Kasus korupsi kembali mencemari polisi. Kali ini kasus itu menjerat Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Budi Gunawan bukan orang pertama yang tersandung kasus korupsi di tubuh kepolisian.
Sebelum Budi Gunawan, publik pernah dihebohkan oleh Suyitno Landung, yang ditangkap karena kasus korupsi. Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia itu terjerat kasus pembobolan BNI, dengan terdakwa Adrian Waworuntu. Suyitno terbukti menerima sport utility vehicle (SUV) Nissan X-Trail senilai Rp 247 juta dari Adrian.
Setelah Suyitno Landung, giliran Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tersangkut korupsi. Ia dijatuhi sanksi penjara 3 tahun 6 bulan pada Maret 2011. Susno terbukti bersalah dalam kasus gratifikasi sebesar Rp 500 juta dari Sjahril Djohan untuk mempercepat penanganan kasus PT Salmah Arowana Lestari.
Susno juga terbukti memangkas Rp 4.208.898.749 dana pengamanan pilkada Jawa Barat untuk kepentingan pribadi, saat ia menjabat Kapolda Jabar pada 2008. Harta kekayaan Susno diperkirakan senilai Rp 1,5 miliar. Kekayaan Susno terdiri atas harta tidak bergerak berupa tanah dan bangunan senilai Rp 951 juta dan harta bergerak Rp 70 juta.
Belum lagi kasus Susno Duadji redup, muncul nama Djoko Susilo. Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi simulator untuk ujian memperoleh surat izin mengemudi (SIM). Pada Desember 2013, majelis hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menjatuhkan sanksi 18 tahun penjara kepada Djoko Susilo.
Dalam laporan kekayaannya, Djoko Susilo "hanya" punya harta Rp 5.623.411.116. Namun, jumlah itu tidak sesuai dengan nilai harta yang disita KPK, yakni Rp 100 miliar. Tidak tanggung-tanggung, Djoko Susilo mengumpulkan harta dengan cara menggunakan nama tiga istrinya.
Hampir bersamaan dengan kasus Simulator SIM Djoko Susilo, mencuat lagi kasus korupsi yang melibatkan anggota polisi. Kasus ini terbilang menggemparkan karena menjerat seorang bintara berpangkat Ajun Inspektur di Kepolisian Resor Raja Ampat Papua Barat. Labora dikenal sebagai polisi paling kaya di Papua.
PPATK mencatat, pada 2007-2012, Labora memiliki 60 rekening. Total jumlah transaksi mencurigakan atas nama Labora Sitorus mencapai Rp 1,5 triliun. Pada September 2014, majelis kasasi Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara kepada Labora menyelundupkan bahan bakar minyak, membabat hutan secara ilegal, dan mencuci uang, lewat perusahaannya, PT Seno Adhi Wijaya dan PT Rotua.
Selain mereka yang sudah dijadikan tersangka, terseriar pula kabar sebelumnya bahwa, Markas Besar Kepolisian RI menelusuri laporan transaksi mencurigakan di rekening sejumlah perwira polisi yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Di situ ada nama Inspektur Jenderal Mathius Salempang, yang pernah menjabat Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur. Kekayaan Mathius Salempang mencapai Rp 8.553.417.116 dan US$ 59.842 per 22 Mei 2009.
Mathius Salempang disinyalir memiliki rekening Rp 2.088.000.000 dengan sumber dana tak jelas. Pada 29 Juli 2005, rekening itu ditutup dan Mathius memindahkan dana Rp 2 miliar ke rekening lain atas nama seseorang yang tidak diketahui hubungannya. Dua hari kemudian dana ditarik dan disetor ke deposito Salempang.
Selain Mathius Salempang, disebut juga nama mantan Kepala Korps Brigade Mobil Polri, Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Ia memiliki kekayaan sekitar Rp 6.535.536.503 (per 25 Agustus 2005). Dari rekeningnya mengalir uang Rp 10.007.939.259 kepada orang yang mengaku sebagai Direktur PT Hinroyal Golden Wing. Terdiri atas Rp 3 miliar dan US$ 100 ribu pada 27 Juli 2005, US$ 670.031 pada 9 Agustus 2005. Tetapi Wenas membantah. "Dana itu bukan milik saya."
Kemudian ada lagi nama Inspektur Jenderal Badrodin Haiti. Mantan Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian itu diperkirakan memiliki kekayaan: Rp 2.090.126.258 dan US$ 4.000 (per 24 Maret 2008). Dia pun disinyalir membeli polis asuransi pada PT Prudential Life Assurance Rp 1,1 miliar. Asal dana dari pihak ketiga. Menarik dana Rp 700 juta dan menerima dana rutin setiap bulan.
Selain itu, ada juga nama Inspektur Jenderal Bambang Suparno. Mantan Staf pengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi Polri ini disinyalir membeli polis asuransi dengan jumlah premi Rp 250 juta pada Mei 2006. Kemudian ada dana mengalir ke rekeningnya senilai total Rp 11,4 miliar sepanjang Januari 2006 hingga Agustus 2007, kemudian ditarik Rp 3 miliar pada November 2006. Tetapi Suparno mengatakan tidak ada masalah dengan transaksi itu. Itu terjadi saat saya masih di Aceh.
Kabar yang beredar ketika itu menyebutkan juga Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian. Budi Gunawan disebut memiliki kekayaan Rp 4.684.153.542, per 19 Agustus 2008. Ia disinyalir melakukan transaksi dalam jumlah besar, tak sesuai dengan profilnya. Dikabarkan pula bahwa, bersama anaknya, Budi telah membuka rekening dan menyetor masing-masing Rp 29 miliar dan Rp 25 miliar. Tetapi Budi membantah dengan mengatakan, berita itu sama sekali tidak benar.
Sejak Selasa pekan lalu, nama Budi Gunawan kembali mencuat ke publik. Pria berkumis tebal itu dijadikan tersangka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Budi Gunawan dijerat pasal 12 a kecil” jelas Ketua KPK Abraham Samad dalam jumpa pers di KPK, Jl Rasuna Said, Kuningan, Jakarta. Ia diduga menerima hadiah atau janji yang terkait dengan kewenangannya saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Mabes Polri.
Ia pun diancam dengan Pasal 12 huruf a atau b pasal 5 ayat 2 pasal 11 atau pasal 12 B UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.
Dengan sangkaan itu, bila terbukti, maka Budi Gunawan terancam dipidana dengan hukuman paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain dipidana, ada lagi ancaman denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Penetapan tersangka Budi Gunawan dilakukan setelah KPK melakukan penyidikan selama setengah tahun sejak Juli 2014 lalu. Dalam penjelasan KPK, Budi dikenai pidana karena menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Sungguh tragis. Penetapan tersangka Budi Gunawan mencuat di saat yang bersangkutan diajukan sebagai calon tunggal orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia. Padahal, Kapolri yang akan digantikan Budi Gunawan, Jenderal Polisi Sutarman, baru akan pensiun pada Oktober 2015.
Anggota Dewan Penasihat Partai Gerakan Indonesia Raya, Martin Hutabarat, menyatakan Presiden Joko Widodo kehilangan etika karena tak memberitahukan percepatan pensiun Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman.
Martin menjelaskan, selama ini Kapolri yang dipercepat pensiunnya selalu mendapat penjelasan dari presiden. Contohnya Jenderal Timur Pradopo, yang diberitahu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal pentingnya pengamanan pemilihan umum, sehingga harus dipercepat pensiunnya.
Sutarman, menurut Martin, adalah salah satu jenderal polisi yang minim catatan buruk. Selain itu, proses pemilihan Sutarman juga minim kekisruhan, tak seperti beberapa Kapolri sebelumnya yang sarat permainan politik. "Dia orang baik, tapi diperlakukan seperti ini," kata Martin.
Lantas, adakah pencalonan Budi Gunawan sarat permainan politik? Atau penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka yang bernuansa politis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H