Mohon tunggu...
Heru Susetyo Nuswanto
Heru Susetyo Nuswanto Mohon Tunggu... Dosen - Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si.M.Ag. Ph.D - Associate Professor Faculty of Law Universitas Indonesia

Associate Professor at the Faculty of Law University of Indonesia and Human Rights Attorney at PAHAM Indonesia. Studying Human Rights toward a degree (LL.M) at Northwestern Law School, Chicago, and Mahidol University, Bangkok (Ph.D. in Human Rights & Peace Studies). External Ph.D. researcher in Victimology at Tilburg University, Netherlands. Once a mountaineer, forever a traveler...and eager to be a voice for the voiceless people. Twitter : @herususetyo FB : heru.susetyo@gmail.com; e-mail : heru@herususetyo.com; IG : herususetyo2611

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hidup Terkunci Corona di Negeri Sebelah Italia

21 Maret 2020   21:05 Diperbarui: 21 Maret 2020   21:10 1938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kisah Andre Nuswanto - WNI Tinggal di Slovenia di Tengah-Tengah Badai Covid-19)

Melihat keseruan media sosial dan juga ramainya konten dalam whatsapp group, baik itu keluarga ataupun pertemanan, mungkin ada baiknya saya bisa berbagi sedikit tentang bagaimana kehidupan di Eropa saat ini.

Saya saat ini tinggal di Slovenia, negeri yang terletak di Eropa tengah dan salah satu negara pecahan Yugoslavia (pasca perang Balkan 1992 - 1996).  Negeri  ini  berbatasan darat langsung dengan Italia (utara) di sisi barat-nya.

Hanya perlu 1 1/2 jam untuk sampai perbatasan Italia dari Ljubljana ibukota Slovenia.  Untuk mencapai Udine, kota besar Italia terdekat,  hanya perlu  1 jam 50 menit.  Dan untuk mencapai Venice,  surga para turis (sebelum bencana COVID19) yang terkenal dengan gondola dan kanal-kanal cantiknya, hanya perlu 2 jam 40 menit. 

Namun, kini berwisata ke Italia adalah horror tersendiri. Sampai tulisan ini dibuat (21/03/2020)  telah ada 47021 kasus COVID-19 dengan 4032 diantaranya telah wafat.  Turut belasungkawa.                                                                      

Selain tergabung dalam Uni Eropa, Slovenia juga termasuk dalam traktat perjanjian Schengen, yang memungkinkan saya untuk pergi kemana saja dalam wilayah negara-negara Uni Eropa tanpa banyak aturan yang berbelit alias freedom of movement.

Pekerjaan dan profesi saya mengharuskan untuk bepergian kesana kemari ke seluruh negara Eropa termasuk juga kadang ke Inggris Raya, negara-negara Skandinavia bahkan hingga Rusia sana dan juga pecahan Uni Soviet lainnya.

Bulan Januari 2020 saya banyak habiskan di Spanyol (dua bulan sebelum lockdown), Swiss (kini juga sudah lockdown)dan juga Italia Utara. Saat itu berita tentang COVID-19 sudah cukup menyebar dan membuat orang peduli, tapi belum waspada.

Saya pada saat itu juga masih cuek dan biasa saja menghadapinya. Italia belum ada kasus positif corona. jadi cukup santai meskipun saya sudah ditatap terus oleh orang lokal, terutama selama di kota Alba dan Turin, berhubung wajah Asia saya yang mungkin dikira dari Wuhan atau dari China Daratan.  Tapi saya cuek saja. Que sera sera,.

Berlanjut bulan Februari 2020, saya sempat ke Paris, Amsterdam lalu ke negara Georgia (dahulu bagian dari Uni Soviet) dengan transit di Turki. Semakin serius dan gencar informasi COVID-19 ini, tapi semua masih terlihat nyaman dan aman sepanjang perjalanan.

Bahkan saat kita harus mengurangi hari kegiatan di Amsterdam itu bukan karena corona tapi karena prediksi badai Chiara yang intensitasnya cukup kuat akan segera menghantam sebagian besar Belanda, yang saat itu statusnya sudah orange-alert dan kita disarankan KBRI untuk segera kembali ke Paris saja.

Begitu juga selama saya berada di Georgia, tidak terlihat ada persiapan khusus tentang COVID-19 padahal hampir seminggu di negara pegunungan Kaukakus tersebut. Sampai akhirnya selesai kegiatan di Georgia dimana saya harus menuju Milan via Zurich, baru mulai terlihat ada persiapan.

Masuk bandara Milan keluar pesawat seluruh penumpang sudah di cek suhu badan-nya dan diminta surat keterangan sehat yang diisi sendiri di dalam pesawat sebelum diperbolehkan mengambil bagasi. Di situ saya baru mulai agak peduli tentang bahaya COVID-19 ini.

dok. pribadi
dok. pribadi
Saya sempat bermalam di Milan sebelum kembali ke Slovenia, yang jaraknya hanya 5 jam perjalanan darat ke arah timur. Sepanjang jalan sudah mulai kepikiran coba lebih peduli dan coba siap atur skenario jika masalah ini benar sampai ke Eropa, benua dimana saya tinggal.

Kemudian setelah di rumah beberapa hari saya masih ada kegiatan di Salzburg Austria dan Munich Germany dimana saat bersamaan pada tanggal 22 Februari 2020 muncul informasi bahwa ada kasus positif corona di Italia, yang sangat mengagetkan karena beberapa hari lalu saya baru balik dari sana.

Akhirnya saat itu saya dan rekan putuskan untuk mengurangi jadwal kegiatan di Austria, dimana harusnya setelah dari Austria kami menuju Italia Utara dan juga ke kota Milan lagi tapi akhirnya tgl 27 Februari 2020 kami memutuskan kita selesaikan saja perjalanan ini.

Rekan dari Indonesia kembali dari bandara Munich, dan saya sudah kepikiran anak istri hingga langsung kembali ke Ljubljana, Slovenia. Di bandara Munich sudah sepi, lalu lintas penumpang terlihat sangat-sangat renggang tidak seperti biasa.

Rekan dari Indonesia menggunakan Singapore Airlines dan petugas di check-in counter pun cerita kalau pesawat akan lumayan kosong dan bahkan kru yang mendarat di Milan selama 2 hari terakhir ditarik via darat dan kembali ke Singapore dengan pesawat yang sama yang digunakan oleh rekan saya dari Munich. Dari situ saya mulai waspada.

Yang awalnya cuek, lalu jadi peduli. Kemudian waspada. Sepertinya itulah fase kita di Eropa dalam menghadapi musuh yang tidak terlihat wujudnya ini. Sepanjang 4 jam perjalanan dari Munich menuju Ljubljana saya mampir di 2 hypermarket besar untuk beli cereal, beras, pasta, susu, jus, sayur dan daging kalengan secukupnya secara di rumah ada 2 bocah kecil yang nafsu makan lagi gila-gilanya.

Saya sempatkan juga ambil lebihan perlengkapan kebersihan  lainnya seperti sabun, antiseptic tangan, tisu dan lap antiseptic dan juga disinfectan literan. Saat itu belum ada rush dan tidak ada antrian panjang, tapi sudah terlihat bahwa barang-barang disinfektan sudah jarang terlihat.

Saat saya tulis ini, 21 Maret 2020. Total yang positif dan dirawat – baik di rumah sakit maupun di self-isolation di rumah masing-masing – di negara Slovenia sudah mencapai angka 286 penderita, dan 1 korban sudah meninggal dunia.

Sejak saya kembali ke rumah saya juga sudah self-isolating, karena saya paham sekali bahwa saya habis pulang dari banyak kota dan beda negara selama 2 bulan terakhir.

Saya minimalisasi kegiatan bertemu orang dan lainnya hanya di rumah saja dengan anak istri, meskipun tidak ada tanda-tanda maupun tidak merasa sakit saya lebih banyak di rumah saja.

Tepat pada  11 Maret 2020 atau seminggu yang lalu, tepat saya selesai self-isolating 14 hari, penderita positif corona di Slovenia masih di bawah 20 jumlahnya, saya dan keluarga sempat keluar sebentar untuk belanja dan juga ada meeting dengan rekan bisnis.

Kehidupan masih terlihat normal, saya dan istri masih sempat ngopi di luar, kemudian kita sempat makan siang dengan salah satu rekan Indonesia di Ljubljana, ibukota Slovenia. Kami sempatkan beli keperluan dan kebutuhan rumah tangga. Di situ saya juga sudah mulai ambil barang dengan jumlah lebih untuk sekadar jaga-jaga.

Jalanan mulai sepi, tapi warga masih banyak yang beraktivitas dan anak-anak masih bersekolah seperti biasa meskipun sudah mulai banyak keraguan dan desas-desus langkah apa yang diambil pemerintah besok, secara jumlah penderita juga turut bertambah.

dok. pribadi
dok. pribadi
Keesokan harinya, situasi semakin memburuk. Slovenia menutup perbatasan dengan Italia, sesuatu yang tak pernah terbayangkan selama ini. Apalagi Italia adalah salah satu pintu utama terpenting untuk menuju Eropa Barat dari Slovenia.

Yang boleh masuk ke Slovenia hanyalah warga negara (citizen) Slovenia yang mau pulang ke rumah, atau barang truk logistic saja. Maklumlah, Slovenia berbatasan langsung dengan Italia utara, hotspot pandemic corona di Italia.

Memang patient 01 hingga patient 10 di Slovenia semua berhubungan dengan Italia karena patient-patient tersebut hasil tracingnya baru ada gejala setelah selesai liburan main ski di Italia. Belakangan baru saya paham, Italia adalah negeri paling tinggi angka pandemic Covid-19-nya di dunia, setelah China.

Setelah itu mulailah Austria juga tutup border dengan Italia, yang dimaksud tutup border bukan total tapi sangat dibatasi pergerakan orang dan barang. Wah ini sepertinya menuju lockdown, pikir saya.

Seiring bertambahnya penderita corona akhirnya pemerintah Slovenia memutuskan untuk menutup sekolah. Perlahan mulai terjadi kepanikan, toko-toko perbelanjaan diserbu (panic buying) untuk sekedar warga membeli kebutuhan 1 – 2 minggu ke depan.

Wajar saja, bapak ibunya kerja, anak-anakpun biasanya ke sekolah. Kalau anaknya nanti gak sekolah bapak ibunya harus kemana juga bingung sedangkan kantor bapak ibunya masih tidak libur dan tentunya di sini tidak ada pembantu di rumah untuk dititipi anak. Jadi selain bahan makanan juga orang tua harus membeli apapun yang bisa bikin anak-anak betah di rumah, seperti mainan, alat edukasi interaktif dan juga lainnya.

Tapi masalah bukan berhenti di situ, anak-anak tersebut tidak bisa dititipkan ke kakek-neneknya karena akan rentan nanti juga untuk jadi medium virus berpindah satu sama lain. Kehebohan mulai terasa, istri saya cerita hampir di semua forum online local curhatan orang tua gaungnya hampir sama, anak saya mau dikemanakan kan kantor gak diliburkan?

Friday the 13th, Maret 2020. Saya dan istri memutuskan anak-anak gak usah dibawa ke sekolah, toh mereka masih TK dan kita sudah putuskan mereka di rumah saja. Akhirnya kita santai di rumah sambal selalu pantau berita.

Hampir semua layar gawai isinya berita dan update informasi tentang corona, bahkan sampai hari ini selalu ada 1 gawai yang saya pantau hanya untuk berita corona di Indonesia. Maklum, orang tua sudah cukup senior dan semua keluarga tinggal di Indonesia yang tentunya membebani pikiran, apalagi tinggal jauh di rantau begini.

dok. pribadi
dok. pribadi
Semua WAG (whatsapp group) yang biasanya kalem dan tidak pernah serius tiba-tiba semua saling update informasi mengenai corona, baik di Indonesia maupun di mancanegara. Cukup lega karena informasi yang dikirimkan juga tidak sembarangan dan serampangan alias tidak asal forward/share. Kebanyakan cukup menenangkan dan menerangkan, jadi apapun itu yang dikirim selalu jadi bahan diskusi bersama.

Sekitar siang hari saya dapat info transportasi publik di Slovenia akan ditutup total, ya, tutup total. Bis umum, bis carter, kereta api, dan pesawat non-komersil, semua sudah dilarang beroperasi. Selanjutnya dalam 3 hari kemudian pesawat komersil akan dihentikan operasinya, begitu juga bandara Ljubljana atau Ljubljana Airport, akan ditutup total.

Dari situ saya berpikir, sebenarnya apa sih kriteria lockdown. Menutup dari orang luar? Dari negara lain? Atau self-isolation atas inisiatif sendiri? Di rumah sendiri? Atau ketentuan pemerintah dimana kita dilarang keluar rumah sekali kalau ketahuan akan ditangkap polisi?

Batasannya masing-masing negara di Eropa sangat berbeda, wajar, karena ini pandemic juga bisa dibilang baru terjadi pertama kali di masa Eropa modern sekarang ini. Semua bingung semua kalut.

Tiap ditanya “negaramu lockdown?”, saya jawab, “yaa gak tau juga sih, menuju ke lockdown mungkin ya. Sekolah sudah ditutup, kantor masih buka. Tranportasi public ditutup, orang luar negeri sudah tidak boleh masuk, warga negara asing (non permanent resident) diminta hubungi kedutaan masing-masing supaya diatur perjalanan pulang ke negaranya, perbatasan darat sudah ditutup dan dijaga ketat. Tapi disebut lockdown atau tidak? Yaa.. sepertinya sih lockdown yah”.

Tentu saja yang tanya makin bingung, apalagi kalau rekan dari Indonesia yang lagi hebohnya dan serunya berkomentar dan mengkritik baik pemerintah maupun masyarakatnya yang tidak siap menghadapi pandemic ini. “menurutmu bagaimana enaknya Indonesia?”, saya terus terang tidak bisa jawab apa-apa mengomentari gimana seharusnya di indonesia.

Saya bilang ya di sini (Eropa) juga bukan berarti lebih baik, tapi saat ini yang dilakukan pemerintah Slovenia dan juga banyak negara Eropa lainnya, sepertinya sudah cukup baik dalam menekan angka penderita corona, dan masyarakatnya – kebetulan – cukup waspada dan semakin paham bahwa ini sudah merupakan bencana yang harus diatasi dan bisa dilawan dengan cara bersama-sama.

dok. pribadi
dok. pribadi
Akhir pekan dilalui cukup sepi, tidak ada orang keluar rumah kecuali ke supermarket, apotik dan toko roti. Bahkan istri saya sempat ke apotik, sudah tidak boleh masuk dan apotik hanya melayani pembeli yang punya resep saja. Ya, kita tidak boleh masuk apotik.

Sepertinya selain menjaga jarak aman antar manusia juga mereka mau jaga stok obat-obatan tidak dirusak oleh kepanikan masyarakat yang bisa saja terjadi kapan saja. Hari Sabtu – lalu saya sudah mulai lihat mobil polisi semakin sering patrol lalu Lalang di jalanan.

Hari minggu gantian giliran saya ke supermarket beli daging untuk makan siang.  Sementara istri di rumah dengan anak-anak yang sudah semakin tidak betah karena ruang geraknya terbatas.  Hanya di dalam ruangan saja.

Supermarket yang saya datangi terlihat barang-barangnya banyak yang berkurang, rak-rak ada yang kosong atau minim kuantitasnya, terlihat juga para pekerja sibuk untuk terus isi barang sampai tidak kosong, tapi yang melegakan di bagian makanan, sayur, buah-buahan, dan daging, tidak terlihat adanya kekosongan. Setidaknya saya pilkir supply masih aman.

Menariknya adalah ketika ke kasir. Sudah diminta berjarak 1,5 meter antar manusia. Antar pelanggan. Tidak ada kontak fisik satu sama lain. Semua orang terlihat bawa semprotan antiseptic untuk troli belanja dan juga pakai sarung tangan medis selama di dalam supermarket. Cukup bikin saya gelisah dengan pemandangan yang berubah hanya dalam beberapa hari saja.

dok. pribadi
dok. pribadi
Seninnya sekolah resmi ditutup. Alias pada 16 Maret 2020.  Begitu juga restoran, tokoi non bahan makanan, mall, dan lainnya harus tutup. Kecuali rumah sakit, Kantor pos, bank, toko pertanian/perkebunan dan layanan pemerintah/publik lain masih boleh buka, jasa pengantaran (delivery) juga dipersilahkan buka.

Hampir di semua kantor yang buka terlihat antrian yang mengular sampai luar, bukan karena ramai tapi memang sudah diberlakukan kebijakan 1 pelanggan 1 waktu. Jadi benar-benar masuknya satu – satu, meskipun kalau di bank tsb tellernya banyak misalnya. Begitu juga antrian di luar jarak satu dengan lainnya sudah 1,5 – 2 meter. Pemandangan yang cukup unik dan cukup bikin tegang sebenarnya.

Kalau seperti ini disebut karantina ya sepertinya ini karantina sukarela, tergantung tiap rumah tangga bagaimana menyikapi dan melakukannya sehari-hari.

Semua yang ikut repot ikut pusing dan ikut terbebani dengan adanya “lockdown” atau karantina semacam ini tapi semua juga mau turut andil dalam usaha mencoba menekan penderita COVID-19 baru, dengan harapan setidaknya dalam waktu dekat system kesehatan dan fasilitas rumah sakit tidak akan collapse dan semua pasien dapat terlayani dengan baik.

Ketika sudah mulai bosan dan kalut selama “karantina/lockdown” ini, keluarga kami sudah dua kali keluar rumah, tujuannya cari yang agak “jauh”, kita cari bukit atau hutan yang minim manusia. #socialdistancing kan berarti menjauhi manusia, tapi bukan berarti harus menjauhi alam, bahkan mungkin bisa dibilang saatnya makin lebih dekat dengan alam.

Saya bawa sepeda di mobil untuk anak-anak dan mereka bisa leluasa main di sana, saya dan istri juga menikmati cuaca yang sudah mulai menghangat dan cerahnya matahari. Meskpun akhirnya harus balik rumah untuk “karantina sukarela” lagi.

Jika tahapan ini bisa disebut lockdown, ya, berarti menurut saya Slovenia lockdown. Menyusul Denmark, Norwegia, Latvia, Ceko, lalu Austria dan Hungaria yang negara tetangga Slovenia juga ikut lockdown. Warga diimbau tinggal di rumah, sekolah ditutup, arus barang dan orang dibatasi, bandara ditutup total. Tidak lama kemudian menyusul Spanyol dan Perancis, ikut lockdown juga.

dok. pribadi
dok. pribadi
Eropa lumpuh? Menurut saya tidak, selain tentunya perang melawan dan menekan angka penderita COVID-19 dilakukan sporadic oleh masing-masing negara dengan segala bantuan dan kebijakan yang pro-masyarakat dan pro-kesehatan, saya masih bisa tenang lihat truk-truk di jalan tol tanpa hambatan, cukup bikin kalem secara yaa minimal buah dan sayur buat anak-anak gak akan susah lah.

Pemerintah masing-masing negara segera menyiapkan aturan dan regulasi khusus untuk menunjang perekonomian tetap stabil, sekedar aturan untuk semua perusahaan harus tetap gaji karwayan sekian misalnya, atau penghapusan atau pemunduran bayar cicilan rumah atau hutang lain misalnya.

Bagi warga negara yang negaranya di lockdown, hal sepeti itu sangat menenangkan sekali, jadi mereka juga bisa focus untuk #stayathome dan #flattenthecurve bersama.

Sepertinya untuk memerangi pandemic ini sepertinya memang harus dengarkan para pemimpin kita dimanapun berada, ikuti petunjuknya, jalani aturannya.

Tangan saya sepertinya sudah semakin keras dan kasar karena saking seringnya cuci tangan dengan sabun dan menggunakan sanitazer.  Yang terpenting juga sebaiknya jangan terlalu kemakan segala macam isu yang keluar dari tujuan utama, yaitu melawan corona. 

Saring informasi sebaik mungkin, abaikan hoax dan fake news dari para buzzer dan spin doctor yang menjijikkan.  Yang melupakan kemanusiaan demi politik pragmatic.  Dan pastinya selalu berdoa.

Percaya saja bahwa mereka para perumus kebijakan dan pembuat keputusan juga, entah pemerintah pusat, entah pemerintah daerah,  sudah berusaha melakukan yang terbaik untuk kita dan saatnya kita juga turut ikut berjuang Bersama mereka. 

Kalau sudah begini kita harus kerja keras semua supaya skornya bisa kita ubah dari Slovenia 0 : Corona 1 atau Indonesia 0 : Corona 1 menjadi Slovenia 1 : Corona 0 atau Indonesia 1 : Corona 0.

Pasti bisa, semoga! Bismillah…

Andrianto Wibowo Nuswanto
Chief Experience Officer
Plesiran di Eropa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun