"Likupang?"
Malam itu Anto, tetangga depan rumah hendak berpamitan. Alasannya kontrak kerja sudah tidak diperpanjang lagi di Palembang. Dia tinggal bersama beberapa temannya yang berasal dari Gorontalo, logatnya kental sekali khas orang timur.
Ternyata Likupang yang dimaksud terletak di Kabupaten Minahasa Utara, North Sulawesi yang dapat ditempuh kurang lebih 2 jam berkendara dari ibukota Sulawesi Utara, Manado.
Mengenal Salah Satu Destinasi Super Prioritas
Bagaikan menikmati Panada isi suwiran cakalang yang hangat, nama DSP Likupang kini diperbincangkan sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo 2019 lalu.
Dari ceritanya Anto, saya tertarik betul untuk eksplorasi Wonderful Indonesia Likupang.
Potensi Tersembunyi Siap Mendunia
Sejumlah pantai berpasir putih dan berair jernih siap untuk dikunjungi selama di Likupang. Bahkan masih ada pulau tak berpenghuni yang senang didatangi oleh "bidadari".
Boleh dibilang Likupang adalah paket komplit keindahan alam di Indonesia Aja. Hamparan pasir putih nan luas luas dan aneka biota laut yang hidup di dalamnya menjadi daya tarik utama. Jaraknya sekitar 60 km dari Kota Manado dan bisa dicapai lewat jalur darat sekitar dua jam.
Pengembangan kawasan pariwisata di Kabupaten Minahasa Utara telah diupayakan berdasarkan letak geografis kawasan dan karakteristik serta kondisi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) tersebut.
Salah satu potensi wisata di Kabupaten Minahasa Utara yang menjadi objek wisata andalan dan merupakan obyek wisata yang potensial untuk dikunjungi adalah kawasan obyek wisata Likupang, yang terdiri dari Likupang Timur (Desa Kalinaun, Desan Pulisan), Likupang Barat (Desa Gangga, Desa Bahoi, Desa Tarabitan, Desa Wineru) dan Likupang Selatan (Desa Kokole).
Hal ini sangat wajar mengingat wilayah Likupang memiliki potensi dan keunggulan secara geoekonomi dan geostrategis.
Keunggulan geoekonomi bertumpu pada lokasi yang berdekatan dengan Bandara Internasional Sam Ratulangi dan Pelabuhan Bitung.
Sedangkan, keunggulan geostrategis yaitu sektor pariwisata dengan tema resort dan wisata budaya (cultural tourism).
Membasuh Insang di Pantai Pulisan
"Pantes kamu lincah sekali ya kalau pas berenang," lanjut obrolanku.
"Tentulah, Bang. Dari rumah saya tinggal berjalan kaki saja sudah jumpa dengan laut. Apalagi kalau Bang Deddy ke Pantai Pulisan,"
"Memangnya ada apa di Pantai Pulisan, Anto?"
"Abang bukan cuma bisa menikmati suasana pantai, tapi kalau kaki abang masih kuat bisa mendaki Bukit Pulisan sekitar satu jam. Di sepanjang mendaki itu bisa menyaksikan pemandangan padang rumput kekuningan yang memesona," lugasnya seakan kecantikan Likupang bukan hanya ada pantai saja.
Akuarium Ikan Bawah Laut Lihaga
Tampaknya budaya bersih merupakan tradisi masyarakat yang diwariskan pendahulu. Untuk diketahui, Likupang juga memiliki area perairan lain yang tak kalah eksotis, sebut saja Pulau Lihaga dan Pulau Gangga yang terkenal jernihnya air dan kaya akan ekosistem bawah laut.
Untuk menuju Pulau Lihaga, kita singgah ke dermaga Serei Likupang. Perjalanan bertolak ke Pulau Lihaga sekitar 30 menit dengan kapal berkapasitas 20 orang.
Pulau kecil ini populer di kalangan para penyelam. Air laut tenang sehingga membuat perjalanan tak terasa sama sekali. Bisa dibayangkan betapa enaknya angin laut sepoi-sepoi di atas kapal?
Bagi kita yang belum punya sertifikat diving, kita bisa melakukan snorkeling untuk menikmati pemandangan bawah laut Likupang yang penuh dengan terumbu karang berwarna-warni dan coral fish yang beragam.
"Kalau orang takut berenang, mereka bisa menikmati keindahan pulau Lihaga dan pulau lainnya dengan duduk santai berjemur di pantai sambil melihat pemandangan laut biru juga bisa," ujar Anto menggebu-gebu.
"Tapi saran saya lebih enak nyebur aja, bang. Siapa tahu nanti ketemu Nemo!" lanjutnya.
Kerajinan Rotan Pendongkrak Ekonomi Desa Bahoi
Obrolan antara saya dengan Anto masih berlanjut. Rasanya baru kali ini sebagai tetangga kami baru bisa mengobrol karena memiliki ketertarikan yang sama yaitu menyukai alam.
Destinasi Likupang tak hanya menawarkan pemandangan alam bawah laut saja. Kawasan ini pun juga menawarkan keramahan warga lokal lewat Ekowisata Bakau Bahoi. Tempat ini persinggahan yang tepat setelah wisatawan dipuaskan oleh keindahan bawah laut Likupang yang menakjubkan.
Bahoi merupakan desa nelayan yang memiliki ekowisata mandiri untuk menjaga ekosistem laut. Ekowisata Bahoi merupakan wisata yang dikembangkan berbasis masyarakat lokal. Wisatawan bisa menelusuri wisata yang ada di Desa Bahoi, seperti hutan bakau dan wisata pantai dengan bantuan para pelaku wisata setempat, mulai dari pemandu wisata, instruktur selam, dan operator boat.
Di sana, penduduknya sudah menyiapkan homestay yang bisa diinapi dengan harga terjangkau mulai dari Rp200.000 - Rp500.000 per hari dan sudah termasuk makan dan alat snorkeling. Penawaran yang menarik bukan!
"Tamu bisa lihat atraksi budaya di Desa Bahoi, bang. Para mama-mama punya keahlian bikin kerajinan tangan dari rotan. Lumayan kan bisa dibeli buat souvenir." tambah Anto.
Jelajah Citarasa Likupang
Saya yakin setiap jengkal tempat di Indonesia mempunyai cerita yang berbeda, termasuk tentang citarasa.
Tidak perlu heran melihat orang Sulawesi menyantap cabe dalam porsi besar. Itulah yang terjadi pada Anto ketika saya melihat dia setiap hari membeli cabe dari pedagang sayur keliling.
"Cabe Palembang rasa pedasnya beda dengan tempat kami di Sulawesi sana, Bang. Kami biasa bikin jadi sambal roa atau dabu-dabu." Logat khas orang Timur masih terasa kental. "Abang tahu sendiri kalau makan nasi tanpa sambal itu ada rasa yang kurang kan," sambungnya kembali.
Rasa pedas yang menjadi kegemaran warga lokal tentunya juga dipengaruhi oleh letak geografis sehingga hampir kebanyakan makanan diberikan rasa pedas untuk menimbulkan efek hangat di perut.
Jack Tuner dalam bukunya "Spice : History of Temptation" mengatakan bahwa citarasa rempah mampu melayarkan ribuan kapal. Aromanya mengundang negara-negara Barat berdatangan ke pulau-pulau Nusantara.
Walau saya berasal dari kota Palembang yang memiliki unsur pedas pada kuliner, namun rasa pedas khususnya sambal buatan orang Indonesia Timur memang berbeda.
Hal ini dikarenakan kesegaran rempah dan bahan baku yang mereka miliki.
Oleh karena citarasa kuliner dan pedas, membuat orang lokal membuat apapun makanannya pasti mengandung unsur pedas seperti Pisang Goroho dan Sambal Roa, Lalampa, Panada hingga Bubur Tinutuan.
Awalnya saya bingung saat pertama kali cicip pisang goreng dengan sambal di Tidore. Ternyata gigitan pertama memberikan sensasi pedas yang menggigit dari sambal roa yang masih segar saat dimakan.
Terakhir, tentu saja jangan lupakan sambal khas mereka yaitu Sambal Rica-Rica dan Dabu-Dabu yang nikmat sekali disantap bersama Woku Belanga. Saya membayangkan menikmati semua kuliner lokal langsung di Likupang.
Perputaran Roda Ekonomi KEK Likupang
Episentrum wisata Likupang bukan hanya pemandangan padang savana yang menawan dan pasir putih saja. Namun, masyarakat lokal telah teredukasi berupaya menjaga keasrian serta isi laut dengan tidak bisa menangkap ikan di area dekat pantai.
Warga harus merasakan langsung dampak ekonominya. Makanya, bagi wisatawan yang ingin mengelilingi area lautan depan pantai dapat menyewa perahu bermotor milik warga. Tarif per orang relatif murah, Rp 25 ribu sekali jalan. Selain itu, wisatawan juga dapat menyewa gazebo untuk berteduh sekaligus mengabadikan momen sunset yang disewakan Rp 250 ribu sekali pakai per hari.
Harga yang wajar untuk menggerakkan perekonomian setempat bukan?
Modal Kearifan Lokal
Pengelolaan dan pemasaran yang baik adalah salah satu cara untuk mengembangkan kawasan wisata supaya dapat lebih dikenal oleh masyarakat.
"Lalu kamu mau ngapain pulang ke Likupang?" tanyaku kembali pada Anto.
"Aku ingin mengembangkan ekonomi desa istriku, bang. Setidaknya mulai dulu dengan mengajarkan ke anak-anak desa buat melek sama digital. Mereka bisa saya ajarkan mengenai promosi."
Prinsip pengembangan tidak terlepas dari pemanfaatan teknologi. Tentunya untuk memudahkan masyarakat di destinasi pariwisata untuk mempromosikan produk mereka menjangkau ke wisatawan lokal dan mancanegara.
Apalagi para pelaku pariwisata saat ini dituntut untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Harapanku Pada Pariwisata Likupang
Masyarakat lokal Likupang meyakini filosofi yang sudah mengakar pada kehidupan sehari-hari yaitu Sitou Timou Tumou Tou yang mengandung arti bahwa dalam bermasyarakat harus menunjukkan sifat yang baik serta peduli terhadap sesama yang secara tidak langsung sudah kita terapkan warga lokal terhadap alam di Likupang.
"Wah nanti apa masyarakat lokal sudah siap menyambut wisatawan asing? minimal komunikasi bahasa inggris?" tanyaku. Bagiku kehadiran sumber daya manusia menjadi aset penting karena merekalah orang yang menggerakan pariwisata.
Pengembangan wisata alam merupakan salah satu pemanfaatan wisata yang dilakukan untuk membuat kawasan wisata tersebut menjadi lebih baik sehingga dapat menjadi daya tarik bagi wisatawan.
Dalam menyelamatkan industri pariwisata di Indonesia pasca Covid-19, menurut hemat saya penanganan pariwisata di Indonesia dapat dilakukan dengan ciptakan wisata alam di era baru pascapandemi yang lestari dan ramah lingkungan.
Wisata tidak melulu harus bersaing infrastruktur, tetapi keunikan pariwisata bisa diangkat. Karena orang-orang yang setiap hari, merasakan infrastruktur yang bagus, mereka ingin merasakan experience yang berbeda. Dan, itu yang ditawarkan oleh Likupang.
Harapanku tentunya pengembangan kawasan wisata Likupang dimaksudkan untuk menambah keindahan dari tempat wisata tanpa harus merusak ekosistem alam yang ada. Likupang tak hanya cantik di atas permukaan. Tapi juga pemandangan pelangi bawah laut yang masih alami.
Jika alamnya rusak, siapa yang harus disalahkan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI