Toh terbukti, dengan merokok justru membantu kelangsungan kesejahteraan petani tembakau, karyawan pabrik rokok, dan pedagang kelontong yang menjajakan rokok baik bungkusan maupun eceran sehingga bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak-anaknya.
Apalagi, belum lama ini tersebar berita bahwa BPJS menutupi defisit keuangannya dengan dana dari cukai rokok sebesar Rp 5,7 triliun.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa di balik logika kesehatan "rokok membunuhmu" itu terselip "ujaran kebencian" kapitalisme yang hendak menguasai bisnis kretek global.
Lihatlah pertarungan politik bisnis internasional menyebabkan Indonesia kehilangan kekayaan negeri sendiri. Sebab dulu, Indonesia yang pernah berjaya dengan salah satu produk pertaniannya yaitu penjualan minyak mandar yang kini telah diluluh-lantakkan dengan bombardir minyak goreng pabrikan.
Dulu Indonesia pernah jaya dengan minyak mandar atau lomo mandar, tapi dihancurkan dengan isu yang dihembuskan Om Sam bahwa minyak mandar tidak baik untuk kesehatan.
Hal itu juga diberlakukan pada rokok kretek, lewat WHO, WTO dan pemerintahan Indonesia sendiri ikut mengkampanyekan bahaya nikotin pada rokok.
Contoh kasus lainnya seperti "mati"nya kopra, gula, garam, jamu dan kretek menandai matinya komoditas nasional. Matinya industri lokal.
Tahukah Anda tentang sentra produksi minyak kelapa di Mandar, Sulawesi Selatan?
Tahukah Anda tentang Pulau Selayar yang dahulu kala digelari pulau sejuta emas hijau? Sulawesi utara-Gorontalo nyiur melambai?
Mungkin tak banyak yang tahu kalau di daratan Sulawesi di tahun 1960-an adalah hamparan pulau kelapa yang menjadi tambang hidup rakyat.
Kelapa sering disebut emas hijau berkibar-kibar di sepanjang jazirah Sulawesi, hingga tiba badai jatuhnya harga kopra dunia di tahun 1980. Ditambah dengan derasnya kampanye perang anti minyak kelapa, benar-benar mengubur minyak kelapa.