Baru setelah itu, ibu dengan berat hati memberi izin.
Diantar kak Dimas, Lia berangkat ke pabrik.
“Jangan gelap mata, dek. Tetap jadi anak baik, sisihkan gajinya sebagian untuk ditabung. Jangan kirim semua ke rumah.” Pesannya.
Kak Dimas sekarang sudah bekerja di pabrik otomotif, merangkai sepeda motor. Gajinya juga lumayan, Papa Adi yang memasukkannya ke pabrik itu. Jalur orang dalam memang yahud.
Lia memulai hidupnya sebagai pekerja pabrik, jauh dari rumah. Walaupun atasannya tegas, tetapi tak segalak manajer yang orang asing.
Lucu sekali jika dipikir, mereka mencari uang di tanah ini, tetapi memperlakukan pekerja pribumi seperti sampah. Kompeni abad baru. Untung saja, mereka jarang bertemu.
Hampir seluruh gaji Lia transfer ke rumah, sakit bapak makin parah, sekarang harus dirawat di rumah sakit.
Tak mengapa, anggaplah menukar sedikit uang itu untuk kebebasannya, setidaknya disini jiwa dan telinganya aman.
Namun, suatu hari, Lia mendapat telepon di subuh buta.
“Dek, hiks…hiks…. pulang ya dek.”
Suara isak tangis ibu terdengar di ujung sana. Perasaan tak enak menyergap Lia.