Sejak aku masih kecil, aku sudah menilai kalau ayah adalah sosok laki-laki yang sangat hebat. Seorang laki-laki multitalenta. Dan seorang suami yang sangat  bertanggungjawab pada keluarga.
Meskipun bisa dikatakan kekurangan ekonomi, ayah mengutamakan kepentingan keluarga. Dari kebutuhan terkecil hingga terbesar, ayah berjuang dengan bekerja keras demi keluarga.
Dari cerita ibu, aku tahu semua perjalanan hidup ayah sebelum dan sesudah berumahtangga.
Sejak masih bujangan ayah sudah menjadi pekerja keras. Meskipun sebagai anak bungsu dari keluarga yang tergolong mampu, ayah tetap berusaha mencari pekerjaan apa saja. Sampai akhirnya menjadi guru honorer setelah menamatkan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
Ayah menikah dengan ibu tahun 1971. Saat itu ayah berusia 21 tahun. Tahun 1972 aku dilahirkan dari rahim ibu yang berusia 18 tahun. Baru satu tahun melahirkan, ibu hamil lagi. Dan melahirkan adikku yang pertama, namun meninggal dunia ketika masih usia satu minggu. Tahun 1975 lahir adikku yang ke dua.
Dengan upah sebagai guru yang belum diangkat menjadi PNS, ayah menghidupi istri dan dua anak. Tentu dengan honor yang tidak seberapa, ayah harus memutar otak untuk menutup kebutuhan setiap bulan.
Ayah sempat meninggalkan pekerjaan menjadi guru dan merantau ke kota Bandung. Ayah kerja bangunan, pekerjaan yang membutuhkan tenaga kuat. Namun tidak lama ayah merantau. Ayah ingin berkumpul dengan anak dan istri, yang akhirinya  kembali ke kampung dan menjadi guru honorer lagi.
Nasib ayah mujur. Tidak lama setelah mengajar lagi, ayah diangkat menjadi PNS. Namun gaji golongan 1A pada saat itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan yang semakin besar. Terlebih setelah tambah lagi tiga adikku yang lahir. Beban ayah semakin berat karena harus memikirkan pendidikan bagi anak-anak juga.
Ayah sempat menjadi tukang sulap dan akrobat keliling. Bersama rekan yang lain satu tim, ayah mencari uang dengan mempertontonkan keahlian bermain sulap. Pertunjukan akrobat ayah sebagai hiburan masyarakat yang dilakukan malam hari selalu memukau pengunjung, meskipun upah yang didapatkan tidak seberapa.
Ternyata himpitan ekonomi menghidupi ke lima anak tak terelakkan lagi. Sehingga pada tahun 1982 saat adikku yang bungsu baru berusia lima puluh hari, ayah bersama keluarga berangkat transmigrasi ke kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan.