Terobosan bidang pendidikan merupakan keniscayaan ditengah gempuran kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi. Hal tersebut merupakan sebuah konsekuensi logis, dimana untuk dapat beradaptasi dengan kemajuan tersebut maka pendidikan harus mampu tampil cakap mengakomodasi perubahan-perubahan yang ada.Â
Maka, terobosan dunia pendidikan kian terbarukan mulai dari kurikulum hingga sampai pada perangkat pembelajaran serta pendekatan-pendekatan untuk pengajaran.Â
Platform Merdeka Mengajar (PMM) merupakan salah satu bentuk terobosan dunia pendidikan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dan informasi.Â
Platform ini merupakan besutan Kemendikbudristek, dimana para guru dapat mengikuti pelatihan mandiri dengan melihat dan menyimak video serta mengerjakan aksi nyata.Â
Harapan besar dengan rutin mengikuti pelatihan di PMM, kompetensi guru akan meningkat dan peserta didik akan mendapatkan manfaat serta baik kualitasnya.Â
Faktanya, aksi nyata bukanlah murni kenyataan. Jujur saja disana hampir tidak ada aksi yang benar-benar natural, semua telah melalui pengkondisian dan pengarahan sudut pandang kamera. Lagi pula, PMM tidak terdapat kurasi yang ketat terhadap aksi nyata para guru yang sebetulnya marak sekali copy paste.
Dalam PMM juga terdapat fitur kelompok belajar di satuan pendidikan masing-masing. Webinar dengan bermacam tema diselenggarakan untuk mendapatkan e-sertifikat.Â
Hal ini penting bagi guru-guru ASN untuk meningkatkan angka kreditnya dan menambah poin kenaikan pangkat. Sehingga, jangan heran jika hari ini bagitu banyak yang telah menjelma dari seorang pendidik menjadi pemburu sertifikat.Â
Guru terkadang harus "nyambi" mengikuti webinar dan mengajar. Maka, sudah bisa dipastikan konsentrasi guru terpecah dan pelayanan pada peserta didik tidak maksimal, lalu apa dampak PMM bagi anak?
Terbaru, Kemendikbudristek juga melakukan terobosan baru pada aplikasi PMM yakni integrasi e-Kinerja. Sebelumnya, pengelolaan kinerja Guru dan Kepala Sekolah dilakukan melalui e-Kin dan sistem-sistem lain dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) atau Badan Kepegawaian Negara (BKN), dengan format yang bervariasi antar dinas. Saat ini, Kementerian telah memperkenalkan Platform Merdeka Mengajar sebagai wadah terintegrasi untuk pengelolaan kinerja.Â
Dengan langkah ini, diharapkan kemudahan, efisiensi, dan aksesibilitas yang lebih baik dapat dinikmati oleh Guru dan Kepala Sekolah. Memang begitu indah sebua angan ideal, fakta di lapangan akan jauh lebih mengusik batin. Lihat saja, semenjak e-Kinerja terintegrasi PMM para guru sibuk menyusun RHK begitupun kepala sekolah.Â
Nantinya, selain harus mengajar para guru harus senantiasa aktif di PMM agar menadapatkan penilaian kinerja yang baik. Sehingga, sudah dipastikan guru akan mengalami "kemumetan" luar biasa, pagi-sore ia harus mengajar dan malamnya  harus aktif di platform PMM dengan ikut serta webinar atau meramaikan kelompok belajar, yang ujung-ujungnya untuk sertifikat. Lalu, apakah semua itu berdampak untuk pesertadidik?
Bikin Mumet
Kemendikbudristek menjalankan PMM tentu dengan anggaran yang tidak sedikit, PMM menjadi kebijakan inovatif dalam pengembangan profesi guru. Aplikasi ini diintegrasikan dengan hasi Assesmenn Nasional Berbasis Komputer (ANBK) yang kemudian menjadi acuan bagi penilaian rapor pendidikan.Â
Kemudian, rapor pendidikan menjadi profil kinerja sekolah dan pemerintah setempat. Rapor pendidikan digagas sebagai mekanisme evaluasi sistem pendidikan secara berkesinambungan melalui pengambilan keputusan berbasis data, atau dikenal dengan Pendidikan Berbasis Data (PBD). Berdasarkan data yang terkumpul di dalam rapor pendidikan inilah, satuan pendidikan dan pemerintah daerah melakukan perbaikan terus-menerus.
Pendidikan berbasis teknologi di atas secara kasat mata memang tampak indah dan masuk akal, sehingga banyak pemangku kebijakan pada level di bawahnya meyakini bahwa pengembangan guru, evaluasai kualitas satuan pendidikan dapat mengacu pada penilaian dalam rapor pendidikan dan pelatihan di PMM.Â
Lalu, apakah hal tersebut dapat diterima dalam koridor falsafah pendidikan ? Apakah dapat dipertanggungjawabkan secara profesional relevan dan efektif bagi pengembangan guru? Dan peserta didik apakah mendapatkan dampak yang signifikan?
Pada akhirnya cuma membikin "MUMET", kerena pendidikan berbasis data patut dipertanyakan, kualitas keputusan didasarkan pada kualitas informasi yang mencerminkan realitas sesungguhnya. Penilaian pendidikan yang hanya mendasarkan pada ANBK adalah cacat validitas dan kredibilitas. Â
ANBK dipersepsikan sebagai pengganti ujian nasional, tidak high testing, cukup persiapan seadanya lalu pesertanya dipilih secara acak oleh Kemendikbud entah dengan dasar apa.Â
Lalu, fakta yang terjadi ANBK tetap high stake testing karena dianggap sebagai penentu kualitas guru, kepala sekolah, sekolah, dan pemerintah daerah. Ditambah janji manis akan dinaikkan BOS Kinerja bagi satuan pendidikan yang skornya mengalami kenaikan. Sehingga, kepersertaan ANBK tetap akan dipersiapkan jauh hari sebelumnya, dilatih.Â
Bahkan sampai hari ini begitu laris manis percetakan yang menerbitkan buku-buku bermuatan AKM (Assesment Kompetensi Minimum) untuk persiapan ANBK. Setelah satu tahun, satuan pendidikan kian paham cara-cara mengakali hasil ANBK. Skor ANBK akhirnya banyak distorsi.
Tak Sebagus Realita
Contoh hasil ANBK yang tidak sejalan dengan realitas adalah tentang literasi membaca dan numerasi. Dimana melalui Kemendikbudristek , pemerintah menjalankan narasi seolah skor PISA 2022 naik signifikan, padahal realitanya mengalami penurunan skor.
 Kemudian laporan Kemendikbudristek tentang iklim belajar.  Dalam Rapor Pendidikan, iklim belajar sekolah secara umum dinyatakan baik. Salah satu indikator iklim belajar baik adalah bebas perundungan/bullying.Â
Namun sepanjang tahun 2023 kekerasan dalam dunia pendidikan Indonesia begitu masif terjadi. Namun, Rapor Pendidikan menunjukkan data bahwa iklim belajar kita baik-baik saja.Â
Apa kredibel rapor seperti ini? Kritik mendasar pengambil kebijakan adalah pendidikan Indonesia tidak bisa hanya dipotret melalui ANBK karena dinamika pendidikan Indonesia itu begitu kompleks, dan multifaktor.Â
Objektifikasi pendidikan hanya pada ANBK menjadi tanda bahwa pemangku kebijakan tidak memahami  hal-hal fundamental dan substansi dalam dunia pendidikan.Â
Mereka lebih konsen memprioritaskan  hal-hal superfisial, teknis, kasatmata, bisa diukur, dan mudah diglorifikasi seperti banyaknya pengunduh dan pengguna aplikasi!Â
Kemudian, menggunakan rapor pendidikan sebagai acuan pengembangan guru, sebenarnya juga tidak valid dan tidak kredibel. Sekarang guru akan dipaksa lagi berlatih, kejar tayang webinar di PMM.Â
Lantas apakah kualitas guru benar-benar meningkat? Apakah PMM selama ini benar-benar memberikan dampak juga pada peserta didik? Memang dalam platform PMM itu beragam testimoni dari guru yang telah berkecimpung lama dalam pemanfaatan PMM dengan berbagi praktik baik dalam bentuk aksi nyata.Â
Namun, juga menjadi pertanyaan apakah itu memang benar-benar berkat PMM ataukah ada aktris yang dibayar untuk mempersepsikan bahwa PMM adalah platform mutakhir untuk perbaikan dan kemajuan pendidikan.Â
Sepanjang pembacaan penulis, belum ada riset dan penelitian yang valid yang membuktikan bahwa berlatih melalui PMM meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa.Â
Memaksakan guru untuk aktif di PMM sepanjang waktu sebagai bentuk kinerja membuat guru terbebani. Sehingga makin jelas dan terlihat bahwa pemangku kebijakan "MUMET" dan tidak memahami dengan jelas tentang realitas pengajaran yang dihadapi guru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H