Dari sinilah kisah cinta berbalut ketaatan itu bermula, diawali dengan ketundukan dan di tutup dengan barokah.
"Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat dan jadikanlah hati manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur."
Harapan terbesar setiap pemimpin risalah adalah menyelamatkan keluarga dan ummatnya dari ancaman Allah . Tak terkecuali bagi seorang Ibrahim. Perhatikan, bagaimana Ibrahim memulai cintanya kepada keluarga, yang seolah-olah tiada hubungannya dengan doa yang ia langitkan.
Ditengah kelangkaan kebutuhan, tidak ada mata air untuk mengobati dahaga, tidak ada anugerah  buah-buahan sekedar untuk bertahan hidup. Semua tidak ada.
Berhentilah sejenak, mari kita tadabburi munajat yang melampaui ruang imajinasi nakal kita. Ibrahim tidak memohon agar bumi mengeluarkan buah-buahan yang matang. Tidak pula berdoa agar langit menurunkan hujan. Tidak, tidak, sekali lagi, tidak.Â
Do'a seorang Nabi meleset jauh tinggi melampaui pikiran manusia biasa. Agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Apa hubungan shalat dengan kelangkaan kebutuhan? Kenapa Ibrahim meminta keluarganya untuk menegakkan shalat dalam situasi genting semacam itu? Jawabannya ternyata shalat dapat menyelesaikan pelbagai problematika yang dihadapi oleh manusia. Termasuk kelangkaan kebutuhan.
Ibrahim mengetahui cara terbaik mencintai keluarga sesuai dengan Manhaj samawi, dengan menegakkan shalat. Meninggalkannya dengan sengaja adalah puncak dari segala kemungkaran.
Tidak berhenti pada tahap itu, kemurnian cintanya terbukti saat datangnya perintah untuk mengorbankan anaknya, Ismail dengan tangannya.Â
Beratkah bagi Ibrahim dan Siti Hajar? Ya pengorbanan itu sangatlah berat. Apakah ia ikhlas menerima perintah itu? tentu saja ia ikhlas. Bahkan Nabi Ibrahimlah manusia yang paling Ikhlas yang pernah lahir di panggung drama bumi ini.
Menyembelih Ismail tidaklah mudah, apalagi dengan tangannya sendiri. Tidak mudah. Tapi sekali lagi, inilah cinta berbalut ketaatan, cinta yang menghamba kepada wujud Sejati. Tidak ada pilihan lain selain menyambut titah itu dengan aslamah, pasrah.
Â
Cintanya kepada Allah telah mengalahkan semua cinta yang pernah hadir dalam teater alam semesta. Keiklasan menerima panggilan Allah telah menjadikannya sebagai manusia yang ikhlas. Tunduk berserah diri hanya kepada-Nya.