Setelah saya agak tenang itu, saya langsung memutar arah masuk ke dalam panti asuhan dan meminta pertolongan. Saya segera mencari polisi terdekat. Namun, sekali lagi saya tidak menemukan polisi di waktu buka puasa, tidak ada polisi yang stand by di kawasan lampu merah dekat rumah saya.Â
Saya memacukan gas kembali dan ingat ada kawasan kavaleri TNI. Motor saya tabrakkan pembatas masuk, saya langsung berteriak meminta pertolongan. Satu anggota TNI bersenapan laras panjang langsung meloncat ke atas motor dan kami segera melaju ke rumah.
Kondisi rumah saya gelap, karena sudah lewat jam buka puasa. Warga sudah banyak. Seorang TNI itu coba mendekati rumah saya, namun hati kecil saya dalam hati bilang "percuma penjahat sudah kabur" setelah melihat motor mereka tidak ada di samping. Rasa khawatir, panik, cemas, dan takut jadi satu. Ibu dan kakak saya baru tiba di rumah setelah saya berhasil mengabarin mereka.
Rumah saya bagai adegan penangkapan teroris yang sedang merajalela. Rombongan Polsek dan TNI datang. Hal yang saya khawatirkan adalah ibu saya, sempat saya merasakan tangannya dingin karena cemas. Tentu saja kami cemas.Â
Saya sudah terbayang perangkat kerja saya sudah berhasil mereka ambil. Dan benar, Macbook, kamera mirrorless dan lensa serta ransel kerja saya berhasil dibawa kabur oleh pemuda berandal itu. Hal yang membuat saya lemas lagi adalah unit laptop review yang dipinjamkan sebuah brand untuk saya ulas di blog juga ikut diambil. Ya mereka berhasil mendapatkan dua laptop dan kamera saya. Modal kerja saya untuk mencari nafkah di dunia kepenulisan.
Belajar Ilmu Ikhlas
Pada akhirnya, semua yang kita miliki bakal hilang. Kalau tidak diambil oleh orang, ya diambil Tuhan. Tapi tetap saja ikhlas itu susah. Bunyi status Arako yang sempat saya baca di timeline facebook.
Waktu kejadian rumah Pak Dues disantroni penjahat bulan lalu dan dia juga kehilangan laptop milik anaknya yang sedang skripsi. Saya sempat bilang ke mbak Tika kalau saya akan sulit berkata-kata kalau mengalami hal yang sama. Ternyata, now its my turn. Saya kehabisan kalimat ketika dua perangkat kerja utama saya diambil oleh berandalan itu. Saya tidak nangis, saya berusaha untuk tenang dan saya pun belajar ikhlas.
Ikhlas bagaimana mengingat perjuangan saya mendapatkan kamera dan laptop tersebut. Kamera mirrorless saya didapat dari klien saya yang meminta saya untuk foto produk. Dengan kamera pocket standar saya membuat foto produk dan syukur klien saya suka.Â
Saat itu saya tidak mematok berapa harga foto, karena memang klien saya itu sebelumnya sudah membantu saya waktu saya sedang tidak ada job menulis. Tiba-tiba dia menawarkan bayaran seharga satu kamera mirrorless harga dua digit untuk foto produk tersebut. Ini saya bilang mujizat yang tidak disangka. Uang yang dikasih belikan Olympus EM10 mark II yang menjadi kaki kanan saya.
Laptop yang saya gunakan terakhir adalah MacBook Air, laptop hadiah dari menang lomba menulis. Hadiah besar yang memang jadi impian tiap orang. Tidak ada yang meragukan fungsional dan kenyamanan menggunakan produk Apple. MacBook ini selalu menemani saya menuangkan ide tulisan dan menjadi kaki kiri saya.