Hingga awal tahun 2024 ini, perguruan Muhammadiyah masih tetap eksis dengan nama besarnya dan torehan prestasinya. Jumlah lembaga pendidikan Muhammadiyah yang fantastis hingga detik ini, mencerminkan bahwa prinsip-prinsip Islam berkemajuan dan menggembirakan telah menuai hasilnya. Namun demikian, sebagai bentuk mawas diri dan rasa syukur maka patutlah untuk berefleksi dan evaluasi. Â Pada tulisan kali ini, saya akan mencoba merefleksikan sedikit banyak tentang perguruan Muhammadiyah, yaitu lembaga pendidikan Muhammadiyah. Adapun hal-hal akan saya tuliskan merupakan hasil observasi dan pengalaman saya berkecimpung dalam amal usaha muhammadiyah (AUM) bidang pendidikan . Tentu saja sifatnya subjektif dan barang tentu tidak ada kajian ilmiahnya. Maka, pembaca boleh saja menyanggah, mengkritik, dan meluruskan jika terdapat hal-hal yang dirasa kurang tepat. Sekali lagi, ini hanyalah refleksi penulis sebagai kader dan pejuang pendidikan di Muhammadiyah yang melihat benang kusut perguruan Muhammadiyah.
Ketimpangan Kesejahteraan
Sebagai organisasi sosial-kemasyarakatan, memiliki jumlah lembaga pendidikan yang jumlahnya fantastis. Namun, dengan jumlah yang banyak itu, tidak serta-merta menunjukkan kualitas yang sama. Umpamanya sekolah Muhammadiyah A kualitas dan manjemennya akan berbeda dengan sekolah Muhammadiyah B. Hal ini tentunya juga berimbas pada kesejahteraan guru-gurunya. Sekolah Muhammadiyah A dapat memberikan upah diatas standar UMR, lain sisi sekolah Muhammadiyah B hanya mampu memberikan upah kepada guru-gurunya setengah dari UMR atau bahkan malah kurang. Silahkan cek pada sekolah-sekolah Muhammadiyah di daerah/kota masing-masing. Sehingga, rekruitmen  CPNS maupun PPPK banyak juga dijajaki oleh guru-guru dari Muhammadiyah. Kendati, telah ada peraturan bahwa guru Muhammadiyah yang ikut serta dalam CPNS atau PPPK harus mengundurkan diri jika ketahuan mendaftar. Bagi sekolah Muhammadiyah yang sudah besar dan kuat, tentunya tidak akan ada guru yang mendaftar. Berbeda dengan sekolah Muhammadiyah yang pasang surut, tentunya kepala sekolah akan "nego" pada keputusan tersebut.
Guru Muhammadiyah yang saat ini mendaftar CPNS ataupun PPPK bukan sepenuhnya berkhianat pada Muhammadiyah. Hal tersebut terjadi karena keadaan serta desakan kebutuhan ekonomi yang banyak membuat mereka berpaling. Sementara iklim lembaga pendidikan Muhammadiyah belum sepunuhnya mampu menjamin kelangasungan dan kepastian karir guru. Adagium ,"hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah" pada era ini akan sangat sulit sekali  untuk diimplementasikan. Kalimat tersebut sarat makna perjuangan secara total untuk berkhidmat di jalan Allah melalui Muhammadiyah. Sehingga motivasi adalah membesarkan sekolah Muhammadiyah, maka aku akan besar dan selamat penghidupanku. Begitulah sekiranya, supaya kita tetap kuat berjuang pada AUM meskipun keuntungan strategis finansial yang tak menentu. Prof. Haidar Nasir pernah mengatakan," ketika berjuang di Muhammadiyah hanya semata mengejar "kesejahteraan" finansial maka Anda salah alamat.
Namun demikian, adagium yang mulia tersebut kerap dipakai oleh pemangku jabatan di sekolah-sekolah Muhammadiyah untuk memberikan angin surga bagi anak buahnya. Lihat saja mereka yang berstatus PNS dan mengabdi pada lembaga pendidikan Muhammadiyah ada kecenderungan untuk menuntut kinerja ini dan itu denagan dalih demi kemajuan lembaga. Tetapi, ketika giliran dituntut untuk mengupayakan bagaimana cara mensejahterakan guru dan tenaga kependidian, mereka akan berdalih dengan banyak alasan dan problematika bahwa lembaga belum mampu, masih ada yang harus deselesaikan, dan akhirnya akan keluar kata-kata motivasi bahwa di Muhammadiyah harus berkorban, harus ikhlas, dan niatkan ibadah.Â
Manipulasi Itu Seolah Membudaya
Bolehlah kita membanggakan Muhammadiyah yang sudah besar ini , bersamaan dengan amal usahanya yang megah melintasi Nusantara bahkan mancanegara. Realitas akar rumput Muhammadiyah (cabang dan ranting Muhammadiyah) juga perlu dicermati. Perguruan Muhammadiyah hingga hari ini  belum sepenuhnya terbebas dari perilaku manipulatif dari oknum guru maupun karyawannya. Kerap sekali pada sekolah Muhammadiyah terdapat gerakan-gerakan nepotisme. Alih-alih kaderisasi dan prinsip tata kelola lembaga berdasar "kolektif kolegial", banyak sanak/saudara masuk dalam jajaran lembaga tanpa melalui prosedur yang tertuang dalam peraturan kepegawain perguruan Muhammadiyah. Bahkan yang lebih mengerikan, ada tata kelola sekolah-sekolah Muhammadiyah masih begitu banyak yang acak-adut. Prinsip-prinsip pencatatan dan dokumentasi keuangan kerap diabaikan. Sehingga marak lah perilaku koruptif kepala sekolah maupun stakeholder yang lainnya. Pada akhirnya, sedikit banyak praktik-praktik mark-up nota masih banyak. Huh... sungguh mengerikan!! Semoga tidak ada pada lembaga Anda. Banyak faktor yang menyebabkan seorang oknum melanggar prinsip-prinsip Muhammadiyah, bisa jadi ia memang hanya senang memanfaatkan aset Muhammadiyah atau pun tidak adanya alat kontrol yang pasti dari pihak ranting maupun majlis dikdasmen setempat.
Terseoknya lembaga pendidikan Muhammadiyah memang banyak dijumpai adanya disharmonis antara lembaga dengan ranting/cabang dan sebaliknya yang banyak kasus adanya tidak terjalinnya komunikasi yang intens. Poin pentingnya adalah bahwa disebalik warna cerah Muhammadiyah yang kini bersinar tinggi, masih ada sisi gelap Muhammadiyah pada akar rumput gerakan yang masih banyak tumbuh simbiosis-simbiosis yang merongrong kemuliaan Muhammadiyah.
Unggul Dari Bawah
Dalam lintasan sejarah pergerakan Muhammadiyah di manapun, amal usaha berupa sekolah selalu dimulai dari bawah (buttom up). Kader dan simpatisan Muhammadiyah bahu membahu mendirikan sekolah. Mulai dari tahap paling sederhana dan memanfaatkan sumber daya yang ada, kemudian dikelola dan diberdayakan seoptimal mungkin sejengkal demi sejengkal hingga akhirnya menjelma menjadi sekolah unggulan sebagaimana kita saksikan hingga kini. Sebut saja, SD Muhammadiyah Sapen di Jogjakarta yang bermula dari hal sederhana berupa bangunan reot berpagar bambu yang kala itu tidaklah pantas disebut sebagai sekolah. Tetapi, pelan dan pasti dibawah kepemimpinan yang visioner dan berjiwa kewirasusahaan bersama pemangku kepentingan yang solid, akhirnya kini SD Muhammadiyah Sapen dikenal sebagai sekolah unggul Muhammadiyah. Tidak jauh berbeda dengan SD Sapen, SD Muhammadiyah Condangcatur yang memulai merintis sekolah dengan lahan tidak lebih dari 300 meter persegi dan dua kelas. Lambat laun bersama dengan kerja keras dan usaha seluruh elemennya mampu mengantarkan sekolah tersebut sebagai lembaga pendidikan rujukan bagi sekolah-sekolah sekitar Sleman.Â