Mohon tunggu...
Kao Hu
Kao Hu Mohon Tunggu... -

for the better world

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sektor Industri Mengapa Loyo?

13 Mei 2016   10:45 Diperbarui: 4 April 2017   16:18 1683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertumbuhan industri pengolahan secara nasional pada Triwulan I tahun 2016 ini ternyata hanya 4,59%. Pertumbuhan industri pengolahan non-migas tumbuh lebih rendah, yaitu 4,46%. Dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan yang sebesar 4,92%, pertumbuhan sektor industri manufaktur itu terlihat loyo. Ini adalah perkembangan yang kurang menggembirakan.

Mengapa perlambatan pada Triwulan I tahun ini bisa terjadi? Beberapa penjelasan dapat disampaikan di sini. Pertama, perlambatan di awal tahun merupakan bagian dari siklus tahunan. Permintaan pasar terhadap barang-barang industri biasanya lambat pada awal tahun kemudian meningkat hingga akhir tahun. Pada awal tahun, belanja pemerintah masih sedikit, menyebabkan permintaan yang rendah untuk barang-barang produksi industri.  Kedua, perlambatan perekonomian dunia tahun 2015 dan awal 2016 berimbas pada permintaan terhadap produk industri Indonesia menurun.   Ketiga, produk-produk impor masih terus membanjiri pasar dalam negeri, menyebabkan produksi dalam negeri terpinggirkan. Sektor industri menyesuaikannya dengan mengurangi produksi. Keempat, masyarakat cenderung menambah tabungan dengan menekan konsumsi, mungkin baru akan banyak belanja saat menghadapi lebaran. Karena permintaan menurun, maka penawaran juga menurun.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah mengapa sektor industri selama ini tidak tumbuh baik? Sektor industri memang pertumbuhannya lambat, selama 16 tahun terakhir rata-rata hanya tumbuh 4-5 persen per tahun. Hanya pada tahun 2000, pertumbuhannya sangat tinggi, yaitu 11,72%. Umumnya, sektor industri lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan sektor-sektor lain; seperti yang terjadi pada tahun 1980-an dan 1990-an, ketika sektor industri tumbuh belasan persen/tahun.

Menurut UNIDO (United Nations Industrial Development Organization), daya saing industri manufaktur Indonesia memang mengalami stagnasi dalam 20 tahun terakhir. Indonesia berada pada posisi ke 40-an dalam peringkat Competitive Industri Performance (CIP). Posisi ini relatif tidak berubah banyak, berbeda dengan Vietnam, misalnya, yang meningkat dari peringkat ke-91 menjadi peringkat ke-80 dalam kurun waktu yang sama.

Bisakah dikatakan sektor industri sedang stagnan? Apakah kebijakan pemerintah di sektor industri tidak berhasil? Lebih dalam lagi, apakah pemerintah salah membuat kebijakan sektor industri? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini tentunya tidak bisa dijawab tanpa analisis yang cermat. Namun beberapa gejala ini dapat menunjukkan bahwa sektor industri kita perlu dikelola lebih baik lagi.

Pertama, belum ada rencana terpadu untuk membangun industri manufaktur secara terpadu, dari hulu hingga hilir. Kemenperin memang sudah menyusun Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035, namun terlalu komprehensif, kurang fokus, dan kurang implementatif. Ini sebabnya konon Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) yang dibentuk Presiden Jokowi berencana akan menyusun road map pengembangan sektor industri yang lebih realistis.

Kedua, sektor industri tidak didukung oleh ketersediaan energi yang murah, seperti listrik, gas dan BBM. Cukup sering kita dengar sektor industri yang memerlukan tambahan pasokan gas untuk peningkatan produksinya namun tidak mendapat respon seperti yang diharapkan.

Ketiga, sektor industri nasional dibiarkan bersaing dengan sektor industri negara lain dalam mendapatkan bahan baku dari dalam negeri. Beberapa komoditas perkebunan dan kehutanan bebas diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri cukup besar. Akibatnya kebutuhan bahan baku dalam negeri justru harus diimpor. Betapa untungnya pengusaha industri negara lain, mendapatkan bahan baku dengan mudah dari negara kita, sementara hasil produksinya dijual dengan harga yang lebih tingggi kepada kita. Menjadi pertanyaan, benarkah negara kita kaya akan sumber daya alam, jika kita sendiri tidak bisa memanfaatkannya?

Keempat, lemahnya keterpaduan dalam regulasi, kebijakan, dan pelaksanaan di lapangan. Antara satu kementerian dengan kementerian lain tidak saling mendukung dengan sepenuh hati, bahkan saling menjegal bahasa kasarnya. Ada prinsip yang keliru tetapi mungkin dipegang teguh oleh setiap kementerian/lembaga: “Kalau saya mendukung kementerian lain maka kementerian itu yang mendapat pujian, sedangkan kementerian saya belum tentu kinerjanya dinilai baik. Maka lebih baik bekerja sendiri-sendiri saja. Kalaupun mendukung kementerian lain, itu tetap dalam rangka untuk kepentingan kementerian sendiri.” Kemudian, apakah Kementerian Koordinator kurang berperan? Mungkin masalah industri cukup kompleks sehingga peran koordinasi belum bisa dilaksanakan secara maksimal dan belum dapat segera membuahkan hasil.

Kelima, ada anggapan bahwa industri pengolahan adalah tanggung jawab Kementerian Perindustrian saja. Ini juga keliru, karena industri pengolahan berkaitan dengan bidang-bidang lain seperti pertanahan, tata ruang, lingkungan hidup, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, pertanian, kehutanan, dan masih banyak lagi yang lain.

Karena beberapa sebab di atas, maka sektor industri beberapa tahun terakhir ini kurang tumbuh dengan baik. Bisa dikatakan bahwa sektor-sektor industri fragmented (terpisah-pisah), masing-masing tidak berhubungan erat dengan yang lain secara terpadu. Dengan kata lain, tidak ada kaitan dari hulu sampai hilir. Akibatnya daya saing produk industri pengolahan lemah, baik di dalam maupun di luar negeri. Padahal Indonesia memerlukan dorongan pertumbuhan ekonomi yang baru untuk menggantikan ekspor komoditas yang belum kunjung membaik. Ekspor migas juga harganya masih rendah, sehingga tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber pendapatan negara. Maka satu-satunya harapan adalah industri pengolahan.

Sektor industri memang salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi. Kontribusinya pada pembentukan PDB di negara-negara maju rata-rata sekitar 30%. Di Indonesia, saat ini peran manufaktur terhadap PDB hanya 21%. Jadi ruang peningkatannya masih besar. Dunia usaha dapat mengembangkan sektor industri lebih luas lagi, jika tidak maka kekurangan itu akan diisi oleh produk industri dari negara lain.

Ke depan ini pertumbuhan sektor industri bisa lebih baik. Beberapa upaya yang sedang dilakukan pemerintah akan mendukung pertumbuhan industri yang lebih baik. Waktu pemrosesan barang di pelabuhan (dwelling time) semakin singkat, peraturan membuka usaha baru lebih mudah, prasarana angkutan darat dan laut semakin baik dan merata. Pemerintah juga sudah melakukan deregulasi dan debirokratisasi melalui 12 paket kebijakan yang kemungkinan akan terus bertambah. Indeks keyakinan konsumen yang tetap tinggi dan bertambahnya jumlah penduduk kelas menengah juga akan mendorong permintaan produk industri.

Namun agar bisa bersaing dengan negara-negara lain, ASEAN khususnya, industri manufaktur perlu mendapat dukungan khususnya dalam hal pasokan energi, kredit perbankan, biaya logistik, dan insentif fiskal.

Sektor industri memerlukan ketersediaan energi yang harganya mampu bersaing dengan negara di kawasan. Harga gas domestik ditengarai lebih tinggi dari harga gas di negara lain seperti Vietnam, hal ini akan membuat harga produk industri Indonesia lebih mahal dan kalah bersaing dari produk negara lain. Pemerintah perlu menghitung berapa harga gas yang membuat industri nasional mampu bersaing.

Bunga bank yang masih tinggi merupakan kendala untuk pendirian usaha baru maupun perluasan usaha yang ada. Sudah ada upaya dari Bank Indonesia dan pemerintah untuk menurunkan bunga pinjaman, namun masih perlu digencarkan lagi agar bisa bersaing dengan negara lain.

Beban biaya logistik juga masih tinggi saat ini. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa biaya pengiriman barang dari Jawa ke Papua masih lebih mahal daripada biaya pengiriman dari Jawa ke Hong Kong sekalipun.

Terakhir, insentif pajak diperlukan untuk mendorong pengusaha mengembangkan usaha di sini daripada di negara lain. Insentif pajak tersebut dapat berupa tax holiday atau tax allowance. Kementerian Keuangan perlu membandingkan insentif pajak apa yang diberikan negara lain kepada pengusahanya agar pemberian insentif di sini disambut baik oleh pengusaha.

Mudah-mudahan para pemangku kepentingan yang terkait segera menyingsingkan lengan bajunya untuk secara bahu membahu mengupayakan peningkatan pertumbuhan sektor industri, sehingga produk-produk dalam negeri bisa berjaya di negeri sendiri dan di ASEAN setidak-tidaknya.

Salam Kompasiana!

--o0o--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun