mak, Dafi enak aja mandinya lama banget. Pura-pura mandi, padahal sekalian minum air dia, tu!" protesku pada Mamak, melihat Dafi tak kunjung selesai mandinya.
"Ayo, Dafi. Bentar lagi sudah tiba waktunya berbuka. Nayla, tolong ambilkan handuk dan baju Dafi di kamar, ya," perintah Mamak lembut kepadaku.
Aku mencebik. Tetapi tentu saja Mamak tidak melihatnya, kalau Mamak melihatnya, habislah aku kena marah.
Selesai berpakaian, Dafi sudah duduk manis di meja makan. Lima menit lagi waktu berbuka tiba, di depannya telah tersaji kolak pisang dalam mangkuk berwarna putih, di sampingnya ada piring kecil berisi mie caluek, tak ketinggalan donat paha ayam ukuran jumbo, bersalut ceres coklat. Segelas es campur dan teh manis, juga semakin membuat Dafi tidak sabar ingin menyantapnya.
"Hmm ... maknyus," celetuk adikku.
"Dafi, kenapa semua makanan di depanmu?" Sungutku pada Rafi. Ia cuek saja.
"Mak, aku juga mau donat paha ayamnya," pintaku pada Mamak, yang membuat Dafi cemberut karena donatnya hanya tersisa satu.
"Kue lain aja buat kakak. Aku gak cukup donatnya cuma satu, Mak!" Seru Dafi.
"Dafi... kamu gak akan habis makan sendirian sebanyak itu, bagi sama kakak," ujar Mamak.
"Habis, Mak. Pokoknya aku mau habisin semua!" ucap Dafi yakin.
Seketika terdengar suara sirine. Tanda waktu berbuka telah tiba. Kulihat Rafi makan dengan lahap, pertama dia mencomot kolak pisang, belum habis kolak pisang dia sudah mencicipi mie caluek, selanjutnya dia juga menyantap donat paha ayam.
"Kenyang, Mak."
"Ya udah, shalat dulu, abis tu nanti lanjut  makan."
"Tapi, Mak, Aku mau habisin semuanya dulu, abis tu baru shalat,"
"Dih, rakus!" Bentakku yang segera meninggalkannya. Dafi tidak peduli dan melanjutkan makan.
Selesai shalat, aku dan Mamak kembali ke meja makan. Kulihat Dafi tidak lagi duduk di kursi tadi. Rupanya, dia sudah rebahan di atas karpet dekat meja makan.
"Dafiii! Shalat magrib dulu, jangan tiduran sehabis makan!" teriakku di dekatnya.
"Kak, aku gak sanggup bangun. Aku kenyang banget." Jawabnya memelas.
"Kamu tetap harus shalat, Dafi. Kalau gak, puasamu gak sah, gak diterima sama Allah!" Bujukku lagi.
"Tapi perutku sakit, Kak. Aku gak sanggup bangun," Rafi meringis sambil mengelus perutnya.
"Tuh kan! Makanya, makan lagi yang banyak!"
"Rasain! Kapok!" ucapku bertubi-tubi pada adikku yang berusia tujuh tahun itu.
Dafi cemberut, wajahnya memelas, ia menunjukkan penyesalannya.
*mie caluek: mie kuning khas Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H