Humaniora Aesthetic-- Lama tak bersua dan melenggangkan jari jemari menulis gagasan di kompasiana. Jagad pendidikan tanah air kembali ramai dengan keputusan menteri pendidikan, Nadiem Makarim yang akan mengganti Ujian Nasional (UN) dengan sistem penilaian yang baru, yaitu numerasi, literasi dan survey karakter.Â
Menariknya adalah tentang survei karakter, bagaimana prosesnya dan apa indikatornya? Ya, sejauh ini Mas Menteri Nadiem Makarim belum memberikan gambaran secara detail dan menyeluruh. Maka, izinkanlah penulis pemula ini memberikan analisisnya nggih. Fokus saya ada pada substansi survei karakter yang diungkap mas Menteri lho ya..
Untuk sebuah awalan, pendidikan kita tengah berupaya mengatasi problem krisis karakater. Pendidikan karakter menjadi menjadi domain utama dalam praktik pendidikan selama beberapa tahun belakangan ini.Â
Kurikulum 2013 menjadi kompenen penggerak pendidikan karakter. Namun demikian, persoalan karakter ini belum menunjukkan hasi perubahan yang signifikan.Â
Hal tampak pada semakin bejatnya moral bangsa, korupsi makin menggila, krimanal makin garang, pelecehan, hingga karakter individual yang tak kunjung hilang semisal, malas, kurang disiplin, hilang budaya antri, dan masih banyak lagi. Parahnya, krisis karakter ini juga merambah pada masa proses pembentukan.Â
Misalnya, hari ini banyak sekali kita jumpai anak didik yang tak lagi menaruh rasa hormat kepada gurunya. Ya, pembaca dan mas Menteri bisa searching lah di google barang kali akan menemukan beberapa jejak digital tentang perilaku buruk anak didik kepada gurunya, begitu sebaliknya.Â
Ngeri kan ya ditengah banyaknya konsep pendidikan dan megahnya bangunan kurikulum, ternyata masih jauh di angan untuk menghasilkan individu dengan polesan karakter yang apik. Ya, semua ini terjadi karena pendidikan kita (Indonesia) telah banyak mengalami reduksi.
Jonny Hutahaean menulis di kompasiana.com telah cukup baik memberikan gambaran tentang reduksi pendidikan.Â
Pak Jonny menuliskan, "hakekat dari pendidikan sudah kita reduksi menjadi sekedar sekolah, seolah-olah hanya di sekolahlah anak mendapatkan pendidikan. Jika kita bicara pendidikan, maka yang kita bicarakan adalah sekolah. Korupsi seolah-olah dapat dicegah dengan memasukkan pendidikan anti korupsi ke kurikulum sekolah. Sepertinya kita semua sepakat untuk melupakan cara mendidik paling esensial dan paling berhasil, yaitu melalui teladan dan perbuatan". Jadi yang tereduksi dari pendidikan adalah pola mendidik yang di dalamnya ada keteladanan.
Survei karakter yang dimaksudkan Mas Menteri itu adalah assessment mengenai akhlak dan kerukunan. Ya, dua nilai ini memang terlihat morat-marit di pendidikan kita.Â
Lantas bagaimana bisa assesment survei karakter bisa mengatasi problem karakter? Ya, sejauh ini Mas Menteri belum memberikan gambaran yang jelas mengenai sistem dan langkah praktisnya.Â
Tapi, disini saya sebagai pelaku pendidikan mencoba menerka dan mengawang-awang berkaitan survei karakter ini. Bukan berarti saya sok pinter . Monggo kalo analisis saya nanti menyinggung  ya mohon maaf lho ya.
Pertama, pabila survei karakter menggunakan penilaian semacam Tes Karakter Pribadi (TKP) bisa jadi itu hanya menjadi formalitas semata, anak yang berkelakuan buruk sekalipun  bisa menjawabnya dengan logika. Sudah barang tentu assasment survei karakter justru akan menambah lebar jurang reduksi pendidikan.Â
]Berbeda jika survei karakter nanti diserahkan kepada guru di sekolah. Kedua, guru diberikan kewenangan untuk memberikan penilaian karakter anak didik, karena gurulah yang paling tahu kondisi anak didiknya.Â
Misalnya, guru masih mendapati sikap anak didik yang negatif, maka si guru bisa memberikan nilai survei karakter buruk kepada anak didik tersebut, kemudian si anak mendapatkan pembinaan lebih lanjut dari guru. Jika balum ada perubahan sikap, maka tidak akan ada kelulusan bagi siswa jika perilakunya masih buruk.Â
Analisis kedua memang terlihat guru diktator dan ada pemaksaan kepada anak. Namun, itulah bagi saya yang terbaik. Mengkondisikan perilaku manusia dengan sedikit paksaan lebih berdampak pada hasilnya.Â
Dengan pengkodisian tersebut, anak didik awalnya akan terpaksa berperilaku baik. Proses  konsisten akan membuka kesadarannya untuk terus berperilaku positif hingga tertanam kuat menjadi karakter baik. Jadi, bebaskan guru untuk mendidik, jangan sampai otoritas guru sebagai pendidik terkendala HAM dan sebagainya. Guru memahami betul konsep maupun batatas reward dan punishment diberikan.
Jadi, mas Menteri bagaimana wujud konkret sistem survei karakter? Para pendidik menantikannya, saya berharap mekanismenya tidak berwujud seperti analisis pertama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H