Mohon tunggu...
Rio Estetika
Rio Estetika Mohon Tunggu... Freelancer - Dengan menulis maka aku Ada

Freelancer, Teacher, Content Writer. Instagram @rioestetika

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ujian Nasional dalam Pelukan Otonomi Pendidikan

8 Desember 2019   15:08 Diperbarui: 8 Desember 2019   15:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Humaniora Aesthetic--Lagi heboh perkara UN (Ujian Nasional) yang akan ditinjau ulang oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim. Saking hebohnya sampai-sampai ada kesimpulan UN bakal dihapus denga berbagai macam rasionalitas argumen. Pakar pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis, Indra Charismiadji, berpendapat, hingga saat ini, ujian nasional gagal menjadi tolok ukur untuk melihat kualitas murid. "Ujian nasional itu seperti timbangan yang rusak karena tidak mengukur kualitas anak,"dilansir dari tekno.tempo.co (08/12/2019).

Kalo kita runut, UN ini bukanlah polemik baru. Ketika Anies Baswedan menjabat sebagai Menteri Pendidikan, ujian nasional bukan lagi satu-satunya penentu kelulusan murid. Selain berdasarkan hasil ujian nasional, sekolah---melalui rapat dewan guru---berwenang menentukan kelulusan siswa.

Selang beberapa waktu berikutnya, Menteri Pendidikan Muhadjir Efendi ingin mengembalikan regulasi UN seperti semula, namun mendapatkan penolakan dari banyak pihak. Hingga Nadiem Makarim menggantikannya, Muhadjir juga belum mampu merubah format UN yang dimaksudkannya. Setelah itu berkembanglah wacana bahwa UN itu akan dihapus tetapi tetap harus ada evaluasi entah apapun namanya. Sementara, anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah, Itje Chodidjah, menolak penghapusan ujian nasional. Ia mengatakan ujian nasional harus tetap ada, tapi tidak menjadi satu-satunya alat ukur untuk mengetahui ketercapaian tujuan kurikulum", dilansir dari tekno.tempo.co (08/12/2019).

UN, Bukan Satu Satunya Tolak Ukur

Baiklah sekarang tiba saatnya penulis mengemukakan argumennya soal UN dan polemik mau dihapus. Tapi, maaf lho ya nanti jangan pada benci. Boleh tidak sepakat, tapi jangan hujat dan pakai emosi. Memang UN hingga saat ini tidak memberikan gambaran jelas soal kualitas pendidikan Nasional, bahkan kualitas pendidikan kita malah berada di ranking bawah tingkat dunia.

Memang UN itu sejatinya kan cuma menilai aspek kognitif dan pengetahuan peserta didik, sementara aspek keterampilan cenderung terabaikan. Kalo pakai pendapat ini ya UN pasti dihapus aja, tapi ya harus diganti sistem penilaian yang baru. Soalnya pendidikan itu juga perlu diukur biar ketahuan pendidikan yang dijalankan itu berhasil apa tidak? Outputnya bagaimana? kan gitu kan ya?. Jadi, sementara UN itu gak perlu dihapuskan dulu tapi ditambah juga penilaian lainnya seperti aspek keterampilan dan lainnya.

UN Masalahnya Dimana?

Kalau meminjam statementnya pakar pendidikan Indra Charismiadji di atas, UN itu masalahnya cuma bisa menilai aspek kognitif saja. Lha menurut penulis yang ilmunya masih fakir ini, UN itu masalahnya ada pada instrumen soalnya. Anak didik se-Indonesia diuji dengan instrumen soal sama dan level kesulitan yang sama.

Sementara, level penguasaan materinnya berbeda. Kenapa? Karena kondisi pendidikan di negara kita itu gak sama. Ada daerah yang fasilitas pendukung belajaranya komplit. Ada pula  daerah yang sekolahnya mau rubuh. Nah, tentu semua itu mempengaruhi pembelajaran anak yang berimbas pada level pemahaman belajar mereka. Tentun, tidak bisa disamakanlah intrumen soal untuk siswa di Jakarta dengan intrumen soal bagi anak-anak di Papua atau daerah lainnya. Kan itu kerasa nggak adil gitu ya? Itu kalo kita pakai prinsip adil yang menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.

Terus Solusinya Gimana?

Sebagai pengkritik tentunya akan lebih elok, jika menampilkan solusi atas persoalan yang dikritik. Jadi, penulis mencoba memberikan satu tawaran atas polemik UN dan pendidikan di negeri ini. Semoga Mas Menteri (Nadiem Makarim) membacanya sehingga bisa menjadi bahan pertimbangan membuat kebijakan pendidikan. Alah siapa diriku ini? (mengharap). 

Cobalah kementerian pendidikan,  membuat regulasi otonomi pendidikan seluas-luasnya. Supaya apa? Supaya setiap daerah di Indonesia mengembangkan pendidikan sesuai kearifan lokalnya masing-masing. Biarkan setiap bagian wilayah Indonesia menyesuaikan kurikukulum pendidikan nasional sesuai kebutuhan mereka sendiri, biarkan mereka membuat sistem belajar mereka, assesment mereka sendiri. Negara cukup memberikan payung hukum dan pedoman kurikulum nasional serta bantuan finansial tentunnya. Kurikulum nasional untuk membuat standarisasi tujuan pendidikan nasional , yang akan dicapai dengan kearifan lokal masing-masing daerah.Dengan begitu, setiap daerah akan berpacu dengan kearifan lokalnya bersama orientasi kebutuhan pendidikan mereka. Bukankah ini merdeka belajar seperti yang mas menteri maksud?

Terus gimana UN-nya dihapus dong? Iya dihapus saja diganti dengan assesment yang lain yaitu format penilaian yang mencakup pengetahuan dan keterampilan, spiritual, dan sikap sosial. Dan tentunya, sekolah adalah pihak utama yang melakukan penilaian itu. Negera cukup hadir memberikan fasilitas dan memberikan indikator pendidikan nasional, biarkan otonomi pendidikan berupaya memenuhi indikator tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun