Muhammadiyah menjadi sosok gerakan Islam yang teramat dihormati di negeri nusantara. Usia satu abad lebih dan kontribusinya bagi negeri menjadikan Muhammadiyah sebagai pencerah dan penerang kehidupan.Â
Semangat  dakwah amar ma'ruf nahi munkar menjadi platform perjuangan semenjak kelahirannya. Besarnya nama Muhammadiyah tak luput dari kerja keras para kader-kadernya yang terseber diseantero nusantara.Â
Melalui Muhammadiyah dan ortomnya para kader-kader itu berjuang menerangi kehidupan dengan ajaran Islam rahmatan lil 'alamin, mereka menjadi tokoh-tokoh besar di masyarakatnya, mengabdikan diri kepada Muhammadiyah, memupus silang sengkarut problem kehidupan.
Mengulas tentang kader dan tokoh Muhammadiyah. Berikut selekta kisah perjalanan Mifrahah Niatun, "Srikandi Aisyiyah" Karangturi. Perempuan kelahiran Karanganyar, 4 Agustus 1955 silam ini menjadi sosok pengemban dakwah yang komitmen dan konsisten.Â
Semangat dan kecermatan memandang kehidupan menjadi salah satu letupan sinar semesta Muhammadiyah dalam mengurai problem perempuan yang selama ini kerap di-salahpahami oleh muslimah sendiri.Â
Melalui organisasi otonom Muhammadiyah, bernama Aisyiyah. Ia menjadi ujung tombak perubahan kaum perempuan di kampungnya, Â Desa Karangturi, Gondangrejo, Karanganyar.
)Bu Rohah, sapaan akrab Mifrahah Niatun oleh masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Beliau menjadi teladan  dan inspiratif perempuan-perempuan di desanya. Kiprah Bu Rohah semakin menegaskan bahwa perempuan memiliki peranan penting selain tugas domestik.Â
Bersama teman-temannya Bu Rohah berusaha sekuat tenaga untuk mencerdaskan perempuan-perempuan di kampungnya, agar memiliki pemahaman agama Islam yang baik serta tahu peran dan fungsinya sebagai perempuan.
Merintis Ranting Aisyiyah
Perjalanan dakwah Bu Rohah bukanlah tanpa liku. Bu Rohah mengawalinya dari PKK Desa dengan mengadakan program pengajian khusus wanita bernama, "Al-Hidayah". Namun, pengajian tersebut pada akhirnya kandas.Â
Sekilas Bu Rohah menceritakan kondisi yang melatar belakangi beliau mengambil peran dakwah di kampungnya. Kaum wanita saat itu belum memiliki kesadaran akan hidup beragama yang lurus. Islam hanya dijadikan sebagai simbol dan rutinitas ibadah yang bermakna sempit. Mereka hanya mengenal sholat, puasa, dan rutinitas ibadah lain yang bersifat dhohir / yang tampak saja.Â