Sewaktu mendapati info untuk mengisi webinar online dengan tema "Menjaga Jejak Digital" bersama Kominfo dan Siberkreasi, saya senang sekali.Â
Memang dalam kurun waktu 6 bulan ke depan, sedang ada gerakan literasi digital yang dilakukan serentak di seluruh provinsi di Indonesia.
Tema yang menarik karena berkaitan dengan banyak orang mengenai jejak digital. Saya disadarkan kembali sebagai manusia penuh nyoda, meski belum baik.
Kalimat "Tulislah yang baik-baik saja" seolah menamparku pakai sutera dan bikin terngiang-ngiang. Hal ini juga pernah dituliskan oleh teman saya, mbak Katerina kalau ada hal-hal yang bisa membuat kita berhenti terlalu dekat.
Sedih ataupun kecewa ketika bertemu dengan orang yang selalu bersikap negatif, mengkritikmu, selalu memanfaatkanmu atau yang selalu mendukung impianmu.
Saya pun belajar kalau dalam berinteraksi, kita akan ada ketemu dengan orang yang pantas untuk ditemani dan tidak. Jika mereka tidak memberikan dampak positif untuk kita, saya tidak akan berlama-lama menjalin hubungan. Karena hal tersebut bisa menjadi racun untuk tubuh kita.
Khususnya bagi saya yang mudah tersulut untuk memberikan komentar karena merasa gatel apabila merasa kalau itu tidak benar atau orang tersebut keliru dalam beropini.
Memutuskan untuk berhenti atau tidak terlalu dekat dengan seseorang memang tidak mudah. Misalnya, ada orang yang masih tidak percaya Covid 19 itu merupakan virus yang nyata. Di saat ribuan orang meninggal sudah banyak, tapi masih ada yang berani menyebarkan hoax.
Salah satunya, daftar kontak orang yang saya kenal karena saya beberapa kali menggunakan jasanya. Ternyata dia sendiri masih tidak percaya kalau Covid-19 itu ada.Â
Dengan memberikan update status kenapa orang-orang hanya meninggal di rumah sakit karena covid, bukan di rumah ataupun jalan.
Saya menarik nafas cukup panjang. Entah apa yang merasuki pikirannya.
Secepat itu saja saya menjawab kalau akun tersebut tidak bisa dipulihkan lagi.
Akhirnya, saya berpikir kalau kita tidak tahu tiket untuk "Pulang" kapan akan disodorkan. Tulisan-tulisan kita di media sosial akan menjadi jejak digital abadi.
Tiba saatnya nanti, kalian mungkin tidak akan melihat namaku online di seluruh media sosial. Kirim pesan lewat WhatApp pun hanya ada centang satu, bukan tanda kamu diblok. Dan, mungkin kalian bakal kangen sama ocehan-ocehan di stories.
Menulislah yang baik, bertuturlah yang baik. Seperti kemarin saya datang ke tempat makan yang baru buka. Saya jumpa dengan pemilik resto karena dia bertanya mengenai feedback makanannya.
Ceritanya saya lagi belajar menutur yang baik di depan orang yang sudah mengundangku. Memang untuk jujur itu sulit, takut menyakitin dan sebagainya.
Terus terang saya sendiri dengan terbata-bata sambil memikirkan kosakata kalimat yang cocok agar pemilik restoran tidak tersinggung. Bahwa makanan yang dia sajikan kurang enak dan sulit diterima pasar umum.
Bahkan dia bilang konsultan makanannya pun juga bingung untuk menentukan target pasar konsumen yang datang.
Maka dari itu, tulislah yang baik-baik saja, walaupun kita belum baik. Saya juga belajar berkata yang baik tentang makanan yang saya cicip, walau makanan itu masih belum baik. Seperti ini enak gaes, ini cocok banget. Semoga kalian memaklumi.
Belajar menjadi orang yang bermanfaat baik orang lain, walau terlihat sederhana. Menyenangkan hati orang itu bukannya pahala ya?
Dari saya yang bukan orang baik sedang belajar jadi orang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H