Sore hari bapak presiden dan wakilnya tiba di Surabaya menumpang pesawat militer Sekutu. Hari itu juga bapak Presiden bertemu dengan sang Jenderal Sekutu untuk berunding. Akhirnya dicapailah kesepakatan gencatan senjata. Usai melakukan kesepakatan, bapak Presiden langsung kembali ke Jakarta. Tapi di beberapa tempat masih terjadi baku tembak. Banyak kawan-kawanku yang telah gugur.
Emosiku tersulut hingga ke ubun-ubun melihat kawanku terkapar bersimbah darah. Kesedihan yang bercampur rasa marah membuat aku menangis. Air mataku menetes membasa hi tanah ini. Aku teringat tujuanku semula. Memenuhi tugas yang diberikan oleh guruku yaitu menembak sang Jenderal.
Sore hari. Setelah baku tembak agak mereda, aku mengendap-endap menyelinap diantara bangunan. Mobil itu berhenti di tengah jembatan. Aku mulai mendekati mobil itu. Tak disangka, sang Jenderal justru turun dari mobilnya. Ada tiga perwira yang mengawal. Ia mungkin mengira perang telah usai. Dan ia salah, ia tak sadar bahwa ada yang mengancam nyawanya. Ia berdiri di samping mobilnya.
Inilah saatnya.
Kuarahkan pistol tepat ke dadanya dari jarak lima belas meter. Tanganku gemetar. Amarah dan tekadku menguap entah kemana. Sang Jenderal terlampau berwibawa bagiku. Tiga perwira sang Jenderal tiba-tiba mengarahkan senapan kepadaku. Mereka tahu keberadaanku. Sementara aku masih diam mematung dengan tangan gemetar. Dan...dor...dor, arrggh...
Kaki dan tangan kananku tertembus peluru. Juga perutku. Pistolku terjatuh. Darah segar mengucur dan membasahi pakaianku. Aku tergeletak dan tak bisa bergerak. Bayangan malaikat kematian terasa sangat dekat. Berkelebat bayangan orang-orang yang kusayangi, Ibuku, Guruku, teman-temanku. Kepalaku berdenyut, mataku mulai kabur dan kesadaran ini menipis. Dada ini terasa sesak.
"Maafkan saya Guru."
Tiba-tiba... dor...dor...dor. Terdengar tiga kali pistol meletus. Sang Jenderal roboh. Lalu "Buumm." Mobil itu meledak dan terbakar. Ada granat yang dilemparkan. Sang Jenderal dan tiga orang perwira tewas seketika.
Hari mulai gelap. Ada langkah kaki mendekatiku. Pandanganku mulai tak jelas, Samar. Aku berusaha menegakkan kepalaku untuk melihat wajahnya. Tapi sudah tak ada sisa tenaga. Sudah terlalu banyak darah yang keluar. Ia mengangkat tubuhku di pundaknya. Dan berlari, mungkin bergegas ke pos medis untuk menolongku.
"Bertahanlah saudaraku, jangan mati dulu," katanya lirih.
Aku pingsan saat ia melarikanku. Entah apa lagi yang terjadi. Aku tak tahu. Tiga hari aku tak sadarkan diri. Petugas medis dengan telaten merawatku. Peluru di tubuhku telah di keluarkan. Sedikit demi sedikit kondisiku pulih. Setelah sadar, kabar mengejutkan kuterima. Kaki kananku terpaksa diamputasi. Sebab, terjadi infeksi pada lukaku.