Kami mengenalnya sebagai pohon gantung. Orang awam atau pendatang akan melihatnya sebagai pohon akasia biasa. Namun, bagi penduduk lokal pohon itu keramat dan mistis.
Terletak di pinggir jalan, usianya tidak lebih tua dari barisan kontrakan milik ibu bidan di depannya, tetapi semua orang takut padanya.
Jika waktu mendekati maghrib dan sandekala tiba, pohon Akasia berdiri kokoh di tengah gelapnya malam, dan tidak ada yang berani melintas di depannya.Â
Penduduk setempat memilih memutar dari jalan belakang kontrakan, daripada melewati pohon akasia nan rindang ini.
Tak ketinggalan, semua tamu akan mendapat peringatan dari tuan rumah untuk menghindari pohon gantung ketika langit tak lagi cerah.
Dulu, pohon ini adalah tempat favorit anak-anak untuk bermain di kala siang dan sore. Daunnya cukup lebat untuk menaungi mereka dari sengatan panas matahari. Pun ketika malam tiba, orang-orang tenang saja berlalu-lalang di depannya.
Tak ada yang terusik, tak ada yang menakutkan.
Syahdan, seorang gadis putus asa memilih pohon akasia malang ini, sebagai pelabuhan untuk bertandang ke alam barzah sebelum waktunya.
Kengerian menyeruak saat penduduk menemukan sosok tergantung tali di dahan pohon.
Bayang-bayang itu terus melekat, meski polisi telah mengevakuasi jasad dan mayatnya pun telah dikebumikan.
Namun, hawa mistis terlanjur menyeruak. Mitos dan cerita mistis penuh khayal bertaburan. Ada yang mungkin benar-benar diganggu oleh makhluk tak kasat mata, ada yang hanya membual, mempermanis ceritanya dengan suguhan misteri.
Seorang remaja bercerita, dari spion motornya ia melihat wanita tersenyum dari boncengan belakangnya, ketika melewati pohon akasia itu setelah maghrib. Padahal ia tidak membonceng siapapun.
Keluarga almarhumah makin malu mendengarnya. Roh gentayangan, arwah penasaran, jin qorin, begitu sebutan orang-orang untuk menentukan sumber cerita.
Ustadz dan orang pintar dipanggil untuk ‘membersihkan’ si pohon. Tidak cukup langit menurunkan hujan untuk membasahi batang pohon, air yang telah dibaca-baca juga ikut disiramkan.
Beres, aman. Sugesti itu melahirkan rasa aman bagi masyarakat.Â
Namun, berselang beberapa hari ada seorang pemotor linglung. Pria itu mengelilingi pohon dan jembatan penghubung beberapa kali, sebelum ditegur pemuda-pemudi yang asyik nongkrong di pinggir jembatan.Â
Kejadian yang terjadi pada malam hari itu sontak menggegerkan warga, ditambah terjadi kecelakaan di jalan raya di bawah jembatan. Sebuah bus bertabrakan dengan metromini. Tidak ada korban jiwa.
2 rentetan peristiwa di satu malam ini membuat warga berspekulasi, ada kaitan antara mahluk halus penunggu pohon akasia dan gangguan untuk yang melintasi di depannya.
Warga berinisiatif memasang lampu penerang di samping pohon agar jalanan tidak lagi gelap.
Baru berumur 2 hari, bola lampu itu padam, tak mau menyala. Pak RT pun menggantinya dengan lampu yang baru.
Kali ini umurnya lebih lama, 1 minggu. Sebelum bola lampu itu meledak, entah kenapa, tidak ada yang tahu penyebabnya.
Hingga kini, tidak ada yang berniat memasang bola lampu baru di tiang itu. Pohon akasia kembali ditemani jalanan yang gelap.
Daun-daunnya yang tertiup semilir angin di kala malam akan nampak bergerak-gerak sendiri, jika ada ranting yang jatuh maka suaranya akan membuat penduduk berlari ketakutan.
Akasia memiliki dunianya sendiri, tidak bersentuhan dengan warga di sekitar. Hanya sekali-kali, peternak akan menyabit rumput liar di sekitarnya untuk makan kambing.
Andai kata ada yang berani menggantungkan ayunan di dahannya yang kokoh, tentu Akasia ini akan menjadi tempat yang nyaman di siang hari.
Daun menahan sengatan panas, hawa sejuk khas pepohonan, dan sepoi angin akan menambah syahdu setiap ayunan di bawah pohon ini.
Namun, sayang Akasia terlanjur dicap angker dan menakutkan. Mitos dan mistis lebih melekat di benak masyarakat daripada indahnya alam.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H