kekerasan seksual yang mengguncang masyarakat. Kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan manusia, dan bentuk-bentuk lain yang mengancam keselamatan serta martabat perempuan. Data dari SIMFONI-PPPA menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan, dengan 4.536 kasus kekerasan seksual tercatat dalam periode tersebut.
Di awal tahun 2024, Indonesia masih menghadapi masalah serius yang belum terselesaikan, yaitu isuPerempuan menjadi korban utama dalam skala yang signifikan, yang menegaskan pentingnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan di negara ini. Dalam konteks ini, pentingnya feminisme semakin menjadi sorotan karena tidak hanya menyangkut kesetaraan gender, tetapi juga penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan seksual. Bahkan, isu kekerasan seksual telah merambah ke dalam keluarga, pemerintahan, dan pendidikan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak mengenal batasan tempat atau pelaku, tetapi didasari oleh keinginan atau nafsu individu.Â
Kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga menunjukkan kerugian besar bagi perempuan, disebabkan oleh budaya patriarki yang membuat perempuan seringkali tidak berdaya di dalam keluarga. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam melindungi masyarakat, terutama perempuan, dari berbagai bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual.Â
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi fokus pemerintah dalam menangani masalah ini. UU ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi korban kekerasan seksual, dengan tujuan utama melindungi hak-hak mereka dan memberikan keadilan dalam proses hukum. Melalui UU TPKS, pemerintah berkomitmen untuk menanggulangi masalah ini secara tegas, dengan menetapkan sanksi yang tegas bagi pelaku kejahatan tersebut.
ISU KEKERASAN SEKSUAL DAN KDRT DI INDONESIA
Per Januari 2024, Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tercatat telah menerima 15 laporan terkait kasus kekerasan seksual terhadap anak. Bentuk-bentuk dari kekerasan seksual tersebut ialah kasus pencabulan, pemerkosaan, dan perdagangan anak sebagai objek seksual. Salah satu kasus kekerasan seksual tersebut diantaranya yaitu kasus kekerasan seksual yang terjadi di Lampung. Pada kasus tersebut, korban berinisial NA merupakan pelajar SMP yang berusia 15 tahun.Â
Korban disekap di gubuk perkebunan, dan diperkosa oleh 10 orang pria. Kasus serupa juga terjadi di lingkungan instansi pendidikan. Dimana korbannya merupakan siswi yang disodomi oleh gurunya sendiri. Kasus kekerasan seksual serupa juga telah terjadi sejak tahun 2023. Di Sulawesi Selatan misalnya, telah terjadi pemerkosaan anak perempuan yang masih berusia 14 tahun. Kekerasan itu dilakukan oleh 13 orang pelaku yang berusia remaja. Adapun modus yang dilakukan oleh pelaku adalah mengajak korban untuk menemaninya ke sebuah tempat rental playstation.
Tak hanya itu, kasus KDRT juga masih terjadi di Indonesia. Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Â tahun 2023, ada 11,324 kasus KDRT. Jumlah korban dalam kasus KDRT mencapai 12.158 atau tertinggi dibandingkan kategori lainnya. Salah satunya adalah kasus KDRT yan dialami PB, seorang korban KDRT, mengalami kekerasan fisik ketika disiram minyak cabai oleh suaminya karena masalah keuangan. Meskipun melawan untuk membela diri, PB justru ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus-kasus yang disorot menegaskan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) masih memiliki kekurangan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada korban, terutama perempuan. Keterbatasan ini mencakup kurangnya perlindungan bagi korban pemerkosaan dan proses hukum yang belum memadai dalam memperhatikan perspektif korban.
PERLUNYA PERBAIKAN TERHADAP UNDANG UNDANG TPKS
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) sudah cukup mereprentasikan perlindungan bagi korban penerima kekerasan seksual. Namun, terdapat sejumlah kelemahan yang perlu diperbaiki baik dari segi isi maupun implementasinya. Salah satu kelemahan yang mencolok adalah tidak adanya perlindungan yang memadai terhadap korban permerkosaan dan kurangnya upaya pemulihan bagi mereka.Â
Selain itu, kerancuan dalam pasal-pasal UU seringkali menimbulkan multitafsir dalam penegakan hukum, menghambat proses keadilan bagi korban. Hal ini menjadi komitmen pemerintah untuk segera merevisi kembali UU TPKS agar memberikan perlindungan secara menyuluruh dan memberikan keadilan kepada korban kekerasan.Â
Dalam penanganan kasus kekerasan seksual, pemerintah perlu mengawal jalannya kebijakan tersebut, mulai dari proses hingga tahap pelaksanaannya. Tidak hanya sekedar sosialisasi saja, melainkan juga memberikan edukasi pemahaman tentang pelecehan seksual terhadap para aparat penegak hukum sehingga UU TPKS ini bisa dijalankan secara optimal pada saat implementasinya. Selain itu, pemerintah harus menunjang para korban tindak kekerasan seksual dengan memberikan bentuk perlindungan, penanganan hingga tahap pemulihan. Dengan demikian, melalui revisi UU TPKS dan upaya pengawalan serta dukungan yang diberikan pemerintah diharapkan mampu meningkatkan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, serta menjadikan proses hukum yang lebih adil dan efektif dalam menangani kasus kasus kekerasan seksual di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H