Kita hanya takjub, heran setengah mati. Hingga menggila dalam penggunaannya. Menyita waktu yang hanya memberikan keuntungan pada mereka, jika tidak digunakan semestinya.
Sekalipun kita akui dengan kemajuan teknologi yang telah memunculkan AI dengan ChatGPT-nya, dan kita sangat terbantu dalam meningkatkan tugas-tugas yang kompleks, tetaplah kita sadar kalau dia hanyalah rancangan manusia yang sudah barang tentu ada kekurangan dan kelemahannya. Apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan tidak selamanya dia membuktikan kebenarannya.
Praktiknya, penggunaan ChatGPT sebagai referensi sudahlah tepat. Namun jika salin tempel secara keseluruhan seolah-olah untuk membuktikan kecerdasan kita, justru pada saat itulah kita sedang mempertontonan sebuah pembodohan si ChatGPT.
Dalam hal ini hendaknya kita menerapkan keikhlasan dan kejujuran. Â Yang keduanya bertumpu pada "menjadi diri sendiri". Mensyukuri pemberian Tuhan berupa akal dengan mengeksplorasi diri. Berusaha konkret untuk melahirkan potensi baru. Karena sekali lagi, AI dirancang hanya untuk membantu. AI bukanlah mahluk sempurna.
Di atas langit masih ada langit. Dan kesempurnaan hanyalah milik Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H