Mohon tunggu...
Hudriyanto
Hudriyanto Mohon Tunggu... Relawan - Mahasiswa
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dengan menulis manusia dapat mengekalkan dirinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membumikan Cinta, Merajut Berkah

21 September 2022   23:09 Diperbarui: 22 September 2022   04:39 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh :Hudriyanto

Cadas, panas, berpasir, berkah namun tak berpenghuni. Debu-debu keangkuhan itu kelak menjadi taman bagi masyarakat generasi, keturunan pewaris Nabi yang dimuliakan dan di berkahi. Krikil enggan menampakkan tajinya, deruman hewan yang dipilih itu pun tak wujud batang punggungnya. Panas memusuhi, tak tampak gerimis walau setetes. Kering kerontang, tak berair. Tidak ada tanda kehidupan di lembah yang dicucuri itu.

Seorang perempuan nafasnya hampir berhenti, sambil menggendong bayi mungil dalam pingitan terus berusaha mengejar suami yang semakin menjauh dari pandangan. Imannya menyala, yakin dengan ketetapan al-musyari'. Tidak ada peluang ragu walau seutas rambut. Ia tidak khawatir masa depan bayinya terlantar. Langkahnya terus mengejar.

"Wahai Ibrahim, engkau mau kemana? Kenapa engkau meninggalkan kami di lembah sunyi dan tandus ini?" Tak ada jawaban untuk memuaskan dahaga Siti Hajar yang semakin menua.

Pandangan Ibrahim sayu, tertuju pada kedua bola mata yang menyiratkan ketakutan. Tiga kali pertanyaan itu bergelantungan, lagi-lagi tak ada jawaban yang mengobati kekhawatiran.

"Apakah Allah yang memerintahkanmu?" Siti Hajar mengganti tanya menjadi kekuatan.

"Ya." Jawab Ibrahim singkat, penuh iba melihat anaknya dalam pelukan perempuan setengah menangis itu.

"Jika demikian, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami." Hajar penuh harap akan janji Allah kepada suaminya.

Langkahnya Nabi Ibrahim berat, meninggalkan anak dan istrinya di lembah Bakkah, tak berpenghuni. Sungguh tak berpenghuni. Tak ada janji untuk bertemu kembali. Yang ia tahu, ketika Allah menetapkan suatu ketetapan, pasti di dalamnya ada barakah yang kelak tersibak manisnya.

"Jika demikian, Dia tidak akan menyia-nyiakan kami."

Bagi Hajar, perpisahan ini sangat menyiksa, ditinggal dengan seorang anak mungil yang berpuluh-puluh tahun menggelayut dalam temali doa. Tiba saatnya suara lucu itu hadir, justru Allah memiliki rencana lain untuk mendidik keluarga mulia ini.

Dari sinilah kisah cinta berbalut ketaatan itu bermula, diawali dengan ketundukan dan di tutup dengan barokah.

"Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat dan jadikanlah hati manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."

Harapan terbesar setiap pemimpin risalah adalah menyelamatkan keluarga dan ummatnya dari ancaman Allah . Tak terkecuali bagi seorang Ibrahim. Perhatikan, bagaimana Ibrahim memulai cintanya kepada keluarga, yang seolah-olah tiada hubungannya dengan doa yang ia langitkan.

Ditengah kelangkaan kebutuhan, tidak ada mata air untuk mengobati dahaga, tidak ada anugerah  buah-buahan sekedar untuk bertahan hidup. Semua tidak ada.

Berhentilah sejenak, mari kita tadabburi munajat yang melampaui ruang imajinasi nakal kita. Ibrahim tidak memohon agar bumi mengeluarkan buah-buahan yang matang. Tidak pula berdoa agar langit menurunkan hujan. Tidak, tidak, sekali lagi, tidak. 

Do'a seorang Nabi meleset jauh tinggi melampaui pikiran manusia biasa. Agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.

Apa hubungan shalat dengan kelangkaan kebutuhan? Kenapa Ibrahim meminta keluarganya untuk menegakkan shalat dalam situasi genting semacam itu? Jawabannya ternyata shalat dapat menyelesaikan pelbagai problematika yang dihadapi oleh manusia. Termasuk kelangkaan kebutuhan.

Ibrahim mengetahui cara terbaik mencintai keluarga sesuai dengan Manhaj samawi, dengan menegakkan shalat. Meninggalkannya dengan sengaja adalah puncak dari segala kemungkaran.

Tidak berhenti pada tahap itu, kemurnian cintanya terbukti saat datangnya perintah untuk mengorbankan anaknya, Ismail dengan tangannya. 

Beratkah bagi Ibrahim dan Siti Hajar? Ya pengorbanan itu sangatlah berat. Apakah ia ikhlas menerima perintah itu? tentu saja ia ikhlas. Bahkan Nabi Ibrahimlah manusia yang paling Ikhlas yang pernah lahir di panggung drama bumi ini.

Menyembelih Ismail tidaklah mudah, apalagi dengan tangannya sendiri. Tidak mudah. Tapi sekali lagi, inilah cinta berbalut ketaatan, cinta yang menghamba kepada wujud Sejati. Tidak ada pilihan lain selain menyambut titah itu dengan aslamah, pasrah.
 
Cintanya kepada Allah telah mengalahkan semua cinta yang pernah hadir dalam teater alam semesta. Keiklasan menerima panggilan Allah telah menjadikannya sebagai manusia yang ikhlas. Tunduk berserah diri hanya kepada-Nya.

Sungguh telah ada pada diri Ibrahim, teladan yang baik. Itulah profil manusia pilihan Allah. Saat Ia telah menjadikan utusannya sebagai penyambung langit, maka sudahkah kita memetik pelajaran manis dari galeri kenabian ini. Wajib berkorban, taat, sabar dan tawakal harus menjadi perhiasan untuk menyejukkan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun