Mohon tunggu...
Hulya Elrossam
Hulya Elrossam Mohon Tunggu... -

Gadis 23 tahun yang gemar memasak dan bertujuan membangun usaha kulinernya sendiri. Di waktu senggangnya, saat tidak memasak, dia kerap memikirkan nasib anak-anak Indonesia di masa depan nantinya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ada Perawat yang Menyakiti Pasiennya?

19 Juli 2016   09:20 Diperbarui: 19 Juli 2016   19:11 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perawat N (atas) dan temannya.

Setelah sekian lama saya tidak menulis, sayang sekali saya harus memulainya kembali dengan menuliskan suatu kisah tidak menyenangkan. Tulisan ini lumayan panjang karena kejadiannya baru beberapa hari yang lalu dan saya masih ingat dengan jelas detailnya serta emosi yang saya dan ibu saya rasakan.

Kisah ini terjadi pada hari Sabtu, 16 Juli 2016, dan merupakan pengalaman pribadi saya. Sabtu malam itu ibu saya check out setelah rawat inap di rumah sakit ternama di daerah Pagutan, Lombok Barat. Ibu saya melakukan operasi batu ginjal sehingga harus dirawat di rumah sakit tersebut. Bagi masyarakat Lombok, rumah sakit tersebut merupakan salah satu rumah sakit terbaik dengan pelayanan yang baik pula. Motto rumah sakit tersebut adalah curing with loving care. Dokter-dokter yang ada di sana pun merupakan dokter-dokter yang ahli di bidangnya. Maka tak heran lagi jika keluarga saya kerap berobat ke rumah sakit tersebut.

Sayangnya, motto yang indah itu tidak diresapi oleh salah satu perawatnya. Saya tidak bisa memastikan nama perawat ini karena name tag yang dikenakannya dipasang dengan terbalik. Tetapi menurut petugas keuangan yang saya tanyakan, perawat ini bernama N*a. Dan jika penelusuran saya benar, maka perawat ini berinisial NS. Saya hanya bisa memastikan bahwa perawat ini berasal dari Lombok Tengah. Berusia sekitar 25 tahun.

Kejadian tidak enak ini terjadi saat ibu saya harus disuntikkan antibiotik sebelum meninggalkan rumah sakit malam itu. Karena kondisi Ibu sudah membaik, maka slang infusnya sudah dilepas sejak siang agar tangannya bisa lebih longgar dan rileks. Lagipula, kondisi tangan kiri Ibu yang digunakan untuk memasukkan infus sudah mulai membengkak. Maka, saat menyuntikkan antibiotik malam itu perawat harus memasukkan jarum kembali. Pekerjaan memasukkan jarum suntik ke pembuluh ibu saya merupakan pekerjaan yang menyusahkan karena pembuluh darah Ibu yang tipis dan susah ditemukan.

Saat itu pukul 21.00. Sesuai instruksi dokter, injeksi antibiotiknya dilakukan pada jam tersebut. Setelah saya ke ruang perawat untuk meminta tolong, datanglah perawat ini ke kamar kami yang terletak di lantai dua. Sejak kedatangannya, Ibu sudah merasa ragu dan tidak ingin dirawat oleh Mbak N. Pasalnya, saat menyuntikkan antibiotik pada hari sebelumnya, slang infus menjadi bocor. Setelah saya beritahukan, dia kembali datang ke kamar kami dan meletakkan selembar tisu di bawah selang infus untuk melihat kebocorannya. 'Liat dulu ya, nanti saya ganti kalau bocor,' katanya. Namun perawat ini tidak datang mengeceknya kembali hingga saat infus Ibu dilepas. Dan saat merawat Ibu saya itu pun dia tidak merekatkan selang infus ke pergelangan tangan Ibu sehingga posisinya menggantung dan menyusahkan pergerakan tangan Ibu karena terasa sakit. Akibatnya, saat infus dibuka ternyata jarum suntiknya bengkok dan menembus keluar permukaan kulit.

Dari kejadian hari itu dapat kami simpulkan bahwa Mbak N ini perawat yang tidak perhatian dan terburu-buru dalam menyelesaikan pekerjaannya, tidak teliti.

Sebelum perawat tersebut menyuntik, Ibu sudah meminta agar perawat laki-laki saja yang melakukannya karena kondisi pembuluh darah Ibu yang tipis. Biasanya prosesnya menjadi lebih mudah jika dilakukan oleh perawat laki-laki. Namun perawat N mengatakan akan mencobanya dan mulai memijat-mijat tangan Ibu mencari pembuluh darah. Tak beberapa lama, datanglah temannya, yang tidak jauh beda sikapnya dengan perawat N. Mereka berdua bekerja mencari pembuluh darah.

Hingga satu pembuluh terlihat di punggung tangan kanan Ibu. 'Cuma ini yang keliatan, tapi pasti pecah ini. Kita coba aja ya, Bu. Ibu harus yakin bisa juga,' kata perawat N. Dan percobaan itu gagal. Pembuluh darah Ibu pecah. Ibu saya kesakitan. Saya pun bertanya apa tidak ada perawat lain yang lebih ahli. 

Perawat N malah menjawab, 'ini kami sudah yang paling ahli, apa mau dipanggilin perawat OK?' sambil terus mencari pembuluh darah lain. Pertanyaan itu hanya basa-basi.

Entah perawat bagian mana yang dimaksudnya, yang jelas saya tidak suka dengan jawaban sombongnya itu.

Posisi mereka saat itu di kasur di lantai, karena kasur pasien ditempati adik saya yang tengah tertidur. Saat ditawari pindah ke kasur pasien saja, mereka menjawab 'gak pa-pa, enak di sini aja. Lesehan.' Temannya kemudian pindah mencari pembuluh darah di sebelah kiri. Tangan Ibu saya dipijat-pijat dan diurut-urut. Dipasangkan sabuk. Dipijat-pijat kembali. Ditepuk-tepuk. Perawat N juga melakukan hal yang sama pada tangan kanan Ibu. Ibu sampai berkata, 'kok jadi kayak lagi massage aja nih.' Mereka hanya ketawa-ketawa saja dan melanjutkan pencariannya sambil mengobrol.

Perawat N kemudian kembali menemukan pembuluh darah di lengan bawah bagian luar, 'tapi ya gitu... tipis. Kita coba ya,' katanya kembali. Saat itu saya bisa melihat betapa tidak ahlinya perawat ini dalam menyuntik. Ragu-ragu. Jarum sudah ditusukkan, kemudian ditarik kembali, dimasukkan kembali. Entah apa yang dia cari. 'Atas atau bawah nih?' tanyanya pada temannya. Tuhan, perawat macam apa ini? Bisa ditebak yang terjadi setelah itu... pembuluh darah kembali pecah. Ibu saya kembali kesakitan. Teriakannya membangunkan adik saya.

Dan mereka kembali mencari pembuluh darah. Saya dan Ibu kembali menanyakan perawat yang lain untuk menggantikan mereka. Tapi tahukah Anda jawaban mereka? 

'Bukan cuma Ibu aja kok yang stress, Bu. Kita juga stress kalo gak berhasil nyuntik. Bisa kepikiran sampai besok-besok dan gak berani nyuntik lagi. Dokter aja kan gak berani operasi lagi kalo gagal.'

Saya kesal sekali mendengar jawaban yang seperti itu. Saya tau itu, tapi bukan berarti mereka bisa seenaknya terus-terusan mencoba menusuk Ibu saya demi egonya. 'Nanti kalo gak bisa, saya minta maaf ya, Bu' katanya. Gendeng!

Kali ini mereka menemukan pembuluh di lengan bawah bagian dalam. Kasusnya masih sama, tipis. Dan perawat N masih memaksakan diri untuk menyuntik. 'Tenang ya, Bu. Yakin ya..' Jarum masuk... suatu cairan (sterill-an sepertinya) mulai masuk. Dan pecah. Ibu saya akhirnya berteriak karena sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan mereka. 'Sudah sudah!! Saya ke UGD aja dah! Sakit! Trauma saya jadinya!' Sayangnya karena Ibu saya sedari tadi mengobrol baik-baik dengan mereka, mereka jadi seperti tidak menanggapi dengan serius. Raut wajah mereka tidak benar-benar menyesal dan bersalah.

'Iya Bu, iya. Ini semua tadi masuk kok, Bu. Tapi pecah begitu dimasukkan cairan. Ini lho buktinya,' kata perawat N mengangkat jarum suntik yang ada noda darahnya dan kapas ke arah Ibu. Padahal Ibu saya saat itu tengah kesakitan! Sejak dimulainya perawatan, (Senin, 11 Juli 2016) Ibu sudah menerima banyak tusukan untuk kepentingan pengambilan darah. 

Kondisi itu membuatnya trauma saat hendak disuntik. Namun para perawat itu tidak ada yang sengeyel mereka saat gagal menemukan pembuluh darah atau menyuntikkan. 'Kalo memang gak masuk, gak akan ada darahnya. Itu baru sterill-an aja yang masuk udah pecah, gimana bisa antibiotiknya,' kata perawat N. Sungguh ucapan dan sikap yang kasar sekali dari seorang perawat.

Waktu saat itu menunjukkan pukul 22.00. Satu jam sudah mereka mencoba dan tidak berhasil sama sekali! Sudah terlalu malam. Apalagi kami harus pulang ke Praya, Lombok Tengah, yang berjarak kurang lebih 40km. Sungguh banyak waktu kami yang terbuang hanya karena keegoisan dua perawat itu.

Dan akhirnya perawat N menyerah kemudian menelpon untuk meminta pertolongan pada temannya di bagian ICU. Dia kemudian masih mengobrol dengan ibu saya membicarakan masalah pembuluh darah Ibu yang tipis, namun di wajahnya tidak terlihat kejadian barusan karena kelalaiannya. Sepertinya bagi perawat N kegagalan menyuntik karena pembuluh darah pasien yang tipis itu adalah hal biasa. Setelah mengobrol sesaat, perawat N meninggalkan kamar kami menyusul temannya.

Ternyata, perawat yang dimintai tolong pun baru bisa datang pukul 22.35 karena harus menangani pasien gawat. Mereka datang berdua. Menangani Ibu saya dengan tenang, fokus, dan serius. Tidak berisik dan sambil mengobrol seperti perawat N dan temannya. Hasilnya... tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk menyuntikkan antibiotik tersebut. Dan hingga kami meninggalkan kamar pada pukul 23.08, perawat N tidak menampakkan batang hidungnya. Mana tanggung jawabnya, Mbak?

Saya benar-benar tidak menyangka, di rumah sakit yang berkelas tersebut, apalagi dengan motto-nya itu, ada perawatnya yang tidak berjiwa perawat. Ini kali pertama saya menemukan kejadian seperti ini, ini kali pertama pula ibu saya disakiti seperti itu saat penyuntikkan. 'Kalo emang gak bisa ya jangan dipaksakan. Dikira gedebong pisang apa,' kata Ibu saya. 

Amarah pun ditumpahkannya saat perawat itu meninggalkan kami. Sayangnya, Ibu saya terlalu baik. Saat saya meminta petugas keuangan yang mengambil tambahan biaya alat kesehatan (ya, jarum-jarum yang gagal dimasukkan karena ketidakahlian mereka itu harus kami bayar juga) untuk menceritakan ketidakpuasan kami pada perawat tersebut, Ibu saya melarangnya. Namun saya berharap petugas itu tetap melakukannya karena saya ingin perawat itu sadar akan perbuatannya.

Sama dengan tujuan saya menulis dan membagikan pengalaman ini. Saya menulis bukan membahas apalagi menjelekkan nama baik rumah sakit tersebut, rumah sakit itu memang baik... tidak saya pungkiri. Saya hanya ingin perawat tersebut mengasah jiwa keperawatannya dan keahliannya sehingga tidak ada lagi pasien lain, khususnya yang berpembuluh darah tipis, yang akan tersakiti lagi olehnya. Jangan hanya demi mempertahankan egonya, harga dirinya, gengsi atau apalah itu sebutannya maka dia bisa seenaknya mencoba-coba menyuntik di lengan ibu saya. Tolong, lebih perhatikan etikanya dalam merawat pasien. 

Tolong, lebih perhatikan pasiennya... jangan terlalu ngeyel. Kami sudah meminta agar dia meminta bantuan pada perawat lain, namun tidak dihiraukannya. Caranya melepas sabuk yang ada dilengan ibu saya pun kasar, perih rasanya kata ibu saya. Bahkan sekarang (18 Juli 2016), bekas tusukan kedua sudah mulai membiru. 'Sakit banget sih tusukan yang ini,' kata ibu saya.

Saya berharap tulisan ini dapat sampai kepada perawat tersebut dan dia dapat memperbaiki kesalahannya serta meningkatkan kualitas pelayanan dan perawatannya. Semoga tidak ada lagi perawat seperti perawat di atas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun