Februari 2012, Warsito melalui Edwar Technology (ET) mengirimkan surat permohonan dukungan kepada IDI dan permohonan dukungan, arahan dan perlindungan hukum kepada Kemenkes terkait teknologi ECCT dan ECVT. Kemudian pada Maret 2012, pihak Kemenkes dan Edwar Technology telah menandatangani nota kesepahaman untuk kegiatan penelitian pemanfaatan PT. Edwar Technology untuk kesehatan baik yang bersifat diagnostik, terapi, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Kesepakatan bersama meliputi penelitian pemanfaatan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) untuk pencitraan medis, penelitian pemanfaatan Electro Capacitive Cancer Treatment (ECCT) untuk terapi kanker.
Tiga tahun berlalu , hal-hal yang tertuang dalam Nota Kesepahaman tak berjalan yang tentunya karena peran kedua pihak dalam perjanjian. Walhasil Kementerian Kesehatan dengan surat nomor HK.06.01/IV/2444/2015 pada 20 November 2015 menyatakan bahwa  teknologi yang dimiliki Warsito belum memenuhi prosedur penelitian sebagaimana nota kesepakatan bersama.Â
Selain itu, pengertian ‘klinik riset kanker’ yang dimiliki PT Edward Technology dan Warsito juga tidak dikenal pengertiannya dalam Permenkes Nomor 9 Tahun 2014 tentang klinik dan penggunaannya. Menurut Kemenkes, klinik tersebut belum sesuai dengan standar dan izin operasional yang berlaku  (Republika, 1/12/2015). Akibat surat tersebut, operasional ‘klinik’ terancam terhenti dan ratusan penderita kanker calon pengguna teknologi Warsito, menjadi terlantar. Belum lagi 150 pegawai Edwar Technology terancam dirumahkan.
Hal yang sama terjadi pada Kusrin, warga Karanganyar Jawa Tengah tamatan Sekolah Dasar (SD) yang menemukan dan memproduksi teknologi pembuatan TV berbasis industri rumahan. Pada 11 Januari 2016, ratusan televisi yang diproduksi oleh Kusrin dimusnahkan oleh  Kejaksaan Negeri Karanganyar.  Hasil jerih payah Kusrin ludes tak berbekas karena industri kecil dan menengah (IKM) miliknya, yakni UD Haris Elektronika, belum mengantongi sertifikat SNI dan pendaftaran produk.
Kusrin mengatakan, masyarakat awam sepertinya tak mudah mendapatkan izin produksi sesuai SNI. Dia mengaku, membutuhkan waktu sekitar tujuh bulan untuk mengurus SNI dan mendaftarkan tiga merek televisi miliknya. Untuk mendapatkan sertifikat SNI, dibutuhkan biaya sekitar Rp 20 juta, sedangkan pendaftaran untuk satu merek, Kusrin harus merogoh kocek sebesar Rp 5 juta. Sejauh ini, Kusni memiliki tiga merek televisi, yakni Veloz, Zener, dan Maxreen dengan ukuran 14 sampai 17 inci (Republika 19/1/206).
Pria asal Karanganyar tersebut mulai merakit televisi secara otodidak dengan membuka servis elektronik keliling dan belajar dari seorang teman selama beberapa tahun. Setelah memiliki bekal yang cukup, Kusrin membuka usaha reparasi sendiri di Karanganyar dengan nama UD Haris Elektronika. Kusrin merakit televisi sendiri dengan menggunakan monitor bekas komputer. Namun, dia menggunakan komponen dan casing untuk televisi rakitannya dalam kondisi baru. Kusrin mengaku, mendapatkan bahan-bahan itu dari suplier dan merakitnya sendiri.  Sejauh ini, produk televisi buatannya dipasarkan di sekitar wilayah Karisidenan Solo (Republika, 19/01/2016)
Namun, alih-alih mendapatkan penghargaan atas kreativitas dan inovasi-nya, Kusrin divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Karanganyar, hukuman enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun, serta hukuman denda Rp 2,5 juta. Terhukum dinyatakan bersalah, karena terbukti melanggar Pasal 120 ayat 1 UU Republik Indonesia Nomor 3 tahun 2014, tentang Perindustrian (Republika, 18/01/2016)
Dibina Bukan Dibinasakan
Alasan pemerintah untuk menghentikan operasional ‘klinik’ Warsito dengan melarangnya menerima ‘pasien’ baru dapat dipahami. Masyarakat dan konsumen memang perlu perlindungan dan kepastian hukum dalam pelayanan kesehatan.  Kasus penyimpangan klinik chiropractic tak berijin di Pondok Indah yang menewaskan seorang wanita muda yang diduga dilakukan dokter asal Amerika pada Agustus 2015 cukup sudah menjadi peringatan. Disamping itu ada persoalan standarisasi, sertifikasi dan pengaturan tersendiri terkait dengan pelayanan kesehatan, alat kesehatan berikut distribusinya, serta penggunaan istilah ‘klinik.’
Namun demikian, semudah itu memvonis operasional ‘klinik’ juga bukan penyelesaian yang bijak. Bisa jadi ‘klinik’ Warsito telah melakukan lompatan prosedur riset dan melanggar aturan tentang pelayanan kesehatan, klinik dan alat kesehatan, namun juga alat tersebut telah menolong cukup banyak penderita kanker.Â
Berdasarkan dari data Edwar (2015), dari 3,183 pengguna ECCT, 48% mengalami kondisi perbaikan kesehatan, 41% stagnan alias tidak mengalami perubahan, dan 11% mengalami kegagalan.  Para ‘pasien’ juga memillih secara sadar metode penyembuhan ala ECCT tersebut dan tahu bahwa alat tersebut tidak otomatis menjamin kesembuhan mereka.